MENJADI DA’I YANG SUKSES

Dr. H. Uril Bahruddin, MA
Memang masalah hidayah itu adalah urusan Allah, mau diberikan kepada siapa saja itu bukan wewenang manusia termasuk para aktifis dakwah sekalipun. Namun, tetap saja untuk menyongsong datangnya hidayah harus ada usaha dari manusia yang akan mendapatkan hidayah dan juga usaha dari para aktifis dakwah sebagai perantara kedatangannya. Dalam banyak kesempatan baginda Rasulullah saw. selalu menganjurkan kepada umat Islam agar ikut serta menjadi bagian dari perantara datangnya hidayah tersebut, misalnya beliau pernah bersabda: “Jika engkau berhasil menjadi perantara datangnya hidayah kepada satu orang saja, maka hal itu lebih baik dari nikmat dunia yang paling tinggi”.
Oleh karena itu, setiap aktifis da’wah tidak boleh hanya melakukan kegitan dakwah dengan sekedarnya saja, namun ia dituntut untuk melakukannya sesuai dengan spirit dari firman Allah swt. dalam surat An Nahl:125.
Salah satu dari bentuk hikmah dalam berdakwah adalah jika seorang da’i mampu menjadikan dirinya memiliki kepribadian yang dapat menarik dan mempengaruhi orang lain. Dengan memiliki kepribadian yang tangguh, seorang da’i akan mampu menggerakkan jiwa-jiwa manusia, membuka mata hati mereka, mengajak mereka dapat menikmati Islam dan merasakan lezatnya Iman. Diantara hal-hal yang dapat membantu para da’i dapat sukses mempengaruhi obyek dakwah adalah:
1. Memiliki kedalaman spiritual. Kekuatan spiritual adalah modal utama yang harus dimiliki oleh para da’i, karena pada hakekatnya mereka dalam dakwahnya sedang berkomunikasi dengan pemilik hidayah. Sebagai komunikan yang baik dengan Allah, para da’i yang akan mengajak obyek dakwah menemukan hakekat Iman dituntut untuk memiliki ke-Iman-an yang kuat terlebih dahulu.Dengan kekuatan Iman itulah para da’i akan memiliki kepribadian yang selalu optimis dan tangguh dalam menunaikan misi dakwah. Spiritulitas yang dalam akan mampu membangkitkan semangat para da’i dalam melakukan pengorbanan.
Seandainya kita temuakan diantara para da’i ada yang tidak bersemangat dan enggan untuk berkorban, maka terlebih dahulu dapat kita evaluasi dari keterikatan mereka dengan Allah. Adakah para da’i itu sudah memiliki hubungan yang kuat dengan Allah? Dapat dipastikan lemahnya semangat mereka yang paling utama disebabkan karena ringkihnya nilai spiritualitas para da’i.
2. Memiliki keluasan ilmu. Demikian pula dengan ilmu dan bekal wawasan yang luas, karena para da’i adalah orang-orang yang akan memberikan penjelasan kepada obyek dakwah tentang hukum-hukum syari’at dan memberikan solusi dari berbagai permasalahan dalam kehidupan keberagamaan. Karena dakwah adalah merupakan aktifitas yang sangat mulia, maka para da’i dituntut untuk memiliki bekal ilmu yang memadai. Jika tidak, maka mereka bagaikan orang yang akan melakukan perjalanan namun tidak mengetahui jalan yang akan dilewatinya, pada akhirnya mereka akan melakukan perusakan lebih banyak daripada perbaikan.
Demikianlah cerita seorang pembunuh yang telah menghabisi 99 nyawa, gara-gara sang da’i tidak memiliki ilmu yang mumpuni, sehingga fatwanya menyesatkan hingga sang pembunuh itu putus asa dan menyempurnakan pembunuhannya menjadi 100 orang. Dalam pepatah Arab disebutkan bahwa fāqidus syaii lā yu’thī, artinya orang yang tidak memiliki sesuatu pasti tidak akan dapat memberikan sesuatu itu kepada orang lain.
3. Memiliki keagungan akhlak. Sudah barang tentu, seorang da’i tidak akan dipercaya oleh masyarakat apabila dia dikenal di masyarakat sebagai orang yang memiliki perilaku yang tidak mulia. Perbuatannya yang bertentang dengan ucapannya itu akan menghalangi kepercayaan obyek dakwah kepadanya, meskipun memiliki suara yang lantang dan berusaha untuk memukau orang lain dengan lisannya yang fasih, namun tetap saja omongannya tidak akan sampai ke dalam hati. Karena itulah, benar-benar al Quran mengingkari perilaku yang berbeda antara ucapan dan perbuatan tersebut (As Shaf:2-3).
4. Memiliki kekuatan hujjah. Suatau ketika datang seorang pemuda ke hadapan baginda Rasulullah saw. Pemuda itu kemudian bertanya: “Ya Rasulullah bolehkah aku berzina?”. Maka Rasulullah memintanya untuk duduk lebih dekat lagi seraya mengatakan: “Apakah kamu mengizinkan jika hal itu terjadi pada ibumu?”, jawab pemuda itu: “Tidak”. “Demikianlah orang lain-pun tidak suka kalau hal itu terjadi pada ibunya”. Kemudian beliau melanjutkan: “Apakah kamu mengizinkan jika hal itu terjadi pada anak perempuanmu?” jawab pemuda itu: “Tidak”. “Demikianlah orang lain-pun tidak suka kalau hal itu terjadi pada anak-anak perempuannya”. Kemudian beliau melanjutkan lagi: “Apakah kamu mengizinkan jika hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?” jawab pemuda itu: “Tidak”. “Demikianlah orang lain-pun tidak suka kalau hal itu terjadi pada saudara perempuannya”
Itulah salah satu dari kekuatan hujjah yang disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam berdakwah. Dialong tersebut membuat sang pemuda memahami permasalahan dengan baik, hingga dia minta izin dengan membawa sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dia benci setelah pertemuannya dengan Rasulullah kecuali zina.
5. Memiliki semangat dan sikap optimis. Coba kita perhatikan antara dua tipikal da’i berikut, salah satunya tidak mau bekerja kecuali dengan imbalan, tidak bergerak kecuali dengan penugasan, dan tidak mau menghadiri kegiatan dakwah kecuali jika mendapatkan kemaslahatan dunia untuk pribadinya. Da’i yang kedua rela bekerja karena panggilan hatinya, dia bergerak dengan penuh keikhlasan, dan setiap aktifitas dakwahnya tidak mengharapkan imbalan atau balasan dari manusia.
Tentunya tipikal da’i yang kedua adalah yang paling ideal, dia akan tetap memiliki semangat dalam dakwahnya tanpa pamrih. Karena perhatiannya terhadap dakwah sangat tinggi, maka dampak dari semangatnya akan dirasakan oleh masyarakat obyek dakwahnya.
6. Menggunakan media dan strategi. Media dalam berdakwah memegang peran yang sangat penting, para da’i seharusnya mampu membuat sejumlah media atau strategi dalam menyampaikan materi dakwah agar dengan mudah dapat diterima oleh obyek dakwah. Sesekali materi dakwah bisa disampaikan dengan model cerita, pada kesempatan yang lain dapat disampaikan dalam bentuk tanya jawab, dan dalam kondisi tertentu dapat disampaikan dalam bentuk ceramah dan muidzah.
Mungkin hal-hal di atas masih dalam tatanan teori, untuk mempraktekkannya dalam kehidupan para da’i bisa jadi bukan pekerjaan yang mudah. Namun, paling tidak kita sebagai da’i memiliki wawasan tentang hal itu, untuk terus berusaha menjadi yang lebih ideal dari sekarang. Wallahu a’lam.
===============
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Add comment


Go to top