Dr. H. Uril Bahruddin, MA
Suatu ketika salah seorang kawan memberitahukan kepada saya bahwa ada seorang dosen senior di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang secara terang-terangan menyampaikan sebuah pernyataan dan sekaligus permohon agar saya tidak mengampu mata kuliah tertentu. Alasan yang disampaikan oleh dosen senior tersebut adalah karena saya orang “Hizbut Tahrir”, khawatir kalau saya mengajar mata kuliah itu, mahasiswa akan saya bawa mengikuti pemahaman saya.
Dalam kesempatan yang lain, ada seorang kawan yang lagi mau membangun sebuah pesantren di sebuah lokasi yang masuk kawasan kabupaten Malang. Tanah yang rencananya akan dibangun pesantren di atasnya adalah wakaf dari salah seorang muhsinin yang sejak awal meniatkan tanahnya tersebut untuk lembaga pendidikan semacam pesantren. Dimulailah proses pembangunan pesantren itu dengan meminta izin dan persetujuan dari masyarakat terdekat dengan lokasi. Ternyata salah seorang tokoh agama di kampung itu menolak jika pesantren yang akan dibangun itu tidak sama dengan orientasi organisasi keagamaan yang diikutinya.
Berbeda lagi dengan seorang kawan yang lain, dia sudah mulai membangun pesantren dengan pembangunan masjid. Tentunya sejak ketika mau membangun pesantren, kawan ini sudah melalui prosedur pembangunan sebagaimana mestinya, termasuk persetujuan warga sekitar. Setelah masjid pesantren itu selesai dibangun, kawan ini berniat mau memulai mengoperasikan masjid dan pesantrennya dengan meresmikan masjid sebagaimana layaknya di tempat lain. Semua persiapan peresmian sudah dilakukan, termasuk undangan juga sudah disebar kepada orang-orang yang akan diundang, namun secara tiba-tiba sebagian masyarakat setempat menolaknya hingga proses pesermian masjid pesantren itu batal dilaksanakan.
Tiga kasus di atas adalah diantara sekian masalah kehidupan keberagamaan di masyarakat kita. Inti dari permasalahannya adalah sebagian orang tidak dapat atau belum siap menerima perbedaan dari orang lain. Salah satu dari alasan yang mendasari adanya penolakan-penolakan sebagaimana kasus di atas adalah karena seseorang menganggap pemikiran atau pemahan kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai ancaman yang bisa membahayakan bahkan menghancurkan pemikiran dan pemahamannya.
Jika ketidaksiapan menerima perbedaan itu terjadi di masyarakat awam, maka hal ini masih bisa dimaklumi, karena biasanya yang difahami oleh masyarakat awam hanya satu saja dari pilihan-pilihan praktek peribadatan, banyak diantara mereka yang belum mengetahui bahwa cara mengusap kepala dalam berwudlu itu bermacam-macam dan bukan hanya satu madzhab. Namun, sangat disayangkan jika ketidaksiapan untuk menyikapi perbedaan pendapat itu lahir dari orang-orang terdidik apalagi dari para cendekiawan yang setiap hari menggeluti kajian-kajian ke-Islam-an.
Kasus yang menimpa saya di atas, bukan hanya menunjukkan belum adanya sikap kedewasaan dalam berbeda pendapat, namun di dalamnya juga terdapat fitnah karena menuduh seseorang dengan sebuah tuduhan yang sama sekali tidak benar. Menisbatkan seorang menjadi bagian dari organisasi tertentu padahal sesungguhnya dia tidak ada kaitannya sama sekali dengan organisasi tersebut adalah sebuah kebohongan dan fitnah. Sebelum menyampaikan suatu pernyataan, seharusnya setiap muslim mengecek terlebih dahulu kebenaran sebuah berita yang dalam istilah al-Qur’an disebut dengan tabayyun. Demikianlah yang disampaikan oleh Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika ada seorang fasiq dating kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyun-lah (teliti dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian”. (QS Al Hujurat:6)
Perbedaan itu keniscayaan:
Sesungguhnya perbedaan dalam kehidupan ini adalah sebuah keniscayaan. Bahkan terkait dengan masalah yang paling mendasar dalam kehidupan ini sekalipun, yaitu masalah keimanan, Allah sengaja menciptakan adanya perbedaan di dalamnya, manusia diberi kebebasan dalam memilih iman atau tidak, sebagaimana sisebutkan oleh Allah dalam al-Quran Surat Yunus: 99, Al An’am: 35, Hud: 118, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain. Demikian terlihat jelas dalam ayat-ayat tersebut di atas bahwa pebedaan itu pasti ada bahkan menjadi sebuah keharusan. Membuat manusia berada dalam satu titik pemahanan dan pemikiran adalah sebuah kemustahilan.
Lebih-lebih lagi jika perbedaan itu adalah masalah perbedaan dalam berijtihad, tentunya sudah tidak zamannya lagi kita mempermasalahkan hasil ijtihad masing-masing orang. Ada orang yang lebih senang naik bus jika mau ke Surabaya, namun ada orang lain yang lebih memilih naik mobil sendiri. Apakah kita akan memaksa semua orang yang mau ke Surabaya untuk naik bus? Sudah pasti hal itu tidak mungkin dilakukan. Demikian juga dalam hal pilihan berorganisaai, masing-masing orang mempunyai ijtihad sendiri-sendiri yang telah didasarkan pada sejumlah pertimbangan dan akhirnya organisasi tertentu itu menjadi pilihnnya. Memaksa orang bahkan menghalangi orang lain berbuat kebaikan gara-gara orang itu berbeda organisasi dengan kita adalah perbuatan yang tidak tepat.
Perbedaan ini seharusnya dapat membuat kehidupan menjadi indah, masing-masing orang yang berbeda seharusnya dapat memberikan kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Setiap kelebihan dari orang-orang yang berbeda itu seharusnya mampu membangun sebuah kekuatan yang lebih indah. Bukankan baju yang kita kenakan di tubuh kita ini terjadi karena perpaduan antara beberapa profesi yang berbeda-beda sehingga dapat menjadi hiasan yang indah pada tubuh kita? Untuk dapat terwujud sebuah baju diperlukan orang yang berprofesi sebagai petani yang tugasnya menanam kapas, penenun yang tugasnya menenun benang menjadi kain, pembatik yang tugasnya menghiasi kain dengan batik, penjahit yang tugasnya menjahit kain menjadi baju dan masih banyak lagi tangan-tangan yang berbeda dan diperlukan dalam menciptakan sebuah baju.
Apabila dikaitkan dengan membangun kembali peradaban Islam, maka sepertinya mustahil dapat dilakukan oleh segelintir orang atau sekelompok orang saja. Peradaban Islam yang dicita-citakan oleh bahnyak orang ini tidak mungkin dibangun oleh hanya satu organisasi saja, setiap organisasi atau kelompok seharusnya menyumbangkan kelebihan masing-masing untuk kepentingan yang mulia itu. Belum ada organisasi ke-Islam-an yang mampu memerankan Islam dengan sempurnya, karena memang organisasi itu adalah kumpulan dari manusia yang salah satu karaktenya adalah lemah. Misi syumuliyatul Islam baru bisa diwujudkan jika masing-masing organisasi bisa bekerkjasama dengan baik. Jika tidak, maka peradaban Islam itu akan sulit diwujudkan kembali. Wallahu a’lam.
===============
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Rekomendasi Artikel: