Dr. H. Uril Bahruddin, MA
Suatu ketika pada saat mobilisasi kaum muslimin di Makkah untuk pergi hijrah ke Madinah, ada salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. yang menghadap kepada beliau untuk berbai’at dan menyatakan kesiapannya untuk berangkat hijrah. Namun, kesiapannya untuk hijrah tidak direstui oleh kedua orang tuanya, sahabat tersebut juga melaporkan kepada baginda Rasulullah saw. bahwa kedua orang tuanya menangis karena dia mau meninggalkan mereka. Solusi yang diberikan oleh Rasulullah ternyata sangat gampang dan sederhana sekali, beliau mengatakan: “Pulanglah, dan buatlah kedua orang tuamu tertawa sebagimana engkau telah membuat mereka menangis”.
Mungkin kita juga masih ingat peristiwa besar yang pernah menimpa Nabi Muhammad saw., terkait dengan berita bohong dan tuduhan palsu terhadap istri beliau yang suci. Memang saat itu Rasulullah sempat sedikit bimbang, sehingga beliau meminta pendapat kepada beberapa sahabat dekatnya. Namun, solusi dan jalan keluar yang diambil oleh Rasulullah sangat mudah, sederhana dan menyenangkan. Beliau katakana kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, saya telah mendengan berita yang berkembang di masyarakat terkait dengan kamu. Jika betul kamu tidak melakukan itu, maka pasti Allah akan menurunkan jawaban bahwa kamu tidak bersalah. Namun jika kamu melakukannnya, maka mintalah ampun kepada Allah, pasti Allah akan mengampunimu”.
Dari dua cerita di atas, sungguh baginda Rasulullah saw. adalah benar-benar teladan dalam segala hal, termasuk dalam hal mnyelesaikan masalah. Beliau telah memberi contoh kepada kita untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan gampang dan sederhana. Tidak ada persoalan yang sulit untuk dipecahkan. Justru kadang-kadang kita sendiri yang memperbesar persoalan, padahal sesungguhnya sangat mudah untuk diselesaikan.
Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, baik kesalahan itu kecil atau besar. Mungkin kita pernah melihat kawan kita melakukan kesalahan, misalnya menyampaikan berita yang tidak benar sehingga keputusan yang kita ambil menjadi tidak tepat. Memang kesalahan yang dilakukan oleh kawan kita cukup berat, dan permasalahan kesalahan kawan kita akan menjadi besar lagi jika kita kita sendiri yang membesarkannya, misalnya kita marah dengan cara yang berlebihan. Namun jika kita selesaikan dengan cara yang santun, dan kita nsihati dengan baik, maka kawan kita akan sadar bahwa apa yang dilakukan itu tidak benar dan dia tidak akan mengulangi lagi.
Apabila kita berlebih-lebihan dalam menyalahkan orang lain, bisa jadi kesalahan itu tidak bisa ditemukan jalan keluarnya, karena orang yang kita salahkan itu akan putus asa untuk memperbaiki dirinya, apalagi jika dia melakukannya dengan tidak sengaja. Seandainya anak kita sendiri yang melakukan kesalahan, misalnya tidak lulus dalam tes masuk sekolah tertentu, kemudian kita marah berlebih-lebihan dan meyalahkan anak kita. Apakah kira-kita persoalan itu akan selesai? Tentunya tidak. Justru anak kita merasa dipojokkan dan dijatuhkan spiritnya kedalam jurang yang sangat dalam. Apakah setelah itu dia akan bisa memperbaiki dirinya? Sulit rasanya dia bisa mencari solusi yang tepat karena putus asa telah menghantuinya.
Pengalaman menjadi guru bahasa Arab juga demikian. Dalam mengoreksi kesalahan mahasiswa dalam menulis bahasa Arab misalnya, seharusnya tidak berlebih-lebihan. Karena jika betul-betul dikoreksi, maka kita akan dapatkan dari pekerjaan mahasiswa itu hampir setiap baris yang ditulis oleh mahasiswa akan kita temukan kesalahan yang banyak. Jika demikian, maka bisa jadi sebagian mahasiswa akan putus asa dalam belajar bahasa Arab, karena meskipun sudah belajar sungguh-sungguh, masih juga banyak kesalahannya. Karena itu, seorang guru harus bertahap dalam mengoreksi pekerjaan mahasiswa. Pada jam pelajaran tertentu kita bisa mengkhususkan untuk menyelesaikan dua atau tiga kesalahan saja, selanjutnya dua atau tiga jenis kesalahan yang lain kita tunda pada jam pelajaran berikutnya, dan begitu seterusnya.
Sebagai da’i yang pekerjaannya mengajak orang lain melakukan kebaikan dan mengingatkan orang lain agar tidak melakukan kemungkaran, seringkali kita mendapati perilaku obyek dakwah kita berbeda bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai yang kita sampaiakan. Di sini sang da’i dituntut untuk memiliki kecerdasan yang luar biasa. Jika cara kita menyelesaikan permasalahan obyek dakwah kita tidak tepat, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan semakin menjauh dari arena dakwah.
Begitulah pujian yang disampaikan oleh Allah kepada baginda Nabi Muhammad saw. dalam Al-Quran karena sikap lemah-lembut beliau, sehingga dalam waktu yang relatif singkat Islam cepar tersebar dan dipilih oleh sebagian besar masyarakat jazirah Arab menggantikan agama nenek moyang mereka. Allah berfirman:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (QS Ali Imran:159).
Tidak cukup hanya itu, ketika baginda Nabi Muhammad membekali sabahatnya yang mau pergi berdakwah, maka salah satu pesannya adalah agar seorang da’i itu memberi kemudahan dan tidak mempersulit. Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh beliau kepada Muadz bin Jabal dan Abu Musa Al Ay’ari ketika mau diutus ke Yaman, beliau bersabda: “Hendaklah kalian berdua memberi kemudahan dan jangan mempersulit, memberi kabar gembira dan jangan membuat manusia lari, saling rukun dan jangan berselisih” (HR. Bukhari).
Semoga Allah memudahkan kita untuk dapat mencontoh baginda Rasulullah saw. dalam bersikap lemah-lembut, selalu memberi kemudahan dan tidak mempersulit urusan orang lain. Wallahu a’lam.
===============
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.