TEORI PEMEROLEHAN BAHASA
(LANGUAGE ACQUISITION)
Moch Wahib Dariyadi
Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling esensial bagi manusia. Bahasa yang dimiliki oleh manusia sangat dinamis sehingga terus berkembang dari waktu ke waktu. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan pikiran, bersosialisasi, dan memenuhi hasrat hidupnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa berbahasa adalah kebutuhan dasar setiap manusia.
Berdasarkan definisi di atas, kemampuan berbahasa yang baik tentunya menjadi tuntutan bagi setiap individu yang ingin berkomunikasi. Agar dapat berkomunikasi dengan baik maka setiap individu harus menguasai bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut.
Bahasapun dianggap sebagai sesuatu yang istimewa, sebab bahasa merupakan sarana manusia untuk berpikir yang merupakan sumber awal manusia memperoleh pemahaman dan ilmu pengetahuan. Sebagai simbol sebuah pemahaman, bahasa telah memungkinkan manusia untuk memahami apa yang ada disekitarnya, dan mengantarkan dia memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian.
Dari berpikir itulah kemudian manusia mencoba mencari dan meneliti darimana bahasa berasal, sejak kapan manusia berbahasa, dan dari mana manusia memperoleh serta mempelajarinya. Bahasa tidak serta merta dipahami dan dikuasai oleh anak manusia yang baru lahir. Memerlukan berbagai tahapan untuk dapat berbahasa secara fasih dan lancar serta dapat dipahami dan memahami apa yang orang lain sampaikan.
Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan salah satu prestasi manusia yang paling hebat dan paling menakjubkan. Itulah sebabnya masalah ini mendapat perhatian besar. Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif selama kurang lebih dua dekade. Pada saat itu telah dipelajari banyak hal mengenai bagaimana anak berbicara, mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit sekali yang diketahui mengenai proses aktual perkembangan bahasa. Satu hal yang perlu diketahui bahwa pemerolehan bahasa sangat banyak ditentukan oleh interaksi rumit aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan sosial.
Setiap pendekatan modern terhadap pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh setiap anak, memanfaatkan aneka kapasitas bawaan sejak lahir yang beraneka ragam dalam interaksinya dengan pengalaman-pengalaman dunia dan sosial”. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau kebanyakan pendekatan modern terhadap pemerolehan bahasa dititikberatkan pada salah satu aspek proses pemerolehan bahasa.
Dimulai dari bahasa ibu atau bahasa pertama yang seorang anak dapatkan sejak lahir, sampai kepada bahasa asing (lain) atau biasa dikenal sebagai bahasa kedua yang ingin dipelajari si anak setelah besar. Tulisan ini mengemukakan tentang Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition) yang mencakup: 1) Hakekat Language Acquisition, 2) Teori Pemerolehan Bahasa, 3) Pandangan Terhadap Teori Pemerolahan Bahasa Kedua.
Sebelum kita berbicara tentang teori pemerolehan bahasa, sebaiknya kita menyamakan persepsi kita terhadap beberapa istilah penting yang biasanya dipergunakan dalam topik semacam ini yang bisa saja menimbulkan salah pengertian (misconception) diantara kita, diantaranya, istilah pemerolehan (acquisition) dan pembelajaran (learning). Wilkins (1974) dalam Ellis (1990:41) memberikan pengertian terhadap perbedaan istilah pemerolehan dan pembelajaran seperti berikut:
The term acquisition is the process where language is acquired as a result of natural and largely random exposure to language while the term learning is the process where the exposure is structured through language teaching. In other word, that acquisition and learning were synonymous with informal and formal language learning context.
Meskipun masih banyak pengertian lain yang diberikan para ahli mengenai kedua istilah tersebut, namun kita dapat membedakan keduanya dan menarik kesimpulan bahwa “pemerolehan” merupakan proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language/mother tongue) sedangkan “pembelajaran” adalah proses yang dilakukan (umumnya dewasa) dalam tatanan yang formal, yakni, belajar di kelas/di luar (indoor dan outdoor class) dan diajarkan oleh guru. Lebih rinci mengenai aspek perbedaan keduanya bisa dilihat pada Ellis (1990) dalam bukunya “Instructed Second Language Acquisition”. Namun demikian ada juga yang menggunakan istilah “pemerolehan bahasa kedua” (second language acquisition) seperti Krashen (1972), Nurhadi, dan lain-lain.
Pemerolehan bahasa diartikan sebagai penguasaan bahasa pertama seorang anak dimana dia tinggal. Proses pemerolehan bahasa ini berlangsung secara tidak sadar. Di sisi lain, pembelajaran adalah proses penguasaan bahasa target (bahasa kedua) yang dilakukan oleh seseorang guna kepentingan tertentu, misalnya untuk tujuan pekerjaan, akademis, ekonomi, dan lain-lain. Dalam proses ini tujuan yang ingin dicapai oleh individu tersebut jelas sehingga proses inipun dilakukan dengan sadar.
Meskipun pemerolehan dan pembelajaran bahasa memiliki esensi yang berbeda tetapi keduanya memiliki persamaan dalam prosesnya. Persamaan antara pemerolehan dan pembelajaran bahasa tersebut seperti di bawah ini.
Selain persamaan tersebut, pemerolehan maupun pembelajaran bahasa juga memiliki perbedaan sebagai berikut.
Konsep persamaan dan perbedaan pemerolehan dan pembelajaran bahasa ini penting diketahui dan dipahami oleh seorang pendidik bahasa. Hal ini nantinya dapat digunakan sebagai landasan dalam penyusunan pembelajaran bahasa yang efektif dan efisien sesuai dengan konteks yang dihadapi.
Disamping kedua istilah diatas, yang bisa menimbulkan salah pengertian kita terutama karena kemiripan pengucapannya adalah sifat pemerolehan yaitu nurture atau nature. Istilah tersebut memang lahir dari kedua tokoh yang berlainan aliran dan bidang kajian yang berbeda pula, dimana istilah nurture merupakan kesimpulan dari teori Behaviorisme yang mengatakan bahwa otak manusia dilahirkan seperti tabulrasa (blank slate/piring kosong) dimana blank slate ini akan diisi oleh alam sekitarnya. Pelopor moderen dalam pandangan ini adalah seorang psikolog dari Universitas Harvard yaitu, B.F. Skinner. Sedangkan istilah nature adalah lahir dari teori Innatisme yang dipelopori oleh Noam Chomsky (1960an) yang mengatakn bahwa manusia dilahirkan dengan Innate Properties (bekal kodrati) yaitu bersama Faculties of the Mind (kapling minda) yang salah satu bagiannya khusus untuk memperoleh bahasa, yaitu Language Acquisition Device (piranti pemerolehan bahasa). Karena alat ini berlaku semesta, maka kemudian Chomsky merumuskan teorinya dengan istilah Universal Grammar (tatabahasa semesta). Jadi perkembangan pemerolehan bahasa anak akan seiring dengan pertumbuhan faktor biologisnya (Ghazali: 2000 dan Dardjowidjojo: 2005).
Meskipun terjadi perbedaan sifat pemerolehan seperti disebutkan diatas, namun antara Nurture dan Nature sama-sama saling mendukung. Nature diperlukan, karena tanpa bekal kodrati makhluk tidak mungkin anak dapat berbahasa sedangkan nurture diperlukan, karena tanpa input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidak akan terwujud (Dardjowidjojo, 2003:237).
Dari teori Universal Grammar Chomsky tersebut diatas muncul istilah competence dan performance. Chomsky (1960) mengatakan bahwa: “Competence: What we know - Our deep structure - What we are capable of doing while Performance: What we show - Our surface structure - What we do” (Elliot, 1996:7-9). Dalam pengertian lain bisa juga dikatakan bahwa yang disebut dengan kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari, sedangkan performasi merupakan kemampuan memahami dan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru (Chaer, 2003:167). Sehingga ketika seseorang memiliki kompetensi berbahasa yang baik dan benar maka sudah bisa dipastikan orang tersebut akan sukses dalam performasinya (spoken&written language), kecuali orang tersebut mengalami language disorders seperti dyslexia dan aphasia.
B. TEORI – TEORI PEMEROLEHAN BAHASA
1. Teori Behaviorisme
Teori ini mulanya, terilhami oleh seorang filusuf Inggris yang hidup pada abad ke- 17 salah satu tokoh Empirisme yaitu John Lock yang kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John B. Watson seorang tokoh terkemuka alisan Behaviorisme dalam Psikologi. Meskipun sebelumnya telah dijelaskan oleh seorang filusuf dan juga negarawan asal Inggris yang bernama Francis Bacon di awal abad ke-17 baru kemudia dimunculkan oleh Lock dan John B. Watson dalam berbagai tulisan mereka di jurnal-jurnal ilmiah (Encarta Encyclopedia:2006). Mereka mengklaim bahwa otak bayi waktu dilahirkan sama sekali seperti kertas kosong/piring kosong (tabularasa/blank slate), yang nanti akan diisi dengan pengalaman-pengalaman. Dengan kata lain bahwa semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang diamati dan dialami manusia (Chaer, 2002:173).
Sejalan dengan anggapan diatas mereka (kaum behaviorisme) menganggap bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan – hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran “stimulus – respons”, dimana bahasa diasumsikan sebagai sekumpulan tabiat-tabiat atau perilaku-perilaku yang kemudian ditulis pada tabularasa otak anak.
Anggapan ini kemudian mendapat kritik dari para ahli lain terutama dari Chomsky pakar teori transformasi generative. Chomsky menganggap bahwa kaum behaviorisme tidak mampu menjelaskan proses pemerolehan bahasa itu sendiri. Kritik dari Chomsky ini mengundang reaksi dari pengikut kaum behaviorisme seperti Jenkin dengan teori mediasinya dengan mengatakan bahwa: “Learners receive linguistic input from speakers in their environment and they form associations between words and object or events”. Tetapi tetap saja apa yang mereka usahakan tidak mampu menjawab faktor kreatifitas dalam penggunaan bahasa serta bagaimana kompetensi bahasa digunakan untuk membuat dan memahami kalimat-kalimat baru yang belum pernah dibuatnya, begitu pula dengan pengikutnya yang lain seperti Bloomfield and Skinner yang mendasari pada hipotesis tabularasa dan teori stimulus-respons.
2. Teori Innetisme
Teori ini dipelopori oleh Noam Chomsky pada awal tahun 1960-an sebagai bantahan terhadap teori belajar bahasa yang dilontarkan oleh kaum behaviorisme tersebut. Noam Chomsky berkesimpulan bahwa teori behaviorisme tidak mampu menjelaskan proses pemerolehan bahasa dan kompetensi linguistiknya. Pemerolehan bahasa bukan didasarkan pada nurture (pemerolehan itu ditentukan oleh alam lingkungan) tetapi pada nature, artinya anak memperoleh bahasa seperti dia memperoleh kemampuan untuk berdiri dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai tabularasa, tetapi telah dibekali dengan Innate Properties (bekal kodrati) yaitu Faculties of the Mind (kapling minda) yang salah satu bagiannya khusus untk memperoleh bahasa, yaitu “Language Acquisition Device”, karena alat tersebut berlaku semesta maka kemudian Chomsky merumuskan teorinya dengan istilah Universal Grammar (tatabahasa semesta).
Lebih lanjut Chomsky mengatakan bahwa lingkungan hanya berfungsi sebagai pemberi masukan dan Language Acquisition Device itulah yang akan mengolah masukan (input) dan menentukan apa yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya (Clark&Clark, 1977). Dengan demikian, bahwa kemampuan yang dimiliki manusia telah terprogram secara biologis agar manusia dapat belajar bahasa. Kemudian kemampuan itu tumbuh dan berkembang sejalan dengan bertumbuhan biologis anak (otak, organ bicara, dll) yang pada akhirnya mampu mempelajari kaidah tata bahasa. Sehingga kalimat-kalima yang belum pernah didengar sebelumnya akan tetap mampu di ujarkan secara benar dan konsisten karena ada LAD/PPB tersebut.
3. Teori Kognitivisme
Berawal dari pernyataan Jean Piaget (1926) yang berunyi “logical thinking underlies both linguistic and nonlinguistic developments”, kemudian memancing para teoritis (1970-an) untuk kembali mengembangkan teori kognitif yang semula dikenal dalam ilmu psikologis, untuk menerangkan pertumbuhan kemampuan berbahasa yang mereka anggap belum memuaskan dari penjelasan Chomsky diatas. Mereka mengatakan bahwa anak lebih dahulu mengembangkan pengetahuan dunia secara umum (nonlinguistic knowledge), barulah ia kemudian menerapkan kemampuan bahasanya (linguistic knowledge). Dalam kaitannya dengan perkembangan kemampuan berbahasa, kaum kognitivisme mengatakan bahwa anak harus lebih dahulu memiliki kemampuan memetakan pikiran logis terhadap kategori dan hubungan yang ada dalam bahasa. Pemetaan tersebut terjadi melalui proses asosiasi (bagaimana proses asosiasi ini terjadi silakan lihat Chaer, 2002). Perbedaan dan kesamaanya dengan teori Chomsky yaitu:
INNATISME |
KOGNITIVISME |
||
Perbedaan |
1 |
Kemampuan kognitif telah terprogram sebelum ia dilahirkan |
Kemampuan kognitif itu tumbuh akibat anak berinteraksi dengan lingkungannya |
2 |
Berbicara mengenai kemampuan belajar bahasa |
Berbicara tentang kemampuan berpikir logis |
|
3 |
Peran berpikir logis tidak penting |
Peran berpikir logis sangat penting |
|
4 |
Kemampuan belajar bahasa merupakan ciri unik yang hanya dimiliki manusia |
Kemampuan berpikir logis merupakan ciri unik yang hanya dimiliki manusia |
|
5 |
Perkembangan knowledge of language berkembang secara terpisah dari perkembangan berpikir logis |
Aspek berpikir logis mestinya berkembang lebih dahulu sebelum anak mengembangkan bahasanya |
|
Persamaan |
1 |
Sama-sama memiliki pandangan tentang pertumbuhan kemampuan bahasa |
|
2 |
Sama – sama berpendapat bahwa apa yang diperoleh anak adalah categories and rules of language |
||
3 |
Sama – sama menyetujui bahwa kedua pengetahuan itu (categories and rules of language) terletak didalam otak pembelajar bahasa |
Sumber: Ghazali (2000); Owens (1992)
4. Teori Interaksionisme
Teori ini berpandangan bahwa baik faktor psikologis maupun sosial, keduanya ikut mengambil peran dalam proses pemerolehan bahasa kedua. Teori ini banyak dipengaruhi oleh hasil penelitian psikolinguistik experimental dan psikologi kognitif. Kaum Interaksionis menekankan pentingnya interaksi yang berlangsung antara individu, antara individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok lain dan seterusnya sehingga membentuk “conversations”. Karena dengan adanya kondisi demikian akan membantu pembelajar bahasa untuk mendapatkan akses pada pengetahuan baru tentang bahasa target, tentu saja hal ini akan terjadi bila didukung penuh oleh si interlocutor (orang yang diajak bicara) (Lightbown & Spada, 1999:43). Jadi, baik Hatch (1992), Teresa Pica (1994), dan Michael Long (1983) mengatakan bahwa “much of L2 acquisition takes place through conversational interaction, since what the learners need is not a simplification of linguistic form but an opportunity to interact with other speakers, in way which lead them make adaptation” (Lightbown & Spada, 1999:43).
Terlepas dari segala kelebihan yang melekat pada teori interaksionis ini, bukan berarti tanpa kritik, seperti, yang dialami oleh teori sebelumnya. Antara lain, kritiknya adalah bahwa ada banyak hal yang mesti diketahui oleh pembelajar yang tidak ada bersama input itu, sehingga perlu kembali merujuk ke teori innatisme, seperti prinsip-prinsip bawaan yang dikatakan Chomsky.
5. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua dari Krashen (Second Language Acquisition)
Ada Sembilan hipotesis yang diajukan Stephan Krashen mengenai pemerolehan bahasa kedua (Ghazali, 2000 dan Chaer, 2002), tetapi berikut hanya akan dibahas lima diantaranya yang dianggap paling berpengaruh dalam proses pemerolehan bahasa kedua/target. Kelima hipotesis itu adalah sebagai berikut:
1. Hipotesis Pemerolehan-Pembelajaran (Acquisition-Learning Hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan bahwa ada dua sistem belajar bahasa kedua, setiap sistem terpisah satu sama lain namun saling terkait. Kedua hal tersebut adalah acquired system dan learned system. Acquired system mengacu ke proses bawah sadar yang dikembangkan oleh seorang anak ketika belajar bahasa pertmanya (native language). Selama proses pemerolehan ini biasanya anak tidak terlalu fokus dengan structure, tetapi lebih pada meaning. Sedangkan learned system mengacu pada usaha anak untuk menguasai structure sederhana bahasa kedua. Biasanya hal ini dilakukan dalam situasi yang formal.
2. Hipotesis Monitor (Monitor Hypothesis)
Hipotesis ini menjelaskan bagaimana hubungan anatara acquired system dan learned system tersebut diatas. Acquired system itu akan bertindak sebagai pengambil inisiatif dalam performasi. Sedangkan pengetahuan yang didapat dari learned system berperan sebagai penyunting dan pengoreksi apabila ada kesalahan dalam structure. Tentu saja peran learned system sebagai penyunting akan sukses bila memenuhi tiga macam kondisi berikut: 1). Pemakai bahasa memiliki waktu yang memadai/tidak terburu-buru. 2). Pemakai bahasa memusatkan perhatiannya pada language structure yang diperlukan. 3). Pemakai bahasa mengetahui structure yang diperlukan pada saat ia berinteraksi.
3. Hipotesis Urutan Alamiah (Natural Order Hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan bahawa dalam proses pemerolehan bahasa anak-anak memperolehan unsur-unsur bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksi sebelumnya. Urutan yang dimaksud bersifat alamiah, yaitu, melalui empat tahap: 1. Producing single words.2. Stringing words together based on meaning and not syntax. 3. Identifying the elements that begin and end sentences. 4. Identifying the different elements within sentences and can rearrange them to produce questions.
4. Hipotesis Masukan (Input Hypothesis)
Hipotesis ini menerangkan tentang proses pemerolehan bahasa pada pembelajar bahasa kedua. Pemerolehan itu dapat terjadi apabila masukan (input) itu dapat dipahami (comprehensible). Comprehensible input itu bisa didapatkan melalui tuturan dan bacaan yang dapat dipahami maknanya. Untuk memahami input itu pembelajar bisa dibantu dengan penguasaan tatabahasa yang telah diperoleh sebelumnya, pengetahuan tentang dunia, penjelasan atau gambar-gambar dan struktur tersebut dipahami dan bantuan penerjemahan.
5. Hipotesis Saringan Afektif (Affective Filter Hypothesis)
Hipetesis ini menekankan akan pentingnya faktor dalam diri pembelajar bahasa (external factors) dalam mensukseskan pemerolehan bahasanya. Faktor-faktor tersebut yaitu: motivasi (motivation), keyakinan diri (self-confidence), dan rasa takut (anxiety). Jika pembelajar memiliki motivasi dan kepercayaan diri yang tinggi maka ia akan memiliki peluang lebih besar untuk sukses. Sebliknya jika ia masih memiliki rasa takut (anxiety) untuk mengungkapkan sesuatu yang diperolehnya atau melakukan latihan, maka akan terjadi mental block (saluran mental yang buntu) sehingga akan menghambat proses pemerolehan bahasanya. Mental block itu akan menghambat comprehensible input ke dalam Language Acquisition Device.
C. PANDANGAN TEORI MENTALISTIK (NATIVISME) TENTANG PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Chomsky menyatakan bahawa manusia mempunyai “Faculties of the mind” yakni semacam kapling-kapling intelektual dalam otaknya. Salah satunya adalah untuk bahasa. Kapling kodrati yang dibawa sejak lahir ini oleh Chomsky dinamakan Language Acquisition Device (LAD).
Dengan berdasar pendapat dari Chomsky yang merupakan tokoh aliran teori mentalistik itu, dapat diambil penafsiran bahwa dalam setiap diri anak manusia telah dibekali oleh sebuah kemampuan berbahasa dalam dirinya yang tersimpan sebagai bawaan semenjak lahir. Oleh karenanya dalam teori pembelajaran atau pemerolehan bahasa kedua pada masa perkembangan pertama tentunya tidak akan jauh melenceng dari penafsiran tersebut. Dalam masa perkembangan, manusia tinggal melatih apa yang sebenarnya telah dia miliki di dalam otaknya, yaitu bahasa. Dalam pemerolehan bahasa pertama biasanya seorang anak akan memperolehnya pada masa perkembangan pertama (0-3 tahun). Dalam rentang waktu ini anak akan terus berusaha untuk mengingat dan melatih apa yang telah dimiliki dalam dirinya dan dari hasil proses komunikasi dan interaksi dengan orang terdekatnya. Setelah umur 3 tahun atau lebih, bisa jadi seorang anak akan mulai menerima kehadiran penutur lain yang mungkin pula akan membawa bahasa lain.
Dalam hal pemerolehan bahasa kedua pada orang dewasa menurut paham ini, bahwa sebenarnya bahasa kedua hanya akan bisa dipelajari dan tidak bisa diperoleh hanya dengan berbekal proses atau kebiasaan berkomunikasi dan berinteraksi dengan komunitasnya saja. Dengan LAD pada hakikatnya manusia akan bisa menguasai bahasa keduanya melalui beberapa tahapan pembelajaran. Hanya saja, orang dewasa biasanya memang akan lebih sedikit mengalami kesulitan dalam hal penghapalan kosa kata yang dikarenakan kemampuan otaknya yang sudah tidak lagi berkembang secepat anak-anak dan juga dikarenakan memori nondeklaratif yang bersifat instinktif yang dimiliki manusia sudah tidak lagi setajam memori anak-anak. Akan tetapi dalam hal lain, semisal penguasaan tata bahasa dan beberapa hal lainnya, orang dewasa lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak.
D. PANDANGAN TEORI BEHAVIORISME TENTANG PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Menurut pandangan teori Behavioristik bahwa bahasa akan dapat diperoleh dan dikuasai karena faktor kebiasaan. Seorang anak kecil akan dapat menguasai bahasa bila semakin sering dia mendapat stimulus dari luar yang membuat dia tertarik untuk mencoba berkomunikasi dengan dengan memberikan respon melalui gayanya sendiri. Stimulus yang diberikan pada bayi dibawah 3 bulan misalnya, pada awalnya dapat hanya berupa gesture saja. Hal ini dikarenakan proses pemerolehan bahasa bayi pada periode ini memang baru pada tahap pengenalan saja. Demikian seterusnya untuk perode-periode pemerolehan bahasa berikutnya.
Dalam hal pemerolehan bahasa kedua, teori behaviorisme yang menganggap bahwa faktor pemerolehan bahasa adalah faktor kebiasaan melalui proses stimulus-response melahirkan beberapa metode pemerolehan bahasa dalam usahanya untuk memperoleh dan menguasai bahasa kedua. Diantara metode tersebut adalah lahirnya metode audiolingual di Amerika pada tahun 1950-an sebagai akibat langsung dari keberhasilan teori American Army Method yang menganut teori struktural. Metode yang dilahirkan dengan mengambil penafsiran dari lahirnya teori stimulus-response milik B. F. Skinner ini adalah akibat dari pandangan kaum behavioris akibat adanya penemuan alat- alat Bantu belajar bahasa.6 Dalam perkembangan sejarah pembelajaran bahasa, periode ini ditandai juga dengan mulai dipelajarinya hubungan antara psikologi dengan bahasa yang ditandai dengan lahirnya sebuah buku karangan Osgood dan Sebeok pada tahun 1954 yang berjudul Psycholinguistic : A Survey of Theory and Research Problems.
Pandangan behaviorisme bahwa untuk menguasai bahasa kedua seseorang harus banyak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui latihan-latihan berbahasa secara langsung dengan komunitas pemakainya. Di Selandia Baru seorang pelajar asing sekarang ini tidak lagi dipersyaratkan untuk memiliki nilai ujian TOEFL, tetapi para pelajar itu tidak diasramakan untuk menghindari mereka berkumpul dengan teman dari satu negara atau pemakai bahasa yang sama dengan dirinya. Mereka dibaurkan dengan masyarakat setempat yang memaksa para pelajar itu mau tidak mau harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris yang dipakai Selandia Baru sebagai bahasa sehari-hari. Karena kebiasaan yang terus-menerus baik di kampus, rumah, pasar, taman hiburan, stasiun, terminal dan tempat-tempat lainnya pada akhirnya para pelajar tersebut dapat dengan sempurna menguasai bahasa Inggris. Hal ini juga menandakan bahwa selain karena faktor kebiasaan, faktor lingkungan sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan seseorang memperoleh dan menguasai bahasa kedua.7 Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah termasuk juga misalnya suasana restoran, cafe, bahasa koran, televisi dan tempat-tempat lainnya. Selain itu Krashen juga membagi jenis lingkungan menjadi 2 bagian, yaitu lingkungan formal seperti di kelas atau tempat yang memang disediakan proses belajar mengajar dan lingkungan informal atau natural alamiah.
KESIMPULAN
Terlepas dari segala bentuk kelebihan dan kekurangan yang dimiliki masing-masing teori diatas, ini merupakan usaha keras para ahli, baik ahli bahasa sendiri maupun ahli psikologi untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan berbahasa (language teaching and learning) yang begitu kompleks, yang mana tujuan akhirnya adalah bagaimana mereka menemukan metode pengajaran bahasa yang lebih baik sesuai tuntutan zaman. Tentu saja, setiap teori yang ada memiliki metode dan tempat tersendiri didalam pengajaran bahasa sesuai dengan karakteristiknya masing-masing serta fenomena yang ditemukannya. Namun, dalam pembahasan diatas hanya mengidentifikasi teori–teori seputar pemerolehan bahasa, tidak membahas metode pengajaran bahasa.
Teori Behaviorisme lebih banyak menekankan pada “Say what I say” (imitation, practice, reinforcement, and habit formation). Teori Innetisme mengatakan “It’s all in your mind” (Language Acquisition Device). Sedangkan teori Interaksionis lebih pada aspek sosial “there is a little help from your friends” (conversational interaction). Kemudian teori Kognitif berusaha menggabungkan kedua teori sebelumnya yaitu teori Behaviorisme dan Innetisme, namun penekanannya dititikberatkan pada aspek kognitif (the power of logical thinking) sesuai dengan pernyataan Jean Piaget yang berunyi “logical thinking underlies both linguistic and nonlinguistic developments”. Yang terakhir adalah hipotesis pemerolehan bahasa kedua dari Krasen yang bila kita perhatikan waktu kemunculannya adalah setelah teori-teori yang disebutkan diatas yaitu sekitar tahun 1970-an hingga saat sekarang ini masih sangat mendominasi dunia pengajaran bahasa. Krasen menekankan pengajaran, antara lain: fokus pada makna daripada bentuk, ciptakan suasana kelas yang lebih komunikatif dan bermakna, pusatkan pembelajaran pada siswa sehingga meraka merasa bebas mengungkapkan apa yang telah diperoleh tanpa dikoreksi lebih dahulu, dan ciptakan suasana kelas yang membangkitkan motivasi pembelajar untuk memaksimalkan proses pemerolehan bahasa kedua atau bahasa target. Serta hindari segala bentuk hukuman atas kegagalan pembelajar karena itu akan mematikan kreatifitas mereka (performance).
BIBLIOGRAFI
Bambang, Yudi Cahyono. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
Baradja, M.F. 1986. Pemerolehan Bahasa Pertama. Buku Pegangan
Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. New Yersy: Prentice-Hall, Inc.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta
Clark, Herbert H.&Clark, Eve V. 1977. Psychology and Language: An Introduction to Psycholinguistics. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
Ellis, Rod. 1990. Instructed Second Language Acquisition. Cambridge: Basil Blackwell, Inc
Ghazali, Syukur. 2000. Pemerolehan dan Pengajaran Bahasa Kedua. Jakarta: Dikti Depdiknas.
Lightbown, Patsy M&Spada, Nina. 1999. How Language are Learned. Oxford: University Press.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Owens, Robert E JR. 1992. Language Development. New York: Macmillan Publishing Company.
Paivio dan Berg .1981. Psychology of Language. New Jersey: Prentice Hall. Inc.
Samsuri, 1973. Memilih Kerangka Acuan Tatabahasa Indonesia. Malang: BIRO I IKIP Malang.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Penerbit Angkasa.
Victoria, Fromkin dan Robert, Rodman. 1993. An Introduction to Language. Florida: Harcourt Brace Jovanovich Collage.