Dalam kesempatan bersama-sama Pak Habiebie dari Airport Abdurrahman Saleh ke hotel di Batu, Malang, saya mendapatkan cerita yang, ------bagi saya, sangat menarik. Cerita itu disampaikan sendiri oleh Pak Habibie. Saya tidak mengetahui, apa maksud yang sebenarnya beliau menceritakan itu. Mungkin pertimbangannya, saya adalah rektor perguruan tinggi Islam, sehingga dimaksudkan akan memberikan semangat lagi dalam menunaikan tugas-tugas saya sehari-hari.
Cerita itu disampaikan di dalam mobil, yang kebetulan hanya berempat, yaitu Pak Habibie sendiri, Dr.K.V.Menges, seorang tamu Pak Habibie dari Jerman yang kebetulan diajak bersama dalam kunjungan itu, sopir, dan saya. Pembicaraan tersebut disampaikan dengan Bahasa Indonesia, sehingga yang memahami hanya saya sendiri dan sopir yang membawa kami dari Airport Abdurrahman Saleh ke Hotel di Batu. Sedangkan Dr.K.V. Menges, karena tidak menguasai Bahasa Indonesia, tidak akan mengerti. Ketika Pak Habibie masih di Jerman, dalam suatu kunjungan, Pak Harto memanggilnya untuk ketemu berdua. Ketika itu Pak Habibie telah menyelesaikan pendidikan Doktor dan bekerja di Jerman. Pak Harto sudah mengetahui tentang prestasi, kecakapan, dan keahlian Pak Habibie. Dalam pertemuan singkat dan penting itu, Pak Harto menyampaikan sesuatu kepada Pak Habibie, tentang pembangunan bangsa Indonesia. Pak Harto, masih kata Pak Habibie, menyampaikan sesuatu yang sangat mengejutkan. Dikatakan oleh beliau bahwa, untuk membangun bangsa Indonesia, maka hambatan yang paling nyata dan berat harus dihadapi adalah umat Islam. Umat Islam di mana-mana tidak pernah maju dan tidak mudah diajak berpartisipasi. Hal seperti itu juga terjadi, tidak saja di Indonesia, melainkan juga di negara-negara manapun yang berpenduduk mayoritas umat Islam. Oleh karena itu, kata Pak Harto, untuk memajukan bangsa Indonesia maka harus diubah agamanya dan atau menghilangkan agama Islam dari Indonesia. Namun kata Pak Harto sendiri, hal itu tidak mungkin dan juga tidak boleh terjadi. Maka alternative lain yang dianggap strategis dan mungkin dilakukan adalah menjadikan seorang ilmuwan muslim, untuk memimpin sendiri pembangunan di Indonesia. Sedangkan yang dimaksud sebagai seorang ilmuwan muslim itu adalah Pak Habibie sendiri. Atas pandangan Pak Harto itu, maka Pak Habibie menyampaikan bahwa, beliau tidak banyak mengerti tentang pembangunan. Selama ini yang ia kuasai adalah membuat pesawat terbang. Oleh karena itu jika dipercaya dan ditugasi membuat pesawat terbang, maka akan disanggupi dan dilakukan, asalkan mendapat dukungan dari pemerintah, dalam hal ini adalah Pak Harto. Tawaran Pak Habibie ternyata disanggupi oleh Pak Harto dan diminta untuk menunggu waktu yang tepat. Pak Harto juga mengatakan bahwa jika rencana itu sukses, maka sekaligus akan menghapus pandangan buruk selama ini, bahwa ummat Islam tidak pernah maju. Pak Harto, melalui kecakapan Pak Habibie, akan menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat ilmuwan muslim yang unggul dan sekaligus dimaksudkan sebagai upaya menggalang partisipasi ummat Islam dalam pembangunan. Pak Harto berpandangan, bahwa nama BJ.Habibie, adalah identik seorang muslim, sehingga akan membanggakan dan sekaligus menghimpun dukungan. Pandangan Pak Harto ternyata benar, Pak Habibie dipanggil pulang dan diserahi tugas memimpin lembaga pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan ternyata benar pula, bahwa Pak Habibie menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, dan berhasil membuat pesawat terbang, sekalipun akhirnya oleh karena perjalanan politik bangsa, akhirnya proyek besar itu terhenti. Dari apa yang dikisahkan oleh Pak BJ Habibie di perjalanan, antara airport Abdurrahman Saleh ke penginapan di Batu tersebut, setidaknya saya mendapatkan pemahaman yang semakin jelas, bahwa betapa sesungguhnya Pak Harto memiliki semangat untuk mengangkat citra Islam di Indonesia dan bahkan di negara-negara muslim pada umumnya. Selain itu, Pak Harto sebenarnya memiliki strategi yang cukup jelas dan mantap dalam membangun bangsa di masa depan. Sayangnya, apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin bangsa, tidak luput dari kekeliruan, dan lebih dari itu selalu kalah dari keputusan Tuhan, sehingga akhirnya bangsa ini masih sebagaimana yang kita rasakan saat ini. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang