Ibadah

Hukum Tahlilan

Tahlilan adalah ritual / upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

Tahlilan ini dilakukan dengan mengucapkan berbagai dzikir dan pembacaan al Qur’an (seperti; surat Al Fatihah dan Yasin) bahkan tidak jarang juga keluarga si mayit secara khusus mengundang para qori untuk membacakannya bagi si mayit. Tahlilan kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin oleh tokoh ulama setempat yang di-amini oleh para hadirin.

Ada dua hal yang perlu dilihat dari sudut pandang syari’ah didalam permasalahan ini :

  1. Pengiriman pahala amal-amal sholeh kepada si mayit.
    Abu Hirairoh meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

    Dalam penjelasan tentang hadits ini Imam Nawawi mengatakan, ”Doa, pahalanya akan sampai kepada si mayit demikian pula sedekahnya dan keduanya sudah menjadi kesepakatan para ulama. Demikian halnya dengan pelunasan utang-utangnya. Adapun haji bagi si mayit diperbolehkan menurut Syafi’i dan para pendukungnya, dan ini masuk dalam bab pelunasan utang apabila hajinya adalah yang wajib dan apabila yang sunnah serta telah diwasiatkan oleh si mayit maka ini masuk dalam bab wasiat. Adapun jika ia mati dan memiliki tanggungan puasa maka yang benar adalah walinya harus berpuasa baginya, masalah ini telah dibahas didalam bab puasa. Sedangkan bacaan al Qur’an dan menjadikan pahalanya bagi si mayit, sholat baginya atau yang sejenis itu maka didalam madzhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa itu semua tidaklah sampai kepada si mayit..” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI hal 122)

    Sedangkan membaca Al Qur’an, ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan Ahlus Sunnah. Imam Nawawi berkata,”Yang lebih terkenal dan mazhab Syafi’i bahwa hal itu tidaklah sampai.” Ahmad bin Hambal dan para sahabat Syafi’i berpendapat bahwa hal itu sampai kepada si mayit. Maka sebaiknya si pembaca setelah membacanya mengucapkan,”Ya Allah aku sampaikan seperti pahala bacaanku ini kepada si fulan.”

    Di dalam kitab “al Mughni” oleh Ibnu Qudamah disebutkan: Ahmad bin Hanbal mengatakan,”Segala kebajikan akan sampai kepada si mayit berdasarkan nash-nash yang ada tentang itu, karena kaum muslimin biasa berkumpul di setiap negeri kemudian membaca Al Qur’an dan menghadiahkannya bagi orang yang mati ditengah-tengah mereka dan tidak ada yang menentangnya, hingga menjadi kespekatan.”

    Namun demikian mereka yang mengatakan bahwa pahala bacaan al Qur’an itu sampai kepada si mayit mensyaratkan bahwa yang membacanya tidak diperbolehkan menerima upah dari bacaannya tersebut. Dan jika dia mengambil upah atas bacaaannya itu maka yang demikian diharamkan bagi si pemberi dan si penerima serta tidak ada pahala baginya atas bacaannya itu., seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Baihaqi dari Abdurrahman bin Syibl bahwasanya Nabi saw bersabda,”Bacalah al Qur’an, amalkanlah…. dan janganlah engkau kekeringan darinya, janganlah terlalaikan darinya, janganlah makan dengannya dan janganlah memperbanyak harta dengannya.” (Fiqhus Sunnah juz I hal 569 Maktabah Syamilah)

    Jadi tidak diperbolehkan seseorang membaca al Qur’an bagi si mayit dengan mengharapkan uang atau pembayaran atasnya karena hal itu memunculkan ketidak-ikhlasan terhadap amal tersebut, dan amal ini ditolak oleh Allah swt.
  2. Berkumpulnya masyarakat pada hari-hari tertentu di rumah si mayit untuk melaksanakan acara tersebut.
    Ta’ziyah adalah upaya menghibur keluarga si mayit dari rasa berduka dan menyabarkannya atas musibah yang menimpanya dikarenakan kehilangan anggota keluarganya. Ta’ziyah ini hukumnya sunnah sebagaimana sabda Rasulullah saw tatkala beliau melewati seorang wanita yang sedang menangisi anaknya yang meninggal, Beliau mengatakan,”Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Kemudian beliau bersabda lagi,”Sesungguhnya sabar itu pada saat pertama kali.” (HR. Bukhori dan Muslim) dan juga sabdanya saw,”Tidak seorang mukmin pun datang berta’ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)

Adapun terkait dengan keharusan keluarga dekat si mayit menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang dan berkumpul di rumahnya maka dijelaskan didalam hadits-hadits berikut :

  1. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far bahwa Rasulullah saw bersabda,”Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan karena dia sedang disibukkan oleh satu urusan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
  2. Dari Jarir bin Abdullah al Bajaliy mengatakan,”Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sama dengan meratapi mayat.” (HR. Ibnu Majah)
    Ibnu Humam dalam Fathil Qodir Syarhul Hidayah mengatakan,”Disunnahkan bagi tetangga dari keluarga yang meninggal dan para kerabatnya yang jauh untuk mempersiapkan makanan bagi mereka yang dapat mengenyangkan mereka sehari semalam. “ (Aunul Ma’bud juz VII hal. 119, Makatabah Syamilah)

    Al Qoriy mengatakan,”Pembuatan makanan yang dilakukan oleh keluarga si mayit untuk menyajikan orang-orang yang berkumpul baginya adalah bid’ah makruhah sehingga tepat apa yang diriwayatkan oleh Jarir diatas,’Bahwa kami menganggapnya bagian dari meratapi.” Dan hal ini tampak keharamannya.” (Tuhfatul Ahwaziy juz III hal 54 Maktabah Syamilah)

Tahlilan ini sudah menjadi suatu tradisi dan kebiasaan yang sudah mendarah-daging di masyarakat kita dan sudah berlangsung dari generasi ke generasi, konon ini tradisi yang dilakukan sejak zaman Wali Songo untuk mengganti kebiasaan masyarakat saat itu yang masih bercampur dengan budaya hindu, Wallahu A’lam. Yang pasti, tradisi ini sudah begitu melekat di masyrakat kita.

Sebagian masyarakat bahkan ada yang mengatakan bahwa tahlilan ini adalah bagian dari keutamaan yang harus dilakukan oleh keluarga si mayit demi membantunya di alam barzahnya, mereka merasa ada yang kurang (tidak lengkap) dalam penyelenggaraan pengurusan jenazah jika tidak ada tahlilan. Bahkan di masyarakat kerap kali keluarga yang tidak melakukan tradisi ini menjadi buah bibir dan omongan negative diantara mereka, meskipun hal ini biasanya hanya berlangsung sebentar saja.

Untuk itu dalam menyikapi masalah ini perlu hati-hati dan perlahan namun wajib untuk dilakukan perbaikan kea rah yang ideal. Tindakan perlahan-lahan dalam perubahan ini bukan berarti kita harus menyalahi syari’at atau hukum.

Dari penjelasan beberapa hal yang menjadi isi suatu acara tahlilan diatas bisa disimpulkan :

  1. Bahwa amal-amal yang dilakukan, seperti dzikir, doa, sedekah yang pahalanya untuk dikirimkan kepada si mayit diperbolehkan.Khusus pengiriman pahala bacaan Al Qur’an, ---seperti al Fatihah, Yasin atau yang lainnya—kepada si mayit hendaklah dilakukan ikhlas karena Allah, tanpa mengeluarkan atau meminta bayaran.
  2. Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
  3. Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.

Disebutkan didalam buku Fiqhus Sunnah bahwa Ahmad dan banyak ulama golongan Hanafi menganut pendapat diatas (bid’ah). Akan tetapi orang-orang terdahulu dari golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak ada salahnya duduk bukan di masjid dalam waktu tiga hari untuk ta’ziyah, asal tidak melakukan hal-hal yang terlarang. (Fiqhus Sunnah edisi terjemah juz II hal 203 – 204)

Go to top