Bagi umat Islam, Muhammad saw., adalah nabi terakhir. Setelah itu tidak akan ada nabi lagi. Muhammad adalah sebagai nabi terakhir atau penutup para nabi. Tugas-tugas kenabian setelah itu diwariskan kepada penerusnya, yaitu para ulama’. Oleh karena itulah maka para ulama disebut sebagai pewaris para nabi, atau al ulama waratsatul ambiya’.
Sebutan ulama diberikan kepada orang-orang yang berilmu. Penyandang ilmu inilah sebenarnya adalah pewaris para nabi itu. Mereka melakukan peran-perannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para nabi. Sedangkan di antara ulama itu adalah para guru. Sebab seorang guru pada semestinya adalah orang yang menyandang ilmu pengetahuan. Ulama dan atau guru keadaannya bertingkat-tingkat, tidak akan ada yang sempurna. Ilmu Allah, disebutkan dalam kitab suci, sedemikian luas. Sebaliknya manusia, hanya mendapatkan yang sedikit. Seberapa luas ilmu yang dimiliki seseorang hingga disebut sebagai ulama, tidak terdapat ukuran. Sebutan sebagai ulama fiqh, ulama’hadist, ulama tafsir, ulama tarekh, ulama tasawwuf dan sebagainya, diberikan oleh masyarakat tanpa ukuran tertentu. Selain ulama ada sebutan sebagai ilmuwan, seperti ilmuwan biologi, geografi, fisika, matematika, bahasa, sastra psikologi, ekonomi dean lain-lain. Di tengah masyarakat dibedakan penyebutan terhadap seseorang yang memiliki jenis ilmu yang berbeda. Sebagaimana disebut di muka orang menyebut ulama’fiqh, tetapi tidak menyebut ulama’matematika, menyebut ulama tafsir tetapi tidak menyebut ulama’ekonomi, ulama biologi, ulama fisika dan seterusnya. Orang menyebut ilmuwan fisika, kimia, biologi, ilmuwan ekonomi, dan seterusnya. Agaknya juga aneh, pembedaan sebutan itu juga terjadi tidak saja antara jenis ilmu yang berbeda, melainkan juga terhadap asal ilmu tersebut diperoleh, sekalipun jenisnya sama. Orang Indonesia yang belajar syariáh dari Timur Tengah, setelah pulang , ia akan disebut sebagai seorang ulama fiqh. Berbeda dengan itu, jika yang bersangkutan belajar hukum Islam di Negara Barat, maka sebutannya bukan lagi ulama fiqh, melainkan seorang ilmuwan Islam. Padahal keduanya mempelajari jenis ilmu yang sama, yaitu sama-sama hukum Islam. Pembedaan itu tidak saja menyangkut sebutan, mungkin juga symbol-simbol lainnya. Seorang yang belajar pemikiran Islam dari Barat, maka setelah pulang, pakaiannya seperti orang barat, mereka mengenakan jas, dasi, sepatu. Sementara orang yang belajar dari Timur Tengah berpakaian gamis, atau setidak-tidaknya pakaian koko da berkopyah. Sebatas pakaian yang berbeda, kadang kemudian penyebutannya juga berbeda. Memahami inti atau hakekat sesuatu kadang memang tidak mudah, maka kemudian orang hanya memperkenalkan lewat simbol-simbolnya saja. Simbol-simbol itu di antaranya berupa sebutan, pakaian, dan asesoris-asesoris lainnya. Banyak orang tidak selalu mau melihat dan apalagi memahami sesuatu hingga aspek yang mendalam, yaitu yang terkait dengan hakekat atau inti yang terkandung di dalam apa yang dimaksudkan. Orang hanya cukup melihat symbol atau asesoris luarnya saja. Sebutan ulama atau ilmuwan, kadang tidak saja diberikan kepada orang yang memiliki jenis ilmu yang berbeda, melainkan hanya terhadap orang yang hanya jenis pakaiannya tidak sama. Penyebutan ulama atau ilmuwan hanya didasarkan pada potongan baju yang digunakan. Seorang yang mengenakan surban tebal, berbaju gamis, -------sekalipun belum tentu memiliki ilmu yang luas, maka disebut ulama. Sebaliknya, seorang yang tidak mengenakan baju tersebut, sekalipun ilmunya jauh lebih luas tidak disebut sebagai seorang ulama’. Itulah hal biasa yang terjadi di tengah masyarakat. Saya mengartikan ulama adalah orang yang berilmu, yaitu ilmu apa saja. Misalnya, ilmu tafsir, fiqh, tauhid, akhlak, tasawwuf, fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi dan seterusnya. Saya menyebut seorang ulama adalah para penyandang ilmu pengetahuan. Tingkat keulamanaánnya juga berbeda-beda, tetapi siapapun yang menyandang ilmu pengetahuan bisa disebut sebagai seorang ulama. Demikian pula, saya tidak membedakan tentang jenis dan potongan pakaian yang dikenakannya. Apakah mengenakan gamis, jenis kopyah tertentu, memakai sandal atau sepatu, asalkan mereka menyandang ilmu pengetahuan, maka saya menyebutnya sebagai seorang ulama’. Selanjutnya, saya juga menganggap bahwa antara ilmuwan agama dan ilmu umum adalah sama. Umpama ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah terletak pada spirit, ruh, jiwa atau yang berada pada alam batin pemilikinya. Seorang yang mempelajari fisika, kimia, biologi dengan orientasi atau niat untuk mempelajari ciptaan Allah, maka sebenarnya adalah merupakan bagian dari implementasi keber-Islamannya. Sebaliknya, seseorang yang belajar tafsir atau hadits yang dimaksudan hanya agar lulus ujian, maka sebenarnya akan sama dengan mereka yang belajar ilmu pertanian dengan niat yang sama, agar lulus ujian itu. Perbedaan itu ada pada niat, orientasi, atau motivasi, dan bukan pada jenis ilmu yang dipelajarinya. Berangkat dari pengertian ini, maka pembawa misi penerus tugas-tugas nabi adalah orang-orang yang menyandang ilmu pengetahuan, yang berusaha mengamalkannya dan menyampaikan kepada orang lain. Mereka itu adalah para guru, yang memiliki kesadaran meneruskan misi kerasulan. Misi tu adalah mengajak orang-orang untuk membaca ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa, mengajarkan kitab suci, dan hikmah. Inilah tugas guru, sebagaimana yang dilakukan para nabi dan rasul. Tugas mereka tidak saja sederhana, yaitu hanya mengajar. Tugas guru memiliiki lingkup yang luas, menjadikan seseorang sebagai manusia yang utuh dan mengarah pada kesempurnaan. Selama ini, guru sebagai pendidik dimaknai dalam pengertian sempit. Guru hanya mengajarkan ilmunya, misalnya guru biologi, guru fisika, guru ekonomi, guru IPA, guru IPS, guru bahasa, dan seterusnya. Selain itu terdapat guru tafsir, guru hadits, guru fiqh. Tugas guru sebenarnya bukan saja mengajar bidang ilmunya itu. Mengajarkan bidang studi sebenarnya hanyalah sebatas mengajak para siswa untuk bertilawah. Sebagai guru hingga disebut sebagai pewaris para nabi, semestinya selain mengajak bertilawah, maka seharusnya mengajak muridnya melakukan penyucian jiwa, mempelajari kitab suci dan juga hikmah, arif dan berperilaku bijak yang dilakukan secara utuh. Itulah tugas guru atau ulama sebagai pewaris para nabi. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang