“Maaf, ke mana nih pak?”, tanya sopir taksi yang menjemput saya di hotel dengan ramah dalam logat Sundanya yang kental. “Ke bandara, pak”. “Gak terlambat ya pak. Pesawat saya jam 9.30. Sekarang jam 8. 30. Ada waktu satu jam”, jawab saya. “Oh, mepet sekali pak. Soalnya jalan di sini sering macet. Kita berdo’a saja agar semua lancar, sehingga bapak gak terlambat”, sahut sang sopir taksi setengah baya itu. “Kalau begitu, agak cepat saja pak”, pinta saya dengan agak panik. “Memangnya bapak mau ke mana?” tanya dia . “Saya mau ke Surabaya, pak. Memakai pesawat Sriwijaya”, jawab saya. “Ok pak. Kita cepat ya. Soalnya bisa memakan waktu satu jam dari sini ke bandara”, sahut sopir. Taksi melaju dengan kencang, sampai hampir saja bersenggolan dengan kendaraan lain yang sama-sama melaju kencang. Beberapa kali sopir itu meminta maaf karena membuat saya tidak nyaman. “Gak apa-apa pak. Ini kan gara-gara saya yang minta cepat, karena takut terlambat. Saya kurang antisipatif”, sambung saya untuk meyakinkan bahwa bukan dia yang salah.
Narasi di atas adalah dialog pendek saya dengan sopir taksi yang menjemput saya di hotel tempat saya menginap beberapa saat setelah saya masuk taksi. Pagi itu udara kota Bandung cukup segar, tetapi agak mendung, setelah semalaman diguyur hujan deras. Sisa-sisa air hujan masih terlihat jelas dan sebagian masih menggenang di pinggir jalan yang saya lewati. Saya tinggal di sebuah hotel berbintang empat, cukup jauh dari pusat kota untuk sebuah kegiatan lokakarya. Dalam batin saya bertanya mengapa saya ditempatkan di hotel yang jauh dari keramaian kota, padahal banyak hotel di tengah kota dan tidak kalah baiknya. Peserta lain malah secara terus terang bertanya kepada panitia mengapa panitia memilih hotel tersebut. Panitia pun hanya tersenyum ketika ditanya hal itu. Saya menduga agar kami bisa konsentrasi dan tidak meninggalkan hotel sebelum kegiatan selesai. Sebab, dalam kegiatan-kegiatan seperti itu panitia sering kebingungan karena tidak sedikit peserta yang tidak istiqomah mengikuti acara, sehingga kegiatan tidak efektif. Dengan tinggal di hotel yang jauh dari pusat kota, kami memang bisa konsentrasi pada kegiatan yang memang cukup padat. Tak satu pun peserta meninggalkan hotel sebelum acara selesai.
Dalam perjalanan menuju bandara tersebut dan sopir sudah mampu mengendalikan keadaan, saya mulai membuka komunikasi dengan mengajukan pertanyaan mengenai identitas sang sopir. Tanpa saya duga dia cerita lengkap, mulai dari nama, tempat tinggal, dan keluarganya. Setelah menyebutkan namanya, identitas kedua yang dia kenalkan kepada saya adalah jabatan sosialnya, yaitu sebagai Ketua Rukun Warga (RW). Dia juga bercerita bahwa dia memiliki tiga anak, satu cucu. Kedua anaknya sudah bekerja, dan yang ketiga diambil pamannya untuk dimasukkan menjadi tentara. Dia juga dengan bangga bercerita bahwa salah satu adik kandungnya adalah lulusan AKABRI angkatan 1984, dan kini sudah berpangkat Brigadir Jenderal. Saat ini dia dinas di Surabaya. Semua cerita tersebut saya dengarkan dengan baik, sambil sesekali memujinya. Sang sopir tampaknya juga orang yang sangat religius. Buktinya beberapa kali dia mengucapkan syukur atas semua karunia yang diberikan oleh Allah. Kendati seorang sopir taksi, anak-anaknya sukses sekolahnya dan memiliki adik seorang lulusan AKABRI. “Saya syukuri semua yang ada” jelasnya dengan bijak.
Saya mencoba memahami semua yang dia sampaikan. Tampaknya dengan mengenalkan dirinya sebagai Ketua Rukun Warga (RW), adiknya jadi tentara dengan berpangkat Brigadir Jenderal, anak-anaknya sukses, anak yang ketiga sudah siap-siap mendaftarkan diri menjadi tentara seperti pamannya, secara tidak langsung dia bermaksud menyampaikan pesan bahwa dia bukan sembarang sopir yang sering dianggap tidak berpendidikan, suka ugal-ugalan, hidup yang tidak teratur dan sebagainya. Saya tidak perlu melakukan verifikasi tentang kebenaran ceritanya, karena saya tidak berkepentingan sama sekali tentang hal itu. Artinya, apakah ceritanya benar atau salah, bagi saya tidak ada pengaruhnya. Tetapi yang jelas, lewat ceritanya dia ingin menunjukkan bahwa dia punya kuasa. Itu yang penting. Dalam obrolan yang kurang dari tiga puluh menit di dalam taksi dalam perjalanan ke bandara itu saya teringat kembali tentang relasi atau tali temali antara bahasa dan kekuasaan. Kekuasaan tidak saja dipraktikkan melalui bahasa, tetapi juga ditunjukkan lewat bahasa. Dua kalimat penting dan menjadi kalimat kunci yang diucapkan sang sopir “saya sebagai Ketua RW, dan adik saya seorang lulusan AKABRI yang kini menjadi Brigadir Jenderal’ adalah bahasa kekuasaan yang sangat tegas.
Ibarat seorang peneliti, saya memperoleh informan yang sangat baik yang dalam istilah metodologi penelitian disebut ‘maximum variety’, yakni informan yang aktif dan mau bercerita secara lengkap sehingga peneliti memperoleh data yang kaya. Dia menceritakan tentang semua kehidupan pribadinya, tanpa saya tanya. Saya tidak tahu mengapa dia begitu terbuka dengan saya. Padahal kita belum saling mengenal. Saya juga tidak tahu apakah kepada setiap penumpang taksinya, dia juga bercerita begitu terbukanya. Tetapi sejauh yang saya tahu, sifat-sifat umum orang Sunda yang saya kenal, karena hampir dua tahun kami pernah tinggal di komunitas Sunda, umumnya ramah dan terbuka, serta enak berkomunikasi. Itu kesan yang saya peroleh tentang orang Sunda.
Tetapi yang membuat saya tertarik untuk membuat artikel pendek ini bukan ceritera orang Sunda atau sifat keterbukaan sang Sopir, melainkan cerita ketika saya bertanya di mana dia tinggal. Sepertinya dia menumpahkan unek-unek yang selama ini terpendam dan tidak tersalurkan. Dia bilang tempat tinggalnya tidak jauh dari hotel tempat saya menginap. Menurutnya, kawasan hotel itu sebelumnya merupakan lahan tidak produktif, tidak terurus dan ditumbuhi rumput liar, tetapi masyarakat umum bisa memanfaatkannya dengan leluasa untuk mencari sumber penghidupan. Banyak sayuran dan buah-buahan tumbuh dan siapa pun bisa memetiknya. Luas lahan mencapai 350 hektar, milik beberapa orang kampung. Warga kampung di sana sangat rukun. Kendati rata-rata miskin, mereka bisa hidup rukun selama ini. Nyaris tidak ada konflik. Kini lahan itu telah dimiliki seorang investor dari ibu kota, dan disulap menjadi kawasan elit dengan hotel berbintang empat di tengah-tengahnya. Ada fasilitas olah raga, rekreasi, malah, katanya, nanti akan ada pusat perbelanjaan (mall) besar dan warga bisa bekerja di sana. “Tetapi ya begitulah pak, nasib kami” sambung dia. “Kenapa memangnya?” tanya saya.”Walau daerah ini telah menjadi kawasan elit, kami toh tetap jadi orang miskin. Yang kaya ya orang luar, yang punya lahan ini. Ibaratnya, kami adalah orang miskin di tengah-tengah orang kaya. Tiap hari kami hanya menyaksikan lalu lalang mobil mewah milik orang kaya. Atau istilah menterengnya kami adalah orang miskin kota. Kami, masyarakat sekitar kawasan ini tidak bisa ikut menikmati kemewahan yang ada, kecuali hanya melihatnya. Dulu, sebelum kawasan ini menjadi seperti sekarang, kami bisa hidup santai-santai saja, dan tenang karena bisa mencari sumber kehidupan dari sana. Misalnya, cari sayur, buah, dan sebagainya. Siapa yang panen ketela atau singkong ya tetangganya sama-sama menikmati”, kata sopir itu dengan suara lirih. Menurutnya, ketika pembangunan kawasan ini dimulai, masyarakat setempat dihibur bahwa nanti akan ada banyak peluang kerja, sehingga kehidupan bisa berubah. Para perangkat desa, dibantu pejabat setingkat kecamatan juga meyakinkan mereka tentang hal itu. “Ternyata semua nihil. Kami tetap miskin, dan menjadi masyarakat miskin kota”, sambungnya lagi “Apa bedanya orang miskin desa dan miskin kota” tanya saya sambil mengetes pengetahuannya.
Tanpa saya duga dia bisa menjawab pertanyaan saya dengan tepat. “Orang miskin kota harus bekerja dengan keras jika gak ingin mati kelaparan. Karena di kota masyarakatnya sudah individualis, lebih-lebih di kota besar, seperti Bandung ini. Tetapi kalau orang miskin desa, masih bisa santai-santai. Toh nilai-nilai kekerabatan masih longgar, sehingga bisa saling membantu atau tolong menolong. Jangan harap ada saling tolong atau memberi makan di kota”, jawabnya mantap bagaikan seorang dosen sosiologi. Mendengar jawaban tersebut, saya semakin penasaran dan dalam batin bertanya siapa sesungguhnya sopir taksi yang membawa saya pagi itu. Dugaan saya, sopir tersebut berpendidikan tinggi, setidaknya sarjana (S1) dan pernah kuliah sosiologi. Tanpa terasa, menara bandara sudah kelihatan di depan mata. Saya pun siap-siap turun sambil melihat ongkos taksi melalui argo, dan tertulis angka Rp. 65.000,- Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk bandara, dan saya membayar sesusai yang tertulis di argo. Sambil mengucapkan terima kasih, saya pun pamit.
Usai check in dan sambil menunggu jam terbang, saya masih merenungkan ungkapan “miskin kota” yang diucapkan sang sopir taksi cerdas tadi. Ketika kuliah sosiologi dulu, saya teringat ada pembahasan tentang fenomena kemiskinan kota. Dari kajian literatur, ditemukan bahwa fenomena kemiskinan kota diawali dengan asumsi bahwa kota merupakan wilayah tempat orang mencari rejeki. Setelah terjadinya Revolusi Industri di Eropa, hampir semua kota besar di dunia, terjadi migrasi besar-besaran, dan dampaknya adalah munculnya daerah-daerah kumuh karena orang yang baru bermigrasi belum mendapatkan pekerjaan, sehingga hidup dan tinggal apa adanya. Kawasan kumuh tidak terelakkan. Kota senantiasa menjadi daya tarik yang menyebabkan orang dari desa berdatangan, baik atas kemauan sendiri maupun karena tak mampu lagi bertahan hidup di desa. Fenomena demikian juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia.
Di kota-kota besar di negara maju, pemerintah dapat mengatasi masalah tersebut dengan baik karena ketersediaan sumber daya yang ada. Tetapi di negara-negara berkembang, seperti di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, selain peluang pekerjaan tidak sebanyak di kota-kota di negara maju, karena rendahnya tingkat industrialisasi, dan sedikitnya lapangan pekerjaan, pemerintah umumnya gagal mengatasi keberadaan wilayah-wilayah kumuh karena memiliki agenda atau skala prioritas yang lain. Akibatnya, masyarakat miskin kota merupakan suatu kenyataan yang tak terhindarkan. Mereka sering dijadikan biang kerok buruknya wajah kota.
Selain munculnya wilayah kumuh, kemiskinan di kota juga ditunjukkan dengan munculnya kaum gelandangan, yakni kelompok masyarakat yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa pekerjaan tetap, dan hidup dalam keterbatasan serta kekurangan. Kota yang menjadi tumpuan hidup ternyata tidak mampu menampung semua pendatang baru dalam peri kehidupan yang layak. Karena itu gelandangan merupakan kelompok masyarakat miskin kota. Sebab, lazimnya gelandangan memang berada di kota.
Kemiskinan pada hakikatnya merupakan kondisi ketidakberdayaan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Penyebabnya bisa karena orang yang bersangkutan memang lemah, (karena minimnya ketrampilan untuk bekerja atau rendahnya pengetahuan), atau karena kebijakan penguasa, sehingga melahirkan apa yang disebut dengan kemiskinan struktural. Apa yang ditunjukkan oleh sang sopir taksi merupakan contoh nyata terjadinya fenomena kemiskinan kota secara struktural. Tanpa terasa dan secara tidak langsung, sang sopir taksi telah menyadarkan kepada saya bahwa di tengah-tengah arus modernisasi ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan sebagai efek langsung dari modernisasi itu sendiri. Ini sebuah ironi, mestinya modernisasi mampu mengangkat derajat dan martabat siapa pun, tanpa harus ada yang tertinggal, sebagaimana sopir taksi tadi, sehingga tidak ada lagi fenomena “orang miskin kota”. Semoga sajian pendek ini bisa menjadi renungan kita bersama, terutama para ahli perancang pembangunan kota!
__________
Bandung, 4 April 2012