Tentang Fonologi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kalau kita mendengar orang berbicara entah berpidato, atau bercakap-cakap, maka kita akan mendengar runtutan bunyi bahasa yang terus-menerus kadang-kadang terdengar pula suara pemanjangan dan suara biasa.
Pembicaraan merupakan runtutan bunyi bahasa yang terus-menerus, kadang terdengar suara naik dan turun, hentian sejenak atau agak lama, tekanan keras atau lembut dan kadang suara pemanjangan atau biasa. Runtutan bunyi bahasa dapat dianalisis atau disegmentasikan berdasarkan tingkatan kesatuannya ditandai dengan hentian atau jeda dalam runtutan bunyi.Pada tahap pertama, dapat disegmentasikan berdasarakan jeda yang paling besar kemudian pada tahap berikutnya dapat disegmentasikan lagi sampai pada kesatuan runtutan bunyi yang disebut silabel atau suku kata. Jadi, silabel merupakan satuan runtutan bunyi yang ditandai dengan satu satuan bunyi yang paling nyaring. Untuk menentukan ada berapa silabel pada sebuah kesatuan runtutan bunyi bisa dilihat dari jumlah vokal yang terdapat di dalamnya.
Bidang linguistik yang mempelajari runtuatan bahasa disebut fonologi.
Menurut hierarki satuan bunyi bahasa yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi dua, sebagai berikut:
1. Fonetik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
2. Fonemik yaitu cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa denagn memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fonologi
Istilah fonologi ini berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan, kata, atau ilmu disebut juga tata bunyi. Akan tetapi, bunyi yang dipelajari dalam Fonologi bukan bunyi sembarang bunyi, melainkan bunyi bahasa yang dapat membedakan arti dalam bahasa lisan ataupun tulis yang digunakan oleh manusia.
Sementara John Rupet Firth memberikan arti fonologi adalah peranan atau hubungan dari unsur-unsur fonologi dalam konteks fonologi dari struktur suku kata dan unsur-unsur lain yang bersamaan secara paradigmatik yang dapat berperanan dalam konteks yang serupa. [1]
B. Sejarah Perkembangan Fonologi
Sejarah fonologi dapat dilacak melalui riwayat pemakaian istilah fonem dari waktu kewaktu Pada sidang Masyarakat Linguistik Paris, 24 mei 1873, Dufriche Desgenettes mengusulkan nama fonem, sebagai padanan kata Bjm Sprachault. Ferdinand De Saussure dalam bukunya “ Memorie Sur Le Systeme Primitif Des Voyelles Dan Les Langues Indo-Europeennes” “memori tentang sistem awal vokal bahasa-bahasa Indo eropa” yang terbit pada tahun 1878, mendefinisikan fonem sebagai prototip unik dan hipotetik yang berasal dari bermacam bunyi dalam bahasa – bahasa anggotanya.
Gambaran mengenai perkembangan fonologi dari waktu ke waktu dapat dilihat lewat berbagai aliran dalam fonologi.
Aliran Kazan. Dengan tokohnya Mikolaj Kreszewski, aliran ini mendefinisikan fonem sebagai satuan fonetis tak terbagi yang tidak sama dengan antropofonik yang merupakan kekhasan tiap individu.
Tokoh utama aliran kazan adalah Baudoin de Courtenay (1895). Menurut linguis ini, bunyi – bunyi yang secara fonetis berlainan disebut alternan, yang berkerabat secara histiris dan etimologis. Jadi, meskipun dilafalkan berbeda, bunyi – bunyi itu berasal dari satu bentuk yang sama. Pada 1880, Courtenay melancarkan kritiknya terhadap presisi atas beberapa fona yang dianggapnya tidak bermanfaat. Pada 1925, paul passy mempertegas kritik tersebut.
Ferdinand De Saussure. Dalam bukunya “Cours de Linguistique Generale” ‘ Kuliah Linguistik umum’, Saussure mendefinisikan fonologi sebagai studi tentang bunyi-bunyi bahasa manusia.dari definisi tersebut tercermin bahwa bunyi bahasa yang dimaksud olehnya hanyalah unsur-unsur yang terdengar berbeda oleh telinga dan yang mampu menghasilkan satuan-satuan akustik yang tidak terbatas dalam rangkaian ujaran. Jadi dapat dikatakan bahwa Saussure menggunakan kriteria yang semata-mata fonetis untuk menggambarkan fonem dan memempatkannya hanya pada poros sintagmatik.
Lalu Saussure mengoreksinya dan mengatakan bahwa pada sebuah kata yang penting bukanlah bunyi melainkan perbedaan fonisnya yang mampu membedakan kata itu dengan yang lain. Dengan konsep-konsepnya, meskipun tidak pernah mencantumkan istilah struktur maupun fungsi, Saussure dianggap telah membuka jalan terhadap studi fonologi yang kemudian diadaptasi oleh aliran Praha.
Aliran Praha. Aliran Linguistik Praha terdiri dari sekelompok ahli bahasa dari Czechoslovakia dan Negara-negara lain yang tergabung dalam “The Linguistic Circle of Prague” (kelompok linguistik praha). Dalam konfrensi pertama mengenai filologi bahasa Slavonia pada tahun 1929 “The Lingui“The Linguistic Circle of Prague” menyampaikan buku “Travaux du Cercle Lingistique de Pregue” yang pertama. Pada waktu yang hampir bersamaan buku “Remarques” karangan Roman Jackobson muncul yang merupakan buku pertama yang membicarakan secara eksplisit masalah-masalah fonologi diakronik dalam kerangka konseptual yang baru dikembangkan.
Pada tahun 1930 pertemuan internasional mengenai fonologi diadakan di praha, dan Asosiasi Internasional untuk studi fonologi dibentuk. Anggaran dasar Asosiasi Internasional tersebut disetujui pada kongres internasional ahli bahasa kedua di Geneva pada tahun 1931. Pertemuan pertama Asosiasi Internasional untuk studi fonologi dilaksanakan bersamaan dengan kongres internasional ilmu-ilmu fonetik di Amsterdam pada tahun 1932.[2]
Aliran London. Aliran londom dipelopori oleh Jhon.R. Firth seorang guru besar pada Universitas London yang sangat terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi[3]. Oleh karena itu sering pula aliran yang dikembangkannya disebut aliran Firthians, aliran Firth. Titik berat perhatiaannya pada bidang fonetik dan fonologi,. Kaum Firthians ini sangat terkenal karena kecendrungannya untuk menerapkan hal-hal yang praktis. Mereka yang beraliran ini antara lain: H. Sweet, D. Jones, B. Malinowsi, dan J.R. Firth sendiri.[4]
C. Kedudukan Fonologi dalam cabang-cabang linguistik
Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam deskripsi dan analisi bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fofonogi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik lainnya.
1. Fonologi dalam bidang morfologi
Dalam bidang morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (mulai dari perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Misalnya ketika menjelaskan, megapa morfem dasar {pukul} diucapkan secara bervariasi antara [pukUl] dan [pUkUl], serts diucapkan [pukulan] setelah mendapat proses morfologis dengan penambahan morfemsufiks {-an}, praktis “minta bantuan “ hasil studi fonolog.
2. Fonologi dalam bidang sintaksis
Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat Kamu disini. (kalimat berita), Kamu di sini? (kalimat tanya), dan kamu di sini! (kalimat seru/perintah) yang ketiganya mempunyai maksud berbeda, padahal masing-masing terdiri atas tiga kata yang sama, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi , yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ternyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
3. Fonologi dalam bidang semantik
Pada bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna katapun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, kapan tidak. Misalnya, mengapa kata tahu dan teras kalau diucapkan secara bervariasi [tahu], [tau], [teras], dan [t∂ras] akan bermakna lain.
4. Fonologi dalam bidang leksikologi dan leksokografi
Leksikologi, juga leksokografi, yang berkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus mauun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian fonologi.
5. Fonologi dalam bidang dialektologi
Bidang dialektologi, yang bermaksud memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa, baik secara sosial maupun geografis.
6. Fonologi dalam bidang linguistik terapan
Begitu juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa (khususnya pengajran bahasa kedua dan pengajaran bahasa asing) yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahasa target kepada pembelajar (the leaner). Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil kajian fonologi.
7. Fonologi dalam bidang psikolinguistik
Psikolinguistik ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan hasil kajian fonologi. Misalnya, mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih dahulu dari pada bunyi-bunyi labiodental.[5]
D. Manfaat Fonologi dalam penyusunan ejaan bahasa
Ejaan adalah peraturan pergambaran atau perlambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, maka ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi tersebut.
Tata cara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagai contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan ejaan fonemis.[6]
E. Objek kajian Fonologi
Sebagaimana yang diketahui fonologi adalah ilmu yang mempelajari tentag pola dan system bunyi dalam sebuah bahasa karena setiap bahasa memiliki pola dan system bunyi yang berbeda-beda.[7] Oleh sebab itu, Objek dalam fonologi yang tiada lain adalah bunyi-bunyi ujar, maka bunyi-bunyi ujar ini dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1. Fonetik.
Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.[8] Sedangkan menurut Clark dan Yallop (1990), fonetik merupakan bidang yang berkaitan erat dengan kajian bagaimana cara manusia berbahasa serta mendengar dan memproses ujaran yang diterima.[9]
Secara umum dalam studi fonologi, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikuloris, fonetik akustis, dan fonetik audiotoris. Fonetik artikuloris, disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya. Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensinya, getarannya, amplitudonya, intensitasnya dan timbrennya. Alat-alat yang digunakan untuk mengkaji gelombang bunyi bahasa dan mengukur pergerakan udara antaralain, spektograf (alat untuk menganalisis dan memaparkan frekuensi dan tekanan, oscilloskop (alat untuk memaparkan ciri-ciri kenyaringan bunyi).
Fonetik audiotoris atau fonetik persepsi ini mengarahkan kajiaanya pada persoalan bagaimana manusia menentukan pilihan bunyi-bunyi yang diterima alat pendengarannya. dengan arti kata kajian ini meneliti bagaimana seseorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang diterimanya sebagai bunyi-bunyi yang perlu diproses sebagai bunyi-bunyi bahasa..
2. Fonemik
Setiap makna yang membedakan aslinya dalam sebuah bahasa merupakan gambaran dari fonem.[10] Jadi, Fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna. Kenneth L. Pike mengatakan, “ a phoneme is one of the significant units of souds, or a contranstive sound unit”. Berdasarkan rumusan tersebut jelaslah bahwa fonem mempunyai fungsi pembeda, yaitu pembeda makna. Terlebih lagi fonem adalah salah satu jalan untuk melihat fonologi sebuah bahasa.[11] Disisilain fonem juga dapat diartikan sebagai sebuah symbol yang menunjukkan unit kontrastif.[12]
Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengetahui bahwa kesatuan bunyi terkecil tersebut berfungsi sebagai pembeda makna? Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah melakukan pembuktian secara empiris, yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa yang diteliti. Dengan demikian, kalau kita ingin mengetahui fungsi bunyi bahasa Indonesia, misalnya, kita harus membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa Indonesia.
a) Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu. Misalnya, kata laba dan raba. Kedua kata itu hampir mirip. Masing-masing terdiri dari empat bunyi. Yang pertama mempunyai bunyi [l], [a], [b], [a] dan yang kedua mempunyai bunyi [r], [a], [b], [a].
Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan [r]. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunyi [l] dan [r] adalah dua buah fonem yang berbeda di dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem [l]dan [r].[13]
Dua bentuk kata yang mirip seperti diatas disebut kata-kata yang berkontras minimal atau berpasangan minimal (minimal pair). Jadi, untuk menentukan sebuah fonem atau bukan yang pertama haruslah dicari pasangan minimalnya terlebih dahulu. Kadang-kadang pasangan minimal ini tidak mempunyai jumlah bunyi yang sama persis. Misalnya, kata tuju dan tujuh juga merupakan pasangan minimal, sebab tiada bunyi [h] pada kata itu mengubah maknanya. Jadi bunyi [h] adalah fonem.[14]
Identitas fonem hanya berlaku dalam satu bahasa tertentu saja. Misalnya, dalam bahasa inggris ada bunyi [th] seperti kata top, dan bunyi [t] seperti pada kata stop. Tetapi kedua bunyi itu bukan merupakan fonem yang berbeda, melainkan sebuah fonem yang sama, sebab top dan stop bukan pasangan minimal.
b) Alofon
Alofon adalah variasi dari fonem yang merupakan cara dari penutur, dan ini merupakan level atau tingkatan yang lebih konkrit.[15] seperti bunyi [ph] dan [p] untuk fonem bahasa inggris /p/ pada kata pace [pheis] dan space [speis]. Identitas Alofon hanya berlaku pada bahasa tertentu, dengan cara membandingkan bunyi ada distribusi komplementer.
Yang dimaksud distribusi komplementer atau distribusi saling melengkapi adalah tempatnya tidak bisa ditukar dan bersifat tetap pada lingkungan tertentu. Misalnya, fonem /o/ yang berada pada silabel terbuka diucapkan [o] seperti pada toko dan bodo dan berada pad silabel yang tertutup diucapkan [ɔ] pada tokoh dan bodoh.
Disamping distribusi komplementer terdapat juga distribusi bebas yang mempunyai pengertian bahwa alofon-alofon itu boleh digunakan tanpa persyaratan lingkungan bunyi tertentu. Misalnya, jika bunyi [o] dan [ɔ] adalah alofon dari fonem /o/, maka kata obat dapat dilafalkan [obat] dan bisa juga [ɔbat].[16]
c) Klarifikasi Fonem
Klarifikasi fonem dapat digolongkan menjadi: fonem segmental dan fonem suprasegmental atau fonem nonsegmental. Fonem segemental adalah fonem-fonem yang berupa bunyi, yang didapat sebagai hasil segmentasi terhadap arus ujaran. Fonem segmental terdiri atas vokal dan konsonan. Ciri dan karakterisitik vokal maupun konsonan ini sama dengan klasifikasi bunyi vokal maupun konsonan. Misalnya, /a/, /b, /c/, /d/. dan sebagainya. Sedangkan fonem suprasegmental adalah fonem yang berupa unsur suprasegmental. Misalnya, tekanan, durasi, nada. [17]
d) Khazanah Fonem
Khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapta dalam suatu bahasa. Berapa jumlah fonem dalam suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan yang dimiliki bahasa lain. Misalnya dalam bahasa penduduk asli di pulau Hawaii, yaitu hanya 13 buah, sebuah bahasa di Kaukasus Utara adalah 75 buah, bahasa Arab hanya mempunyai 3 buah fonem vokal, bahasa Inggris dan bahasa Perancis mempunyai lebih dari 10 buah fonem vokal.[18]
e) Perubahan Fonem
Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab sangat tergantung pada lingkungannya, atau pada fonem-fonem lain yang berada di sekitarnya. Misalnya, seperti sudah fonem /o/ kalau berada pada silabel terbuka akan berbunyi [o] dan kalau berada pada silabel tertutupakan berbunyi [ɔ]. Beberapa perubahan fonem yang epentesis antara lain asimilasi dan disimilasi, netralisasi dan arkifoem, umlaut, ablaut dan harmoni vokal, kontraksi dan hilangnya bunyi, metateis.[19]
1) Asimilasi dan Disimilasi
Asimilasi adalah merupakan perubahan dari bunyi di bawah pengaruh bunyi-bunyi lainnya.[20] Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi dan dipengaruhi.[21] Misalnya, kata sabtu dalam bahasa Indonesia lazim diucapkan [saptu], dimana terlihat bunyi [b] berubah menjadi [p] sebagai akibat pengaruh bunyi [t].[22]
Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.[23] Dalam proses disimilasi perubahannya menyebabkan dua buah fonem yang sama menjadi fonem yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia, misalnya kata cipta dan cinta berasal dari bahasa sansekerta. Kita lihat, bunyi [tt] pada kata citta berubah menjadi bunyi [pt] pada kata cipta dan menjadi bunyi [nt] pada kata cinta.[24]
2) Netralisasi dan Arkifonem
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara memasangkan minimal barang-parang bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa indomesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi pada kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’].
Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama? Tentu saja tidak, sebab dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem /b/ dan /p/. Prisnsip sekali fonem tetap fonem tetap diberlakukan. Kalaupun ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang anggotanya adalah fonem /b/ dan /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi distribusiya.
3) Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal.
Kata umlaut berasal dari bahasa Jerman. Dalam studi fonologi kata ini mempunyai pengertian perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi vokal yang lebih tinggi sebagai akibat dari vokal yang berikutnya yang lebih tinggi. Misalnya, dalam bahasa belanda bunyi /a/ pada kata handje lebih tinggi kualitasnya bila dibandingkan dengan bunyi /a/ pada kata hand. Penyebabnya adalah bunyi /j/ yang posisinya lebih tinggi dari bunyi /a/ pada kata hand.
Ablaut adalah perubahan vokal yang kita temukan dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman untuk menandai berbagai fungsi gramatikal. Misalnya, dalam bahasa Jerman vokal /a/ menjadi /ä/ untuk mengubah bentuk singularis menjadi bentuk pluralis, seperti pada kata Haus “rumah” menjadi Hauser “rumah-rumah”.[25]
Harmoni vokal atau keselarasan vokal, antara lain terdapat dalam bahasa turki. Misalnya, kata at (kuda) bentuk jamaknya adalah atlar (kuda-kuda).[26]
4) Kontraksi
Kontraksi adalah bentuk penyingkatan dari ujaran yang panjang menjadi pendek. Atau dalam redaksi lain adalah proses penghilangan elemen pokok (bunyi, huruf, kata) dalam sebuah kata.[27] Umpamanya, dalam bahasa Indonesia tidak ada diucapkan menjadi tiada.[28]
5) Metatesis dan Epentesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya kerikil menjadi kelikir, jalur menjadi lajur.[29]
Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya, kapak menjadi kampak, upama menjadi umpamanya. Sajak menjadi sanjak.[30]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisi, membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi. Fonologi dibedakan menjadi fonetikdan fonemik. Secara umum fonetik bisa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut berfungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.
Fonetik artikulatoris, disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan oleh alat-alat bicara. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya. Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensinya, getarannya, amplitudonya, intensitasnya, dan timbrenya. Hal ini memerlukan peralatan elektronis yang terdapat di lab bahasa. Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Dari ketiga jenis fonetik, fonetik artikulatoris lebih mudah dipelajari sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.
Dalam studi fonemik yang didalamnya terdapat beberapa pembahasan mengenai fonem, identifikasi fonem, klasifikasi fonem, khazanah fonem, alofon, perubahan fonem dapat memberi pemahaman tentang dasar-dasar fonologi khususnya fonemik.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, Iswah. Pengantar Linguistik. Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006.
Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga, 2012.
Chaer, Abdul. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Boey. Lim Kiat. An Introduction To Linguistics For The Language Teacher. Singapura: Singapore University Press, 1975.
Jakobson. Roman and Halle. Morris, Fundamentals of Language (The Hague, Mounton & co.,1956.
J.W.M. Verhaar. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers, 2011.
Muslich, Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Molyadi, Introduction To Linguistic, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2011.
Ronald Wardhaugh, Introduction To Linguistics; Seconf Edition, Toronto: University of Toronto Perss, tt
Samsuri. Berbagai Aliran linguistic Abad XX. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan, 1988.
Samsunuwiyati. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama, 2011.
Yule, George. The Study of language; an Introductions. New York: Cambridge University Press, 1985
.
[1] Abdul.Chaer, Psikolinguistik kajian teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 75.
[2] Samsuri. Berbagai Aliran linguistic Abad XX (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan, 1988) 19.
[3] Abdul Chaer, Linguistic Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 355.
[4] Iswah Adriana. Pengantar Linguistik (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006 ), 78.
[5] Mansur Muslich. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2012). 2-4.
[7] George Yule, The Study of language; an Introductions (New York: Cambridge University Press, 1985), 45.
[8] Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum (Jakarta: Erlangga, 2012), 26
[9] Muslich, Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia, 8.
[10] George Yule, The Study of language; an Introductions , 44.
[11] Lim Kiat Boey, An Introduction To Linguistics For The Language Teacher (Singapura: Singapore University Press, 1975), 28 lihat juga dalam Jakobson. Roman and Halle. Morris, Fundamentals of Language (The Hague, Mounton & co.,1956.
[12] Ronald Wardhaugh, Introduction To Linguistics; Seconf Edition (Toronto: University of Toronto Perss, tt), 54.
[13] Chaer, abdul. Linguistik Umum.,125.
[14] Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum, 43.
[15] Molyadi, Introduction To Linguistic (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2011), 12
[17] Chaer, abdul. Linguistik Umum., 129.
[19] Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum, 45.
[20] Molyadi, Introduction To Linguistic, 14.
[21] Muslich, Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia, 118.
[22] Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum, 46.
[23] Muslich, Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia, 120.
[24] Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum, 46.
[25] Chaer, abdul. Linguistik Umum., 135.
[26] Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum, 47.
[27] Molyadi, Introduction To Linguistic, 15.
[28] Ahmad HP, Alek Abdullah. Linguistik Umum, 48.
[29] Muslich, Mansur. Fonologi Bahasa Indonesia, 125.