3. Iilaa’ (إلاء )
Iilaa’ menurut bahasa adalah bersumpah melarang diri dari sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah syar’i adalah seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 620), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/437), dan Terj. Subulus Salam (III/55)]
Dalil pokok tentang iilaa’ adalah firman Allah:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang yang meng-ilaa para istrinya, mereka diberi kesempatan untuk berpisah maksimal selama empat bulan. Jika dia kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 226)
Berdasarkan ayat di atas, Iilaa’ ada dua macam, yaitu:
- Suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu kurang dari empat bulan.
- Suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu lebih dari empat bulan.
Dalam keadaan seperti ini, maka seorang suami lebih diutamakan untuk menggauli istrinya dan membayar kaffarat atas sumpahnya tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ فَـرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَـلْيَأتِهَا وَلْيُكَـفِّـرْ عَـنْ يَمِيْنِهِ .
“Barang siapa bersumpah terhadap suatu hal kemudian dia melihat hal lain yang lebih baik darinya, maka lakukanlah sesuatu yang lebih baik (dari hal yang dia bersumpah atasnya), lalu bayarlah kaffarat sumpahnya itu.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1650), Ibnu Majah (no. 2108), dan an-Nasa'i (VII/11), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Jika ia tidak membayar kaffaratnya dan tetap pada sumpahnya, maka istrinya harus bersabar sampai habis waktu iilaa’ yang dinyatakan oleh suaminya, dan istri tidak berhak untuk menuntut cerai. Hal tersebut juga pernah dialami oleh sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak mencampuri sebagian istrinya dan beliau menetap di sebuah kamar selama satu bulan (dalam riwayat disebutkan bahwa sebulan yang dimaksudkan itu adalah selama 29 hari). [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5289), an-Nasa'i (VI/166), dan Tirmidzi (no. 685), dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu]
Dalam kondisi semacam ini, seorang suami lebih diutamakan untuk menggauli istrinya dan membayar kafarat atas sumpahnya tersebut, sebagaimana halnya keadaan pertama di atas. Namun, apabila suami tidak juga menggauli istrinya yang telah bersabar menunggunya sehingga berlalu waktu empat bulan, maka istri boleh menuntut kepastian dari si suami dengan jima’ (persetubuhan) sebagai tanda kembali bersatunya (fai’ah) suami dan istri, atau dengan talak sebagai tanda berpisahnya suami dengan istri.
Dengan demikian, seorang suami yang meng-iilaa’ istrinya sangat dianjurkan bahkan diutamakan untuk kembali kepada istrinya dan membayar kaffarat atas sumpah yang telah diucapkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَأَنْ يَلَجَّ أَحَـدُكُـمْ فِي يَمِيْـنِهِ فِي أَهْـلِهِ آثَـمُ لَهُ عِـنْـدَ اللهِ تَـعَـالَى مِنْ أَنْ يُعْـطِـيَ كَـفَّـارَتَـهُ الَّتِي فَـرَضَ اللهُ عَـلَيْهِ .
“Sungguh dosa seseorang yang bersikukuh mempertahankan sumpahnya (untuk tidak mencampuri) keluarganya itu lebih besar disisi Allah daripada ia membayar kaffarat atas sumpahnya yang Allah wajibkan kepadanya.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1655), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah berkata, “Membatalkan sumpah nilainya lebih utama dari pada mempertahankan sumpah jika dalam pembatalannya tersebut mengandung kemaslahatan yang kuat (besar).” [Lihat Terj. Syarah Riyadhush Shalihin (V/351) dan lihat juga penjelasan Syaikh Salim dalam Ensiklopedi Larangan (III/83-85)]
Namun, jika masa iilaa’ tersebut telah habis, maka si suami diberikan pilihan untuk kembali pada istrinya atau menceraikannya. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fat-hul Baari (IX/428), bahwa diriwayatkan dari Abu Shalih, ia berkata,
“Aku bertanya pada dua belas Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang melakukan iilaa’. Mereka menjawab, “Tidak apa-apa baginya sampai berlalunya waktu empat bulan, setelah itu dia boleh memilih untuk kembali pada istrinya atau menceraikannya.” [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/438)]
bersambung insyaallah
***
Maraji’:
- Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
- Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
- Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
- Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
- Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
- Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
- Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
- Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
- Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
- Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
- Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
- ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh
Rekomendasi Artikel: