Baru-baru ini, seorang sahabat saya bergairah dan bersemangat mencari terobosan-terobosan baru guna menambah penghasilan selain dari gaji yang ia dapatkan. Alhamdulillah, semangatnya itu membuahkan hasil. Kini, dia sudah mendapatkan dua usaha sampingan diluar pekerjaannya sebagai pegawai di perusahaan telekomunikasi terkemuka itu.
Dalam rangka memupuk semangat dan mengembangkan jaringan usahanya itu, ia sering mengutip kata-kata bijak yang kemudian disebarkan via SMS ke sahabat-sahabatnya termasuk diri saya.
Suatu ketika saya menerima SMS-nya yang berbunyi, “Seorang konsultan perencana keuangan keluarga mengatakan jika Anda lahir dalam keadaan miskin itu bukan salah Anda. Tapi jika Anda mati dalam keadaan miskin itu jelas salah Anda”.
Saya memahami kutipan sahabat saya itu sebagai ajakan untuk lebih meningkatkan produktivitas kerja, mengoptimal segala potensi guna membuka peluang-peluang baru agar sumber pendapatan bisa bertambah, melebihi tingkat kebutuhan yang menjadi tuntutan. Ajakan tersebut sejatinya adalah ajakan yang positif, terlebih jika mengingat bahwa kebutuhan keluarga (terutama anak-anak) akan semakin besar seiring dengan berjalannya waktu dan usia, terlebih di masa krisis keuangan global yang mengancam kita kini. Sebagai misal adalah kebutuhan pendidikan bagi anak. Semua pasti memaklumi bahwa pendidikan berkualitas di negeri kita saat ini merupakan barang mahal.
Profil sekolah milik pemerintah (SD-SLTA) yang menjadi harapan rakyat yang hidupnya pas-pasan, masih belum menunjukkan kualitas yang setara dengan pendidikan yang dikelola swasta. Beberapa masalah masih menggelayuti sekolah negeri, antara lain masalah keterbatasan anggaran, tidak komprehensifnya kurikulum, dan rendahnya kualitas guru yang merupakan ujung tombak penentu keberhasilan pendidikan. Dalam hal kualitas guru ini, sosok guru sekualitas Ibu Muslimah dalam novel/film Laskar Pelangi, rasaya sulit ditemukan di zaman yang serba materialis dan pragmatis saat ini. Sulit bagi guru saat ini untuk berfokus mencurahkan pikiran untuk kemajuan anak didiknya jika pikirannya masih bercabang dengan permasalahan kehidupannya yang sulit. Kecuali untuk guru sejati atau mereka yang berjiwa guru, yang memang sejak awal berniat mewakafkan hidupnya untuk kemajuan pendidikan anak negeri.
Pemahaman saya akan kata-kata kutipan sahabat saya itu, boleh jadi dipahami secara berbeda oleh orang lain. Pada hakikatnya, musibah apapun yang dialami oleh seseorang adalah akibat ulah tangannya sendiri. Namun yang menarik, dalam Al Quran saya menemukan bahwa penyebab musibah itu bersifat kolektif bukan individual. Allah SWT menggunakan terminologi kum (kalian-jamak), bukan ka (kamu-tunggal). (QS 42:30). Bekait dengan mati miskin sebagaimana diungkapkan oleh sahabat yang menyitir pendapat konsultan perencana keuangan keluarga itu, sangat mungkin penyebab banyaknya saudara-saudara kita yang meninggal dalam kondisi fakir itu adalah kita secara umum, bukan hanya diri mereka secara individual.
Saya ingin sedikit menggambarkan tentang kondisi negeri yang turut berperan menciptakan marginalisasi (pemiskinan) penduduk negeri hingga mereka bertemu Tuhan dalam keadaan miskin. Data berikut ini bersumber dari sebuah opini di harian Kompas, terbitan 9 Desember 2008.
Kita memiliki cadangan minyak 8,4 miliar barrel. Jika rata-rata produksi dipertahankan 1 juta barel/hari seperti sekarang, minyak mentah Indonesia akan habis dalam waktu 24 tahun. Cadangan gas bumi disebut-sebut mencapai 165 triliun standar kaki kubik. Pasar domestik hanya mampu menyerap sekitar 40% dari produksi gas, sedangkan sekitar 60%-nya diekspor karena pasar domestik tidak didorong untuk mampu menyerapnya.
Bumi kita memiliki cadangan batu bara 18,7 miliar ton. Dengan rata-rata produksi 250 juta ton per tahun, cadangan akan habis dalam tempo 75 tahun. Sama halnya dengan gas, pasar domestik hanya mampu menyerap 30% batu bara, sedangkan 70%-nya diekspor. Belum lagi jika potensi energi-energi terbarukan dimanfaatkan. Sumber daya panas bumi mencapai 27.000 Mwe, dan energi tenaga surya mencapai 4,8 kWh per m2 per hari.
Dengan semua potensi sumber daya alam yang dimiliki, Indonesia seharusnya sudah mencapai mimpi negara gemah ripah (sejahtera). Sungguh ironis ketika angka-angka (cadangan sumber daya alam) yang spektakuler itu ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan yang dihadapi mayoritas penduduk negeri yang berada di bawah garis kemiskinan. Paradigma menjual sumber daya alam dalam bentuk mentah yang masih dipertahankan membuat Indonesia sulit lepas dari kutukan negara yang punya sumber daya berlimpah, tetapi jauh dari sejahtera.
Mayoritas proyek migas skala besar di Indonesia masih dipegang oleh perusahaan multinational asing. Meskipun UU Migas menyatakan bahwa hak kepemilikan atas minyak dan gas di tangan negara, nyatanya merekalah (perusahaan asing) yang memiliki kendali atas kekayaan negara itu. Sebagai contoh, Inpex Ltd (Jepang) mengajukan syarat bagi pengembangan gas di Blok Masela dengan meminta agar semua gas diekspor ke negaranya, atau Chevron Corp menyatakan bersedia memasok gas ke domestik jika harganya kompetitif dengan harga ekspor. Syarat-syarat yang diajukan mereka ini, jelas menunjukkan kekuatan kendali mereka. Indonesia yang notabene adalah pemilik dari kekayaan itu justru tidak diuntungkan.
Lemahnya kuasa negara juga tercermin dalam pengelolaan tambang. Sebagian besar bahan tambang diekspor dalam keadaan mentah tanpa melalui proses peningkatan tambah nilai. Sementara industri dalam negeri justru mengimpor bahan baku –yang bahan dasarnya sebenarnya terdapat di indonesia– seperti pelet, pig iron, sponge iron, dan alloy untuk industri baja.
Indonesia selalu bangga menjadi negara pengekspor terbesar batu bara di dunia. Padahal jika dilihat dari segi cadangan, Indonesia hanya menempati urutan ke-8. Bandingkan dengan AS yang memiliki cadangan lebih dari 200 miliar ton atau China sekitar 140 miliar ton. Kedua negara itu memilih menyimpan cadangan batu baranya. Membiarkan semua cadangan mineral tetap tersimpan di perut bumi mungkin menjadi pilihan lebih baik dibandingkan membiarkannya diekstraksi (diolah) tanpa imbalan hasil yang cukup signifikan bagi negara.
Membaca paparan tersebut, saya menyakini bahwa kemiskinan yang dihadapi saudara-saudara kita, yang notabene adalah pemegang saham mayoritas dari “perusahaan” bernama Indonesia ini, adalah bukan semata-mata salah mereka. Setiap kita memiliki andil atas kesalahan itu, baik selaku pemimpin maupun rakyat.
Salahnya pemimpin adalah tidak mampu mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Penyebabnya adalah masih kentalnya moral hazard dan lemahnya integritas yang dimiliki oleh para pemimpin yang berkuasa hingga detik ini.
Salahnya rakyat (kita) adalah membiarkan kondisi tersebut terus terjadi. Kita tidak peduli dengan urusan politik, kita tidak peduli dengan siapa yang seharusnya memimpin negara kita, kita tidak peduli dengan penegakkan hukum dan siapa-siapa yang seharusnya menduduki jabatan yudikatif, kita tidak peduli dengan aturan-aturan yang seharusnya diciptakan untuk menjamin pemerataan dan keadilan dan siapa-siapa yang harus mewakili rakyat di jabatan legilatif, dan kita tidak peduli profesionalitas dan siapa-siapa yang layak mengisi jabatan-jabatan eksekutif.
***
Jum’at petang, ketika saya pulang dari menjenguk seorang sahabat yang dirawat di RS Sari Asih Ciledug karena terkena Demam Berdarah, saya melewati lampu merah di perempatan Pondok Indah-TB Simatupang-Lebak Bulus. Saya terhenti di sana dan saya menyaksikan anak-anak kecil yang masih mengamen dengan menggunakan botol air mineral yang diisi dengan sedikit beras sebagai alat musiknya. Masya Allah, saat saya merasa bahwa saya harus pulang istirahat karena lelah menjalani aktivitas dari pagi hingga sore, mereka masih terus bekerja mengumpulkan serpihan-serpihan rupiah. Yang cukup menusuk dada, mereka masih kecil betul. Nampaknya seusia anak saya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD, bahkan ada beberapa yang lebih kecil lagi. Ada seorang anak yang menangis (tidak tahu karena apa), tetapi tangannya masih mengoyang-goyangkan botol berharap ada pengendara yang memberikan sekeping uang. Tekanan-tekanan mental nampak tergurat dari wajah mereka yang semestinya putih bersih itu.
Astaghfirullah.
Sungguh saya tidak tega mengatakan bahwa kemiskinan mereka, dan apa yang mereka alami saat itu, adalah akibat dari ulah atau kebodohan mereka sendiri. Sesungguhnya jika satu jari telunjuk kita menyudutkan mereka, tiga buah jari lainnya menunjuk kepada kita. Saya merasa bersalah karena saya tidak mampu membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan dan ketidakadilan. Namun apa daya, saya tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang lain. Saya hanya bisa memerintahkan pada diri sendiri: pilihlah pemimpin yang adil, berpartisipasilah dalam dunia politik dan pilihlah wakil-wakil yang terpercaya.
Saya menyadari bahwa saya pun akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT atas nasib mereka dan atas keputusan yang saya berikan. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (QS 5:57)