Humanisme dalam konteks sosial yang paling menonjol adalah memberi kesadaran setiap pemeluk agama untuk menghormati agama lain. Dalam konteks ini gagasan Umaruddin Masdar dalam buku Agama Orang Biasa sangat pas diterapkan untuk membedah novel Bekisar Merah dan Belantik. Kata Umaruddin Masdar:
Menurut Umaruddin, agama orang biasa adalah suatu ekspresi atau model keberagamaan yang lahir dari mereka yang mampu mentransformasikan iman yang transhistoris, transenden, dan supra-empiris dalam manifestasi amal saleh yang bersifat historis, empiris. Keberagamaan orang biasa adalah keberagamaan yang tulus, arif dan berdasarkan akal sehat. Ia tidak kaku, ekslusif, tertutup, arogan. Sebaliknya mereka sangat terbuka, rendah hati, inklusif, moderat, toleran, penuh prasangka baik, penuh tanggungjawab dan punya komitmen besar pada kemanusiaan.
Keberagamaan orang biasa adalah keberagamaan yang bercorak humanitarianistik, yakni keberagamaan yang dilandasi dan diorientasikan pada pengembangan dan pemeliharaan sikap yang selalu berusaha melihat segala kebaikan dalam perspektif kemanusiaan universal yang dipadukan dengan perhatian terhadap kesejahteraan, hak, dan otonomi individu.
Hal demikian bukan berarti bahwa orientasi pada kemaslahatan individu mengabaikan kemaslahatan umum (al-maslahah al-ummah). Kemaslahatan umum merupakan suatu kondisi yang terkait dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial, di mana ia hidup sebagai warga masyarakat atau warga bangsa. Ini artinya, kemaslahatan atau kepentingan umum harus diupayakan dan dijaga berdasarkan konsensus-konsensus masyarakat yang lepas dari intervensi agama secara langsung dan institusional.[1]
Matahari yang hampir tenggelam hanya menyisakan mega kuning kemerahan di langit barat. Sepi makin sepi karena burung-burung tak lagi mencicit. Anginpun mati. Darsa bangkit dan mendesah. Geraknya tanpa semangat ketika dia melangkah, merendam diri setinggi betis dalam air, dan bersuci. Dengan melompat-lompat ke atas batu sampailah Darsa ke punggung batu besar itu. Darsa bersujud demi pertemuan dengan Sang Kesadaran Tertinggi untuk mencoba memahami gonjang-ganjing yang sedang melanda jiwanya. Darsa ingin memahami apa yang benar-benar telah dilakukannya dan menyebabkan ia harus dengan kenyataan paling getir yang pernah dialaminya; Lasi minggat dan seisi kampung geger. Tak cukup dengan kenyataan pahit yang sulit diterimanya itu Darsa juga harus mengawini Sipah, perempuan yang tak pernah sekali pun dibayangkan akan menjadi istrinya. (Bekisar Merah, hlm. 105)
Ketika hidup tersa kepenak, tak sia-sia, dan perut terasa aman, mereka punya peluang memikirkan sesuatu yang tak pernah hilang dala jiwa tetapi sering mereka lupakan ketika lapar: sangkan paraning dumadi. Para penyadap yang selalu menyebut Gusti Allah untuk membuka kesadaran terdalam demi keselamatan mereka, sering lupa pergi ke surau karena mereka bingung menjawab pertanyaan yang menggigit; mana yang harus didahulukan, oman atau iman? Oman adalah tangkai butir padi, perlambang keamanan perut. Oman dan iman adalah kebingunan para penyadap yang muncul dalam ungkapan yang sering mereka ucapkan, “Bagaimana kami bisa lestari berbakti bila perhatian kami habis oleh ketakutan akan tiadanya makanan untuk besok pagi?” (Bekisar Merah, hlm. 133)
”Bila tak kuat?” potong Mukri.
Di sinilah pentingnya kejujuran itu. Sebab kamu sendirilah yang paling tahu kuat-tidaknya kamu berpuasa sementara pekerjaaanmu memang menguras banyak tenaga. Apabila kamu benar-benar tidak kuat, ya jangan kamu paksakan. Nanti malah mengundang bahaya. Dalam hal seperti ini kukira kamu bisa mengganti puasamu dengan cara berderma atau menebusnya dengan berpuasa pada bulan lain. Gampang?”
…
“Nanti dulu, aku belum selesai bicara. Meski kalian bisa memperoleh kemudahan, jangan lupa bahwa dalam bulan puasa seperti sekarang ini kalian tetap diminta berlatih mengendalikan nafsu, perasaan, dan keinginan. Karena, itulah inti ajaran puasa.” (hlm. 235)
Dengan penggambaran seperti itu, ada pesan Ahmad Tohari yang hendak ditegaskan kepada masyarakat bahwa persoalan puasa (juga persoalan ritual agama yang lain) adalah persoalan kepercayaan manusia terhadap ajaran-ajaran yang telah diwahyukan oleh Sang Pencipta kepada manusia. Manusia boleh memperdebatkan sehingga menjalankan atau tidak adalah terpulang kepada masing-masing. Demikian halnya dengan persoalan memeluk agama yang harus diperhitungkan kepada hati nurani masing-masing ketika menerima ajaran. Oleh sebab itu, dalam kesempatan wawancara dengan penulis, Ahmad Tohari tidak terlalu harus menyatakan secara eksplisit persoalan keagamaan karena novel harus dikemas sedemikian rupa dan sepadat mungkin. Intinya, dipersilahkan kepada anggota masyarakat untuk bersikap bagaimana terhadap agama manapun, asal selalu mempertimbangkan asas kemanusiaan dan kesederajatan antar sesama mahluk Tuhan. Dalam hal ini pilihan memakai istilah “puasa”, “oman-iman”, dan “bersujud” oleh Ahmad Tohari dianggap telah mewakili apa yang diharapkan.
Di sinilah letak gagasan humanisme teologis dalam konteks memanusiaan manusia yang harus menjadi perhatian semua orang sesama pemeluk agama. Ahmad Tohari tidak terlalu memaksakan kehendak dalam mengompromikan gagasan yang sifatnya menyangkut keyakinan seseorang ini. Hanya saja, bagaimanapun juga keberangkatan Ahmad Tohari dalam menulis novel adalah dalam rangka mengembangkan nilai-nilai humanisme berbasis ajaran agama yang dianutnya.
Selain gagasan penghormatan terhadap penganut agama lain, Ahmad Tohari guna menegaskan bahwa agama yang sudah dianut wajib dijalankan sebaik-baiknya. Simak tuturan dalam Belantik berikut ini:
Sampai di tujuan Lasi menemukan rumah orangtuanya sepi. Pintu depan terkunci dari luar. Lasi berjalan memutar. Dia masih ingat ada cara khusus untuk masuk dari pintu belakang. Kosong. Tetapi di meja ada segelas kopi yang masih hangat. Artinya, emak dan ayah tirinya, Wiryaji, sudah bangun. Dan keduanya niscaya sedang beribadah bersama di surau Eyang Mus. Kemudian entahlah, tiba-tiba Lasi juga ingin bersembahyang. Sudah lama, lama sekali dia tidak melakukannya. Maka bergerak dalam kesunyian, Lasi menuju kamar mandi. Keluar dari sana ia masuk ke kamar pesalatan. Suasana di rumah Mbok Wiryaji pun kembali hening. Demikian hening sehingga suara puji-pujian dari surau Eyang Mus samar-samar merayap ke telinga dan jiwa Lasi.
Yun ayun, ayun badan. Wong ayun susahing ati.
Badan siji digawa mati. Wong neng dinya sugih dosa.
Neng akherat dipun siksa. Gusti Allah, nyuwun ngapura.
Gendhung-gendhung pengeling-eling.
Padha elinga mumpung urip neng dunya.
Padha ngajia lawang tobat esih menga
Gawe dalam maring suwarga
Aja babad kudhi jungkir
Babadana klawan puji dan dikir.
(Menimbang diri dalam kesadaran hidup. Dan timbangan mengayun kesusahan. Karena hidup akan beralih lewat pintu kematian. Bila hidup di dunia banyak dosa, di akhirat bertemu siksa. Maka mintalah kasih sayang Tuhan. Dan dengarlah tabuh pemberi peringatan. Ingatlah selagi hidup di dunia. Mencari ilmu, pintu pertobatan tetap terbuka. Mari merintis jalan menuju kasih sayang Allah. Bukan merintis dengan parang. Melainkan dengan puji dan kesadaran).
Masih dalam pakaian ibadah, Lasi merebahkan diri di atas pesalatan. Puji-pujian yang masihsayup terdengar dari surau Eyang Mus membuai hati dan jiwanya. Entahlah, puji-pujian itu membuat Lasi merasa dirinya dimengerti, dipahami, dan diterima kembali oleh tanah kelahiran. Maka kegalauan yang dibawanya dari Jakarta terasa mulai meleleh. Dan perjalanan hampir sepanjang malam dari Jakarta dengan bus yang penuh membuat Lasi hampir semalaman tak bisa tidur. Kini Lasi teramat lelah. Maka ketika peluang beristirahat tiba, ia cepat tertidur pulas. (Belantik, hlm. 73-74)
B. Pandangan Ahmad Tohari tentang Humanisme Optimis sebagai Titik Tolak Penyadaran atas Harkat, Martabat, dan Kemampuan Manusia[2]
Humanisme optimis adalah paham kemanusiaan yang membuat orang sadar kembali tentang harkat, martabat, dan kemampuan manusia sebagai mahluk rohani. Konsep humanisme ini menandaskan lagi tanggungjawab manusia dalam hidup di dunia. Pengertian itu perlu dikemukakan mengingat dalam praktek hidup nyata, banyak sekali masih berhenti sebagai pengertian, tidak operasional dan mempengaruhi kehidupan. Pengertian ini masih dikalahkan oleh paham fatalistis (jabariyah, yang mempertuhankan “fasilitas” apa adanya), pemikiran dogmatis sempit, dan struktur serta keadaan hidup yang ada.[3]
Sebab pandangan etika yang humanistis bernada optimis. Para penganut etika humanisme yakin benar akan kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan lingkungannya. Bila didampingi, didukung, dan dibantu oleh situasi dan keadaan yang baik, dalam keluarga, lingkungan, dan masyarakat, manusia pasti mampu dan mau berkembang menjadi lebih baik dan membawa kemajuan bagi diri dan masyarakat nya.
Namun pandangan tentang manusia yang optimis itu rasanya terlalu berlebihan optimis. Manusia memang dapat berbuat kebaikan dan dapat dibuat menjadi lebih baik sehingga mampu hidup lebih baik dan berbuat kebaikan lebih banyak dalam segi mutu dan jumlahnya. Namun manusia ternyata hanya dapat berkembang, tetapi juga dapat merosot menjadi lebih buruk sehingga mendatangkan lebih banyak kejahatan dan menciptakan hidup yang lebih jahat. Karena itu, ukuran itu harus lebih tinggi dan adadi atas manusia. Ukuran itu adalah nilai etis-moral yang baik, dan berasal dari sumber kebaikan, Tuhan sendiri.[4]
Berkaitan dengan pandangan humanisme ini Ahmad Tohari mengungkapkan kesadaran tertinggi kemanusiaan ada pada diri manusia itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan lewat lakon Lasi yang mengalami kegembiraan tersendiri atas Kanjat yang melakukan penelitian untuk membantu meningkatkan taraf hidup orang-orang kampung secara ekonomi, meskipun angan-angan itu tidak terpenuhi karena berbagai kendala.
Pada usia hampir dua puluh lima tahun Kanjat lulus sebagai insinyur. Di hari-hari pertama menjadi sarjana Kanjat merasakan kegembiraan, dan juga kebanggaan, tetapi hari-hari berikut terasa membawa kekaburan. Kanjat tak mudah membawa pertanyaan sendiri; sesudah menyandang gelar sarjana, lalu apa? Beberapa teman seangkatannya segera meninggalkan kampus untuk melamar pekerjaan menjadi pegawai negeri Departemen Pertanian. Dan Kanjat, entah mengapa, tak ingin mengikui langkah mereka. Mungkin karena Kanjat tahu, melamar pekerjaan seperti itu sering berarti berhadapan dengan sistem birokrasi yang absurd dan adakalanya seperti meminta belas kasihan. (Bekisar Merah, hlm. 243)
…
“Pak Jirem,” kata Kanjat dengan suara berat. “Saya sih, sampai kapan pun tetap anak Karansoga. Saya selalu merasa kaum penyadap di sana adalah sanak famili saya sendiri. Jadi kepahitan hidup mereka adalah keprihatinan dan beban jiwa saya juga, beban yang tak ringan.”
Kanjat berhenti. Gelisah. Pak Jirem memperhatikannya, masih dengan rasa menyesal.
“Jadi beban?” tanya Pak Jirem karena ditunggu Kanjat belum juga meneruskan kata-katanya.
“Ya. Karena, sementara saya bisa merasakan kesusahan mereka, saya boleh dibilang tak mampu berbuat sesuatu. Pak, mungkin perasaaan saya salah. Namun memang saya merasa dalam kondisi kehidupan yang dikuasai oleh perekonomian pasar seperti pasar bebas sekarang, segala keterpihakan terhadap kehidupan pinggiran kurang mendapat dukungan. Malah, jangan-jangan obsesi saya untuk membantu para penyadap merupakan sesuatu yang sia-sia. Seperti pernah saya katakan dulu, jangan-jangan nanti ada orang menyebut saya Don kisot.”
Junior dan senior sama-sama terdiam. Namun tak lama kemudian Pak Jirem tersenyum. Kedua tangannya masih dalam saku celana.
“Ya, saya mengakui ada kebenaran dalam kata-katamu. Namun saya juga mengakui masih ada kebenaran dalam pepatah lama; lebih baik berbuat sesuatu, meskipun kecil, dari pada tidak sama sekali. Dalam hal perdagangan gula kelapa, karena sudah lama terkuasai oleh tangan gurita yang begitu kuat, kita mungkin tak bisa berbuat banyak. Tetapi apakah tak ada sisi lain dalam kehidupan masyarakat penyadap yang perlu kita bantu?”
“Banyak!” jawab Kancat cepat. Begitu cepat sehingga Jirem merasa nafasnya terpotong. Tetapi Jirem tersenyum karena melihat ada semangat tergambar dalam wajah Kanjat. (Bekisar Merah, hlm. 244-245)
Dalam percakapan ini Ahmad Tohari hendak mengemukakan bahwa obsesi yang optimis harus senantiasa dibangun sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. Sebab sebagai kelompok yang terpinggirkan dan tertindas secara struktur, orang-orang desa harus selalu menyimpan bara semangat untuk bertahan hidup meneruskan generasi-generasi yang lebih baik. Berkaitan dengan kemanusiaan, Ahmad Tohari menyimpan pesan bahwa semiskin-miskinnya orang desa lebih baik tetap mempunyai gairah hidup ketimbang kaya tanpa niat mendinamiskan kehidupan.
Kisah tersebut juga menyiratkan betapa susah membangunkan kehidupan pedesaan yang memang secara “ideologi” sudah terpuruk dari pola pikir yang sering menggantungkan diri pada angan-angan dan harapan yang tidak pasti. Sementara ketika disodori oleh rencana yang rasional sering malah menyepelekan sebab tidak tahu bagaimana harus dilakukan. Dan pesan yang disampaikan lewat percakapan Kanjat dan Doktor Jirem adalah sebuah optimisme dalam mengangkat martabat kemanusiaan.
Namun demikian, optimisme harus dibarengi dengan sikap mengukur kemampuan diri sendiri. Sebagaimana dikisahkan Ahmad Tohari melalui perasaan Lasi:
Tiga hari berada di rumah orangtua di kampung halaman, Lasi belum mendapat kepastian apa yang akan dilakukannya. Selama tiga hari itu Lasi hanya melangkahkan kaki seputar kampung tanpa tujuan tertentu. Selama tiga hari pula Lasi merasakan betapa sikap semua orang Karangsoga jauh berubah. Semua orang ingin melihatkan keakraban kepadanya dan wajah mereka cerah ketika diajak bicara. Mata mereka mengatakan, mereka menyesal dan tidak ingin lagi merendahkan Lasi seperti yang terjadi pada mas lalu. Lasi sering ingin tersenyum menikmati perubahan sikap orang-orang sekampung. Terasa ada kepuasan karena dendam yang terbayar. Namun sesering itu pula Lasi teringat ada kata-kata yang pernah diucapkan emaknya, aja dumeh, jangan merasa diri berlebih. (Bekisar Merah, hlm. 273-274)
C. Pandangan Ahmad Tohari tentang Humanisme Kemasyarakatan sebagai Konsep Membangun Idealitas Hak dan Kewajiban Manusia
Melalui bab ini perlu kami jelaskan ulang kembali bahwa Islam menampakkan diri sebagai suatu gerakan yang menekankan pentingnya kehidupan sosial, lebih daripada kehidupan kolektif. Dengan kata lain, kehidupan pribadi mereka yang bertanggungjawab, bukan perorangan yang terikat kepada kelompok tradisional. Dengan cepat, masyarakat yang dibentuknya merasa perlu dibentuknya suatu kesatuan yang khusus, berbeda dengan dunia luar karena mempunyai idealitas bersama serta hak dan kewajiban yang timbal balik. Fenomena itu tidak khusus untuk agama Islam saja, tetapi ide tentang kelompok atau komuniti atau umat hanya terdapat dalam Islam, karena umat berarti berkumpulnya orang-orang yang mukmin yang percaya kepada kesaksian yang berpusat kepada sabda Tuhan yang tidak berubah dan abadi, yakni Al-Qur'an.[5]
Identifikasi pribadi dan perkembangan wataknya merupakan unsur yang mempersatukan ‘umat’ sehingga merupakan bangunan katedral, dan bukan sekedar tumpukan batu-batu yang terpisah-pisah. Konsep manusia kolektif dalam Islam berbeda dengan manusia pribadi. Seorang muslim dan seorang manusia anggota umat merupakan dua kesatuan yang terpisah dan masing-masing mempunyai tempat yang sesuai dengan wataknya serta pandangannya tentang alam. Manusia pribadi, dalam hubungannya dengan umat tak ada konsepnya dalam Islam, karena Islam tidak membedakan antara seorang manusia dan beberapa manusia. Islam membedakan antara seorang manusia dan umat.[6]
Islam berpendirian bahwa bersatunya manusia dalam masyarakat adalah suatu keharusan. Watak manusia tidak memungkinkan hidup terpencil. Tersusunnya masyarakat sebagai akibat dari ketidakmampuan ini, keperluan manusia untuk berkelompok itu sesungguhnya berganda. Di satu pihak, keinginan untuk dominasi dan agresi yang merupakan watak bawaan dalam manusia, dapat mendorongnya kepada tindakan tanpa pikiran atau merusak. Otoritas dan kekuasaan yang memaksa adalah satu-satunya sarana yang dapat mengatasi rasa dengki, kesombongan, kecurigaan, dan keangkuhan pribadi, dan dengan begitu melindungi semua warga kelompok secara timbal balik. Di lain pihak, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk memuaskan segala kebutuhan pribadinya. Kerjasama dan tolong menolong menjadi keharusan bagi manusia jika ia tidak mau musnah.[7]
Bagi Boisard, humanisme dalam pandangan Islam adalah humanisme yang menuntut agar tiap-tiap manusia menikmati sikap hormat terhadap hak-haknya dan pribadinya dengan mengakui bahwa status individu dapat berbeda menurut tradisi kebudayaannya.[8]
Berkaitan dengan pandangan itu, pandangan-pandangan Ahmad Tohari juga memuat beberapa konsep tentang kemasyarakatan ini. Gambaran yang dikemukakan Ahmad Tohari mengacu pada kekhasan kehidupan pedesaan yang guyub, antara yang satu dan lain orang saling bahu-membahu. Seperti dikisahkan dalam cerita di bawah ini:
“Nah, kamu kelihatan kurus dan lusuh. Susah?”
Darsa tersenyum getir. Tetapi Enyang Mus malah tertawa.
“Iya, ya. Aku tahu, semua orang tahu, kamu sedang kangonan luput, sedang menanggung salah. Dan itu tak mudah memikulnya.”
“Eyang Mus, saya bingung,” ucap Darsa sambil menunduk lesu.
“Iya, ya. Semua orang tahu kamu tengah gagap akibat perbuatanmu sendiri. Malah mungkin kamu sendiri juga bertanya, apa sebenarnya yang telah terjadi kok tiba-tiba hidupmu gonjang-ganjing, limbung, sehingga badanmu jadi kurus seperti itu. Iya, kan?”
“Itulah sebabnya saya datang, Yang. Saya minta Eyang Mus mau memberi saya pepadhang, jalan keluar. Eyang Mus, saya bingung.”
Eyang Mus terbatuk lalu tersenyum. Mengangguk-angguk.
“Nanti dulu. Kamu sudah makan?”
Darsa tersipu. (Bekisar Merah, hlm. 111)
Tertulis jelas bantuan yang diberikan oleh Eyang Mus adalah sebuah tanda keguyuban orang desa ketika melihat saudaranya mengalami musibah. Melalui cerita ini Ahmad Tohari berpesan seburuk-buruknya orang, jika orang itu sedang kesusahan, maka orang yang merasa sedang tidak kesusahan mendapatkan kewajiban untuk membantu. Pesan ini sangat dalam maknanya. Sebab konteks cerita adalah Darsa yang sedang mengalami musibah berat berupa dipaksa menghamili perawan tua, namun bagaimanapun juga ia berhak mendapatkan perlidungan secara individual, jika secara sosial susah dibantu.
Namun demikian, berusaha membantu adalah bermakna memberi semangat hidup orang lain. Maka Ahmad Tohari mengakhiri novel Bekisar Merah dengan ungkapan berikut ini:
Pada pihak lain, Darsa adalah dunia para penyadap yang terus memanggil keterpihakan Kanjat. Sudah menjadi kesadaran yang mendalam di hati Kanjat bahwa para penyadap menyimpan piutang yang sangat besar pada orang-orang dari lapisan yang lebih makmur, termasuk Kanjat sendiri. Tetapi piutang itu agaknya tertelan oleh benalu, bahkan siluman struktural yang tak kasat mata. Piutang para penyadap itu menjadi uap yang terlupakan dan dianggap hayati. Maka sangat mungkin terasa ganjil ketika orang membincangkannya. Di mata Kanjat, piutang para penyadap adalah sesuatu yang sangat nyata, meski ia merasa gagal membayarnya kembali. Keringat para penyadap itu mungkin akan menjadi utang abadi baginya. (Bekisar Merah, hlm. 309)
[1] Umaruddin Masdar, Agama Orang Biasa, Yogyakarta: Klik-R, Cetakan II, hlm. 172-173.
[2] Istilah “Humanisme Optimis” yang penulis kemukakan dalam skripsi ini bermakna menggugah semangat hidup manusia yang sedang dilanda kesusahan. Bagaimanapun juga, dalam hidup jika ingin tetap eksis, optimis adalah sebuah sikap yang patut dipuji dan berharga bagi pelajaran generasi selanjutnya.
[3] A. Mangunhardjana, Isme-Isme dari A sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm. 94.
[4] Ibid, hlm. 95.
[5] Marchel A Boisard, Prof., Dr., Humanisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm. 157.
[6] Ibid, hlm. 158.
[7] Ibid, hlm. 159.
[8] Ibid, hlm. 424.