Memang berbeda antara ilmuwan dan politikus. Ilmuwan dituntut selalu berpikir obyektif, rasional, terbuka, dan berorientasi pada benar atau salah. Sedangkan politkus, sekalipun juga harus berpikir sebagaimana cara berpikir para ilmuwan, tetapi dalam kenyataannya, mereka terbiasa berbikir subyektif, tertutup, irrasional, untuk mendapatkan kemenangan. Politik memang selalu berpikir menang atau kalah.
Seorang ilmuwan tidak mengenal kalah atau menang, tetapi benar atau salah. Tatkala melakukan penelitian, baik di lapangan atau di laboratorium, para ilmuwan menguji hipotesisnya. Bisa jadi hipotesisnya diterima atau dianggap benar, oleh karena data yang dihasilkan mendukungnya. Demikian pula sebaliknya, hipotesisnya ditolak, karena tidak cukup data yang membenarkan hipotesisnya itu. Ditolak atau diterima hipotesisnya, sebagai seorang ilmuwan, mereka tidak akan pernah merasa terganggu. Secara pribadi, peneliti tidak memiliki kepentingan. Keduanya adalah sama. Tatkala hipotesisnya diterima, seorang ilmuwan tidak lantas merasa hebat. Demikian pula sebaliknya, tatkala ditolak juga tidak merasa gagal, lalu mengakibatkan kecewa. Hasil berpikir dan juga meneliti bagi seorang ilmuwan harus terbuka untuk diuji oleh siapapun. Maka, kerja ilmuwan harus obyektif, jujur, dan rasional. Selain itu hasil penelitiannya terbuka untuk diulang oleh ilmuwan lainnya. Data yang digunakan juga boleh diuji oleh siapapun. Para ilmuwan tidak perlu tersinggung manakala ditemukan kekurangan atau bahkan kekeliruan. Oleh karena itu perdebatan antar para ilmuwan juga bisa dilakukan secara terbuka. Tuntutan terhadap para ilmuwan tersebut tentu agaknya berbeda dari para politikus. Para politikus sehari-hari selalu berjuang untuk mendapatkan, mengelola, dan mempertahankan kekuasaannya. Mereka selalu berorientasi pada kemenangan dan mengindar dari kekalahan. Permainan untuk menghindari kekalahan dan atau mendapatkan kemenangan itulah kemudian melahirkan perilaku subyektif, tertutup, dan bahkan bisa jadi irrasional. Untuk mengegolkan aspirasinya, maka para politikus melakukan kampanye, negosiasi, deplomasi, dan bahkan juga menggerakkan massa untuk berdemonstrasi. Kita lihat misalnya, tatkala para anggota parlemen merancang atau mengesahkan undang-undang, yang oleh sebagian kelompok dianggap merugikan, maka terjadi tekanan-tekanan lewat berbagai cara, baik yang lunak atau bahkan dengan cara keras. Berbagai demonstrasi dilakukan untuk menekan pihak lawan politiknya. Oleh karena itu dianggap wajar tatkala di dunia politik terjadi permainan untuk meraih kemenangan. Politik tidak pernah dijalankan secara lugu atau apa adanya. Oleh karena itu, politik kadang diartikan sebagai siasat, artinya adalah kegiatan yang dipenuhi oleh siasat untuk memenangkan perjuangan. Berpolitik dengan lugu dianggap lemah dan biasanya selalu kalah. Maka, orang lugu, dianggap tidak tepat masuk dunia politik. Para politikus, kadang tidak memerlukan obyektivitas dan bahkan juga rasionalitas. Yang mereka perlukan adalah jumlah dukungan. Oleh karena itu, mereka yang menang adalah yang paling banyak mendapatkan dukungan itu. Maka yang mereka lakukan adalah berdeplomasi, negosiasi, agitasi untuk menarik perhatian dan membakar semangat, dan sejenisnya. Dunia ilmuwan dan dunia politik akhirnya memang berbeda. Orientasi orang-orang yang ada di kampus, -----sebagai ilmuwan, seharusnya berbeda dengan para politikus. Dan, memang harus bisa dibedakan. Akan tetapi, antara masing-masing harus saling memahami. Seorang ilmuwan tidak boleh buta politik, dan demikian pula politikus juga harus mengerti cara kerja ilmuwan dan juga kebutuhannya. Dalam kaitannya belajar politik, maka di kampus, mahasiswa diberi ruang untuk berorganisasi, baik organisasi intra kampus maupun ekstra kampus. Akan tetapi apapun, tatkala berorganisasi, mahasiswa harus tetap berpikir dan berperilaku sebagai ilmuwan, yaitu harus mampu berpikir rasional, terbuka, jujur, dan obyektif. Tidak selayaknya, kampus yang dihuni oleh para ilmuwan, lebih terwarnai oleh kegiatan politik daripada kegiatan penelitiannya. Apabila hal itu terjadi, maka artinya, sebagai warga kampus tidak bisa membedakan antara lembaga ilmiah dan lembaga politik. Tugas pokok sebagai lembaga ilmiah adalah mencari kebenaran, dan bukan kemenangan. Antara ilmuwan dan politikus, masing-masing memiliki orientasi yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Menyamakan antara keduanya, maka akibatnya, orang luar yang memahami hakekat keduanya, akan tertawa, karena dinggapnya ganjil. Selain itu, beberapa perbedaan tersebut masih sebatas bersifat normatif atau berada pada tataran idialis. Sebab pada kenyataannya, ada saja orang yang seharusnya bersikap ilmiah, karena tugas-tugasnya sehari-hari adalah sebagai dosen atau mahasiswa, tetapi ternyata masih berperilaku sebagaimana politikus. Mereka kadang masih menggerakkan teman-temannya untuk menuntut kemenangan dengan cara berdemo. Agaknya, memang aneh. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Rekomendasi Artikel: