Umum

Umum

Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum


Keterkaitan Islam dengan ilmu umum sebetulnya kelihatan sangat jelas. Tetapi anehnya, ada saja sementara orang masih kebingungan. Mereka yang bingung itu mengatakan bahwa, bagaimana mengkaitkan antara fisika dengan fiqh, masailul fiqh dengan biologi, kimia dengan perbandingan madzah, dan lain-lain. Biasanya orang yang kebingungan, atau sengaja membingungkan diri itu membuat contoh-contoh tersebut untuk membenarkan pendapatnya, bahwa tidak ada kaitan antara Islam dengan ilmu pengetahuan modern.

Akar masalahnya sebenarnya adalah sederhana, yaitu mereka ingin menunjukkan kecintaannya terhadap ilmu yang selama itu dikembangkan dan digelutinya. Kecintaannya itu ditunjukkan lewat pendapat, bahwa ilmu ke-Islaman tidak bersinggungan dengan disiplin ilmu lainnya. Mereka mengkhawatirkan, ilmu yang dicintai itu terkalahkan oleh disiplin ilmu lainnya. Oleh karena itu, ketika ada isu perubahan IAIN atau STAIN menjadi UIN, mereka segera mempertanyakan posisi ilmu agama ke depan, jangan-jangan akan berakibat sepi peminat, dan bahkan mati. Padahal sebenarnya, dengan konsep integrasi ilmu itu, justru yang disebut ilmu agama menjadi lebih berkembang. Kehadiran UIN dengan konsep integrasi dan atau interkoneksi itu dimaksudkan justru menghidupkan kembali ilmu agama. Ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf, tarekh, adab, dakwah dan lain-lain akan lebih berkembang. Bahkan perkembangan itu juga akan menyangkut perspektif atau metodologinya. Memang mungkin ada resiko, yaitu misalnya akan terjadi perubahan atau mengembangan wilayah kajian, konsep, dan lain-lain, sebagai hal logis dari bagian ilmu pengetahuan yang memang seharusnya selalu berkembang. Tetapi apapun, di tengah pro dan kontra terhadap pandangan baru tersebut, pandangan integrasi itu semakin lama semakin popular. Jargon yang dikembangkan bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan. Islam adalah agama sekaligus ilmu dan peradaban yang tinggi. Bahkan juga muncul kritik tajam dari sementara kalangan dengan mengatakan bahwa, kemunduruan ummat Islam, di antaranya adalah sebagai akibat adanya dikotomi ilmu pengetahuan itu. Bagi orang yang sudah lama menggeluti bidang fiqh, aqidah, akhlak, tarekh, dan lain-lain, atau disebut sebagai ilmu agama, ingin bertahan, bahwa ilmu agama harus dipertahankan dan tidak seharusnya diintegrasikan. Hasil pemikiranh para ulama yang sudah sekian tahun, dan telah terdokumentasi menjadi berbagai buku, kitab atau literatur, semua itu harus disebut sebagai ilmu, atau tegasnya ilmu agama. Mereka belum percaya dengan konsep baru tersebut, ilmu agama akan masih bisa bertahan. Posisi saya sebagai salah satu pimpinan UIN, mau tidak mau harus ikut ambil bagian dalam perbincangan itu. Saya ikut memahami dan menghayati, bahwa selama ini melalui kajian agama, maka dikembangkan ilmu tauhid, fiqh, akhlak, tasyawuf, tarekh dan bahasa Arab. Demikian pula telah dirumuskan beberapa rumpun ilmu yang kemudian dikembangkan di perguruan tinggi Islam, yaitu seperti ilmu syariáh, ushuluddin, dakwah, tarbiyah dan adab. Rumpun ilmu inilah yang kemudian selama ini disebut sebagai fakultas agama. Pandangan yang mengatakan bahwa rumpun ilmu tersebut sebagai ilmu ke-Islaman sebenarnya adalah betul. Hal itu mendasarkan pada kenyataan bahwa sumber-sumber rujukan yang digunakan adalah ayat-ayat al Qurán dan hadits nabi. Maka itulah sebabnya, kajian tersebut dinamai sebagai kajian Islam. Sampai di sini kiranya tidak ada pihak-pihak yang membantah. Namun ada saja sementara orang yang mengkritisi dengan mengatakan bahwa Islam tidak hanya menyangkut persoalan fiqh, tauhid, akhlakh, tasawwuf, dan tarekh. Islam lebih luas dari sebatas ilmu yang diklaim sebagai ilmu ke-Islaman itu. Kitab suci al Qurán dan hadits nabi juga memerintahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan tentang ciptaan langit dan bumi, menyuruh umat Islam untuk berpikir, memperhatikan, dan melihat alam semesta ini. Bahkan dalam al Qurán disebutkan ayat-ayat yang menantang manusia untuk memperhatikan alam hingga sekecil-kecilnya, misalnya dengan kalimat, : “tidakkah kau perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan dan bumi dihamparkan. Ayat-ayat al Qurán seperti itu, jika diresapi maknanya secara mendalam, maka sebenarnya secara langsung dapat diartikan sebagai anjuran untuk mengggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Persoalannya adalah bahwa selama ini ayat-ayat seperti itu belum dijadikan dasar oleh para ilmuwan tatkala mereka mempelajari alam. Para ilmuwan, seperti ahli biologi, kimia, fisika, sosiologi, psikologi dan seterusnya, dalam mengembangkan ilmunya tidak selalu mendasarkan pada ayat al Qurán. Sementara lainnya, orang-orang yang menekuni al Qurán dan hadits selalu berhenti pada kajian kitab suci itu saja. Kajian al Qurán yang dilakukan tidak sampai melahirkan semangat untuk mengkaji ciptaan Allah secara mendalam lewat kajian ilmiah sebagaimana yang dipesan al Qurán itu. Kehadiran enam Universitas Islam Negeri atau UIN, sejak tahun 2002 yang di awali oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan kemudian disusul oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Syarif Qosim Riau, UIN Alauddin Makassar dan UIN Sunan Gunung Jati Bandung sebenarnya adalah mengemban amanah untuk membangun keilmuan yang integrative atau mengikuti istilah Prof. Amin Abdullah, integrative dan interkoneksi. Sekalipun gerakan itu belum lama, yakni baru sekitar 10-an tahun, tetapi telah memberikan gambaran yangt lebih konkrit tentang Islam yang seharusnya dipahami, tidak saja sebatas sebagai agama tetapi juga menyangkut peradaban yang luas. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang