Hingga beberapa hari setelah tanggal 21 April 2009 sejumlah tulisan seputar Kartini masih terus menghiasi kolom-kolom diberbagai media. Ada banyak pelajaran yang diambil dari tulisan-tulisan tersebut. Namun harus jujur diakui sebagian dari tulisan-tulisan tersebut hanya bersifat narasi sejarah biasa dan terkesan belum mampu memberikan persfektif baru dari Kartini. Atas dasar inilah penulis merasa terpanggil untuk turut ambil bagian untuk memberikan persfektif baru dalam melihat Kartini.
Sebenarnya judul di atas dirasa masih kurang tajam dengan pesan yang ingin penulis sampaikan. Tadinya ingin memilih kalimat judul “Kartini Pelaku Poligami”. Tapi rasanya kurang enak didengar. Sehingga penulis menetapkan untuk memilih kata “mendukung” dari pada “pelaku”. Ada ungkapan lain yang terkesan kurang etis dialamatkan kepada Kartini sebagai pahlawan nasional adalah bahwa sebenarnya termasuk perempuan yang malang karena harus menjadi istri kedua. Bahkan yang lebih ironis lagi ada yang justru menganggap bahwa kalaulah Kartini hidup di era sekarang akan bisa dikategorikan sebagai orang mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain.
Harus dipahami bahwa pilihan untuk menjadi istri kedua bagi bukan tanpa dasar pikiran yang kuat. Beliau sudah mencoba mepertimbangkan dengan baik dan sudah berusaha mengenali calon suaminya. “Saya merasa mendapat hak istimewa di atas ribuan orang untuk mengarungi hidup di samping seorang pria yang demikian luhur” demikian tutur Kartini dalam salah satu tulisannya. Bahkan Kartini menggambarkan calon suaminya bak “permata” yang teramat berharga baginya. Oleh karenaya perlu dipahami bahwa keputasan Kartini untuk siap menjadi istri kedua untuk menghadirkan kemaslahatan yang lebih besar terutama bagi kaum perempuan.
Fakta sejarah ini harusnya menjadi argumentasi historis untuk menyatakan bahwa poligami bukanlah sesuatu hal tabu dan dianggap jelek seperti anggapan yang banyak berkembang belakang ini. Kartini sebagai seorang pahlawan nasional telah memberikan contoh yang baik bagi kita semua betapa poligami akan lebih mulia dari pada melakukan perbuatan mesum secara sumbunyi seperti yang melanda sejumlah kalangan. Realita yang kita lihat adalah kalau ada tokoh yang melakukan poligami yang secara agama dihalalkan terus dicemooh dan menjadi bahan gunjingan diberbagai media. Padahal disisi lain para pejabat, pelaku bisnis, hingga rakyat biasa yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh (mesum misalnya) justru seolah luput dari perhatian dan terkesan biasa saja. Kalau mendapat cemoohan di media belum sebanding dengan yang dialamatkan ke pelaku poligami. Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa tidak dibenarkannya poligami akan menyebabkan perkembangan perbuatan-perbuatan mesum. Tapi yang dimaksudkan penulis adalah penilaian sejumlah kalangan yang tidak proporsional antara pelaku poligami dengan pelaku mesum.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa poligami tak semestinya menjadi bahan cemoohan di tengah masyarakat. Yang terpenting adalah bagi para pelaku poligami harus sudah melalui pertimbangan yang matang dan mempertimbangkan sisi maslahat dan mudhorat. Sepertinya halnya Kartini yang memutuskan untuk siap menjadi istri kedua bukan karena tidak mampu memperoleh lelaki yang masih lajang. Apalagi untuk sekedar merebut suami orang lain yang dapat berbuntut pada pecahnya bahtera rumah tangga orang lain. Tapi karena ingin mewujudkan cita-cita yang teramat luhur. Cita-cita untuk terus mencerdaskan anak bangsa. Karena dengan menjadi istri kedua tersebut bagi Kartini akan terbuka ruang berkarya yang lebih luas lagi.
Oleh.Herman Siregar