Sebutan Jamaah atau Jemaah ini tidak benar-benar bergerak secara institutif sebagai kelompok eksklusif tertentu. Jemaah ini secara rutin berkumpul dalam forum bersama Cak Nun ( Emha Ainun Nadjib ). Acara ini mungkin bisa dibilang pengajian, tapi standar yang biasa ditemui dalam sebuah acara pengajian tidak benar-benar menjadi dominan. Sebab di dalamnya lebih banyak mengajarkan semangat hidup, sikap toleran dan hidup bersama dalam kontribusi kebaikan. Jadi boleh juga dibilang bahwa Jemaah Maiyah tidaklah identik sebagai sekumpulan orang Islam saja. Malah seringkali hadir dalam pengajian ini tokoh2 lintas Agama, Aliran, Suku Bangsa, Etnik, LSM, Mahasiswa dalam dan luar negeri, dan lain-lain. Nuansanya sangat berbudaya dan tidak juga serta-merta menjadi sinkretisme.
Beberapa orang yang pernah hadir dalam acara ini antara lain, Gus Dur, Mbah Surip, Ebiet G. Ade, Ari Lasso, Ahmad Dhani, Muhammad Nuh, Permadi, Ian L. Betts, dan masih banyak lagi.
Bahkan banyak kejadian unik, salah satunya hadirnya orang gila yang akhirnya bisa sembuh di salah satu acara Jemaah Maiyah. Dengan gaya bicara khasnya, Cak Nun bilang "Acara ini bukan acara khusus untuk orang Islam, tapi untuk semua manusia yang Islam dan yang tidak Islam, Manusia waras dan manusia yang tidak waras, bahkan Jin, Setan, Dhemit, Gendruwo, kalau memang berminat untuk jadi baik akan disambut dengan tangan terbuka".
Jemaah Maiyah memang tidak bisa melepaskan diri dari Cak Nun sebagai figur panutan. Tapi pengkultusan bukan menjadi ideologi masal di Jemaah Maiyah. Jadi meskipun Cak Nun tidak bisa hadir di dalam acara, tetap saja acara bisa berlangsung dengan baik
Sejarah singkat
Maiyah lahir pada malam menjelang akan digelarnya Sidang Istimewa MPR 2001, tepatnya pada tanggal 31 Juli 2001, sementara di Jakarta suhu politik semakin memanas, Emha secara khusus menggelar acara “Sholawatan Maulid” di kediamannya bersama sahabat-sahabatnya KiaiKanjeng untuk mensikapi situasi politik yang semakin tidak menentu.
Kegiatan semacam ini sebelumnya sudah sering digelar namun belum menggunakan kata-kata Jamaah Maiyah, sebab hanya berupa kegiatan pengajian yang tidak hendak menekankan pada eksistensi substansif. Dalam perkembangannya sebutan Jamaah Maiyah tetap dipertahankan nilai esensialnya bukan mengacu pada kelompok, golongan, ataupun aliran. Pendekatan dengan nama Jamaah Maiyah lebih bertujuan sebagai bentukan kebersamaan meraih semangat bertahan hidup bahwa Allah berada pada setiap napas kehidupan.
Di hadapan sahabat-sahabat setianya itu, Emha memberi ilmu dan hikmah, bahwa rakyat Indonesia semakin tidak mendapat jaminan apapun dari negara dan pemerintahnya. Nyawa dan keamanan hidupnya tidak dijamin oleh kepolisian, kedaulatan negerinya tidak dijamin oleh tentara, kesejahteraan ekonominya tidak dijamin oleh produsen-produsen budaya serta media massa. Bahkan Indonesia secara transparan mempertunjukkan politik iblis, industri iblis, budaya iblis. Artinya apa yang sehari-hari diperoleh oleh masyarakat adalah hal-hal yang memusnahkan kemandirian ekonominya serta memerosotkan akhlak kebudayaannya.
Maka Emha kemudian mengajak, untuk membangun sendiri negeri-negeri di dalam dirinya, negeri kemandirian dalam kebersamaan, yang dilukiskannya sebagai lingkaran, yang kemudian disebut sebagai Lingkaran Maiyah atau Lingkaran Kebersamaan, suatu kumpulan sebagian rakyat Indonesia yang bergandengan tangan untuk semaksimal mungkin memerdekakan dirinya dari keadaan-keadaan yang membahayakan.
Maiyah yang berarti kebersamaan, pertama melakukan apa saja bersama Allah. Kedua bersama siapa saja mau bersama. Maiyah bisa berarti komitmen nasionalisme, kedewasaan heterogenisme, kearifan pluralisme, dan tidak ada kesenjangan ekonomi. Maiyah sendiri secara “kata” muncul dari untaian hikmah yang disampaikan oleh Ustadz Wijayanto, MA, di tengah-tengah acara internal itu, dengan menyebut beberapa kalimat : “Inna ma’iya rabbi”, menirukan Musa AS. Untuk meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. “La takhaf wa la tahzan, Innallaha ma’ana”, Jangan takut jangan sedih, Allah bersama kita. Tutur Muhammad SAW, tatkala dikejar-kejar oleh pasukan musuh, untuk menghibur dan memelihara iman Abu Bakar.
Maka di dalam Maiyah, Emha dan Kiai Kanjeng tidak memfokuskan kegiatannya pada musik dan kesenian, melainkan proses dan komunikasi sosial yang komprehensif. Emha dan Kiai Kanjeng berkeliling Indonesia untuk menumbuhkan spiritualitas manusia, melalui sholawat, wirid, dan doa, untuk pencerdasan pikiran masyarakat, untuk mengajak membangun kemandirian, dan untuk menawarkan alternatif kebudayaan yang tidak membahayakan jiwa masyarakat, tetapi bergembira dan diridhoi Allah di dunia dan akhirat.
Dulu Emha dan Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton, dalam Maiyah tidak berada dipanggung dan tidak ditonton oleh siapapun. Dulu berpakaian hitam-hitam, dalam Maiyah mereka berpakaian putih-putih, yang tidak untuk menunjukkan bahwa mereka sudah putih melainkan agar terdorong untuk putih. Mereka duduk melingkar, menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya, tidak mempertunjukkan musik dan suaranya kepada penonton, Emha dan Kiai Kanjeng hanya bernyanyi, bersholawat, berwirid, membaca puisi atau apapun dengan membawa kesadaran bahwa yang dihadapan mereka adalah Allah.
Maiyah dan Nilai Sosial
Kepada teman-teman, kepada para tetangga, kepada sesama ummat, masyarakat, warga negara, sesama manusia, apapun saja sukunya, bangsanya, golongannya, kelompoknya, organisasinya, kepercayaan dan pendapatnya – tidak layakkah, atau bahkan tidak seyogyanyakah, atau siapa tahu tidak haruskah – engkau dan aku ucapkan dan ikrarkan juga : inna ma’iya, sesungguhnya mereka semua ada bersamaku, dan sesungguhnya aku ada bersama mereka? Kiai Kanjeng berkeliling ke mana-mana, menembus berbagai sisi, segmen, lapisan, golongan, kelompok, wilayah, daerah dan jenis sosiologis masyarakat untuk menumbuhkan pertanyaan dan kesadaran inna ma’iya semacam itu.
Adakah dengan tetanggamu, masyarakat dan bangsamu, engkau tidak bersedia tolong menolong, melainkan ancam mengancam? Tidak bersedia saling setia, melainkan saling khianat? Tidak mau saling membela, melainkan saling menghancurkan? Tidak siap saling ikhlas, melainkan tidak saling rela? Tidak saling mengharapkan kebahagiaan bagi yang lain, melainkan diam-diam mensyukuri penderitaan mereka?
Sudut Bahasa
Bahasa kenegaraan Maiyah itu nasionalisme. Bahasa mondialnya universalisme. Bahasa peradabannya pluralisme. Bahasa kebudayaannya heterogenisme, atau kemajemukan yang direlakan, dipahami dan dikelola. Metoda atau manajemen pengelolaan itu namanya demokrasi.
Bahasa ekonominya Maiyah adalah tidak adanya kesenjangan penghidupan antara satu orang atau suatu kelompok dengan lainnya. Tapi ini terlalu ideal dan utopis : jadi mungkin lebih realistis kita pakai ungkapan Maiyah adalah proses dinamisnya menyempitnya atau mengecilnya jarak atau kesenjangan penghidupan di antara manusia. Diproses secara sistem – kolektif jangan sampai ada yang terlalu kaya sementara lainnya terlalu fakir. Kadar Maiyah semakin tinggi dan kualitatif berbanding lurus dengan semakin mengecilnya kesenjangan itu.
Di dalam teori Maiyah nasionalisme, selalu ditemukan ada banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan warnanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan kecenderungannya sendiri-sendiri. Setiap ika (tunggal) menghidupi dan menampilkan dirinya masing-masing, sehingga pada semuanya tampak sebagai bhineka (beragam). Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu sama lain, karena diikat oleh prinsip ke-ika-an, yakni komitmen kolektif untuk saling menyelamatkan dan menyejahterakan.
Demikianlah berita gembira berdirinya Republik Indonesia dulu sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk semua.
Di era sejarah bangsa Indonesia yang mungkin masih bertahan hingga saat ini, yakni berlangsung policy politik nasional atau strategi kebudayaan di mana para ‘masing-masing’ itu dilarang menunjukan kemasing-masingannya. Maksudnya baik, orang jangan menonjolkan siapa dirinya, bagaimanna wajahnya dan apa warnanya. Semua disatukan, diseragamkan, identitas masing-masing disembunyikan semaksimal mungkin. Bila demikian maka masih berprinsip Tunggal Ika.
Maiyah berusaha merealisasikan Bhineka Tunggal Ika. Yang Batak omonglah dengan logat Batak. Yang Bugis ya dialek Bugis. Yang Madura ya cengkok Madura. Tak ada perlunya ditutup-tutupi, sepanjang ada kesepakatan untuk saling melindungi, saling menyayangi dan memproses tujuan kebahagiaan bersama.
Yang Budha , berpakaianlah Budha . yang Katolik , Katoliklah. Yang Islam Islamlah. Om swastiastu tak usah diganti Padamu Negeri. Heleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalatullah salamullah tak usah diganti Ibu Kita Kartini. Heterogenitas itu cukup dijaga oleh satu prinsip : saling memperuntukkan dirinya bagi kebersamaan. Itulah Maiyah.
Lingkaran Maiyah
Dulu Kiai Kanjeng pentas dan diletakkan di panggung. Mereka ditonton oleh penonton. Kiai Kanjeng yang bermaiyah tidak berada dipanggung dan tidak ditonton siapa-siapa.
Mereka duduk melingkar, sehingga terserah orang lain akan bergabung menciptakan lapisan-lapisan lingkaran berikutnya atau tidak. Kiai Kanjeng tidak mempertunjukan musik dan suaranya kepada penonton. Mereka hanya bernyanyi, bershalawat, berwirid, membaca puisi, atau apapun, tetapi yang ada di hadapan mata kesadaran mereka adalah Allah swt. Maka pada kebanyakan momentum selama ber-maiyah, hampir tak seorangpun di antara mereka yang tidak memejamkan mata. Karena mata wadag hanya sanggup melaporkan penglihatan tentang hal-hal yang sepele: materi, benda-benda, gedung-gedung, lembaran-lembaran uang, kecantikan wanita dan kegantengan lelaki, menara pencakar langit. Dan itu semua bersifat sementara dan sangat gampang hancur.
Jemaah Maiyah serak-serak suaranya untuk Allah. Habis bunyinya untuk mencintaiNya. Bernyanyi, membunyikan alat musik, berkeringat, untuk memelihara hubungan baik dengan Allah. Karena Allah sebagai pengasuh, penyantun, tempat bergantung – tidak bisa diperbandingkan dengan polisi, tentara, menteri ekuin, presiden, pemerintahan, konglomerat, distribusi modal atau apapun saja yang dituhankan oleh sangat banyak orang. Allah berjanji kepada para kekasihnya untuk menjalankan empat fungsi, asalkan oleh para kekasihnya dibeli dengan taqwa dan tawakkal.
- Peran pertama, Allah sebagai pemberi jalan keluar, solusi atas apa saja: coba sebut satu masalah yang Allah tidak sanggup menyelesaikannya!
- Peran kedua, Allah sebagai penabur rizqi melalui jalan, cara, metoda dan modus yang semau-mau Dia, sehingga para kekasih Nya tidak bisa menduga atau memperhitungkannya. Para kekasih Allah tinggal terima jadi, terima matang – anugrah rejeki yang mereka beli dengan ‘mata uang’ taqwa dan tawakkal. Ah, apa sih taqwa? Rindukan Allah kapan saja. menjadikan Allah sebagai tuan rumah batin kita. Tawakkal adalah taqwa yang diperdalam ditancapkan dihujamkan terus menerus.
- Peran ketiga, Allah sebagai manager dan akuntan. Kalau berasmu menipis, jangan memfitnah dan menganggap Allah bersikap acuh tak acuh atas keadaan dapurmu itu. Ia managermu, ia atur nafkahmu, ia jamin penghidupan keluargamu. Engkau cukup menyetor taqwa dan tawakkal.
- Peran keempat, Allah adalah menjadi humasmu, public relation-mu. Keperluanmu atas seseorang atau suatu pihak, kebutuhanmu terhadap akses ini atau itu, disampaikan oleh Allah kepada yang bersangkutan. Engkau cukup memberi ‘honor’ taqwa dan tawakkal.