Betapa kita baru menyadari ada sesuatu yang sangat berharga setelah segalanya berlalu meninggalkan kita. Hingga kita merasa kehilangan bahkan menyesali karena kesempatan itu tak kita manfaatkan secara maksimal saat masih di depan mata dan dirasakan kehadirannya. Giatnya kita beribadah dan berlomba menabung amal shalih saat Ramadhan menjadi bukti bahwa Ramadhan adalah magnet yang bisa menyatukan kita. Bersama dan bersatu dalam nikmatnya Ramadhan yang terasa di mana-mana. Masjid berjubel dipenuhi jamaah yang ingin meraih pahala shalat tarawih bersama, atau menikmati ayat demi ayat dari al-Quran yang dibacanya di masjid di sepanjang waktu. Hampir setiap hari, terutama di awal-awal Ramadhan. Alhamdulillah.
Di luar masjid pun Ramadhan kental terasa suasananya. Malam pertama Ramadhan, saya dalam perjalanan pulang dari Yogyakarta menggunakan kereta api. Suasana Ramadhan pun hadir di sana. Para kru kereta api berubah penampilan. Prianya berkopiah, kemeja dan jas rapi jali. Wanitanya, mengenakan kerudung. Pakaian dan aksesoris yang dikenannya itu sekaligus mewakili lisan dan tulisan untuk menyampaikan pesan klepada khalayak bahwa inilah Ramadhan, kami berubah penampilan untuk menghormatinya. Tentu, pemandangan yang tak akan dijumpai di luar Ramadhan. Sebab, beberapa hari sebelum Ramadhan, saya berangkat ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta, sementara penampilan kru service-nya tak seperti ditulis di awal paragraf ini. Berbeda.
Kini, Ramadhan sudah meninggalkan kita. Kegembiraan menyambut Idul Fitri di gerbang Syawal, sejenak melupakan padat-padatnya beribadah saat Ramadhan. Nikmatnya Ramadhan, tergantikan dengan bahagianya menyambut hari kemenangan. Sehingga, ada di antara kita yang kemudian lupa, bahwa sebenarnya ia tengah meninggalkan bulan yang nikmatnya sepanjang hari sepanjang malam, yang berkah, rahmat dan ampunan dari Allah Swt. bertaburan sebulan penuh.
Kini, kita kehilangan semua suasana indah Ramadhan, saat di mana banyak orang mengejar amal shalih dan beribadah dengan sangat tamaknya. Seolah merasa wajib meninggalkan nikmatnya dunia dan fokus dengan ibadah untuk mendekatkan diri kepadaNya. Tak ada lagi suara berisik belasan ABG yang kadang dengan nakalnya membangunkan seisi pemukiman penduduk pada dini hari dengan suara-suara teriakan dan tetabuhan dari benda-benda seadanya. Masjid pun begitu makmur dengan padatnya kegiatan ibadah baik di siang hari maupun malamnya. Tarawih berjamaah, tadarus al-Quran, i’tikaf, dan kegiatan menemani warga yang sedang sahur dengan lantunan ayat suci al-Quran atau puji-pujian kepada Allah Ta’ala. Indah, nikmat, sejuk, serta damai.
Dan, sekarang tinggal kenangan saja. Kita kembali kepada rutinitas awal, sibuk dengan pekerjaan kita, urusan kehidupan kita, dan kita kembali meninggalkan masjid. Hingga masjid pun kembali sepi.
Salam,
O. Solihin
[www.osolihin.wordpress.com]
Rekomendasi Artikel: