Oleh : Dayudin
Terdapat beberapa nama yang biasa digunakan oleh para ahli bahasa untuk menamai ilmu yang berurusan dengan bahasa. Banyaknya nama itu disebabkan oleh banyaknya ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Menurut Sudaryanto (1996) minimalnya ada lima macam ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, yaitu:
Dari kelima macam ilmu yang disebutkan di atas, nampaknya hanya nomor (1) yang dapat dikatakan sebagai ilmu yang benar-benar menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, yaitu ilmu tentang bahasa atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa. Ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya ini –di Indonesia dan juga di dunia Arab- dikenal dengan berbagai nama.
Diantara nama-nama yang biasa digunakan adalah, ilmu bahasa, tata bahasa, grammar, dan linguistik, dll (lihat Chaer, 1994). Sedangkan di dunia Arab digunakan istilah ilmu al-lughah (علم اللغة) , al-Lisaniyat(اللسانيات) , al-Lughawiyat(اللسانيات) , al-Alsuniyah (الألسنية) , fiqh al-lughah(فقه اللغة) , al-Filulujia(الفلولوجيا) , dll untuk menyebut ilmu yang membahas bahasa ini (lihat Qodur, 1993 dan 1996; Abdu Tawab, 1996; Abu Alfaraj, 1966; Imil Badi, 1982; Tamam Hasan, 1982; Fahmi Hijazy, 1973; Abdu Shabur Sahin, tt; dll). Di bawah ini akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah itu.
Ilmu dapat diartikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu; atau segala perbuatan manusia untuk memahami sesuatu objek yang dihadapinya; atau hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Dalam kamus Oxford (1974: 760) disebutkan bahwa Science; knowledge arranged in an ordely manner, especially knowledge obtaind by observation and testing of facts. Sedangkan bahasa -salah satunya- biasa dipahami sebagai sistem dari pada lambang yang dipakai orang untuk melahirkan pikiran dan perasaan (Poerwadarminta, 1985: 75). Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu bahasa adalah ilmu pengetahuan yang digunakan oleh manusia untuk memahami sistem dari pada lambang yang dipakai orang untuk berkomunikasi. Secara singkat, bisa dikatakan, bahwa ilmu bahasa adalah ilmu yang membicarakan tentang bahasa; atau ilmu yang digunakan untuk mengkaji bahasa; atau ilmu yang objek kajiannya adalah bahasa; atau ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa (Sudaryanto, 1996: 5).
Menurut Chaer (1994: 2) ilmu bahasa ini di Indonesia -saat ini- dikenal juga dengan nama linguistik. Istilah linguistik sepadan dengan istilah linguistics (Inggris), linguistiek (Belanda), linguistica (Italia), Linfvistika (Rusia), dan linguistique (Prancis). Kata linguistik berasal dari bahasa Latin lingua yang berarti ‘bahasa’. Kata Arab yang mirip dengan kata lingua adalah kata lughah (لغة) ‘bahasa’.
Istilah ilmu bahasa sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Sedangkan istilah linguistik dikenal kemudian. Namun walaupun istilah ilmu bahasa sudah lama dikenal, masih saja terdapat perbedaan pemahaman dan penggunaannya yang disebabkan oleh banyaknya ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Bagi sebagian orang, ilmu bahasa masih identik dengan gramatika atau tata bahasa yang biasanya berbicara sekitar masalah morfologi dan sintaksis. Sedangkan bagi sebagian yang lain, terutama yang pernah mempelajari ilmu bahasa modern, pengertian ilmu bahasa identik dengan linguistik.
Dalam bahasa Inggris, istilah linguistik, selain berarti ilmu yang mengkaji bahasa (linguistics), juga berati ‘bahasa’ (linguistic). Kedua arti ini digunakan juga dalam bahasa Indonesia. Pada frase ‘linguistik pengantar’ kata linguistik berarti ilmu bahasa. Sedangkan dalam frase ‘masyarakat linguistik’ kata linguistik berarti ‘bahasa’.
Akhir-akhir ini, penggunaan istilah linguistik sudah lebih populer, hanya saja, kepopuleran itu tidak mampu mengeluarkan linguistik dari kesamaran/kekaburan pengertian. Menurut Sudaryanto ada empat hal yang mengaburkan pengertian linguistik:
Sebagai telah dipaparkan di atas, istilah linguistik secara etimologis diambil dari kata Latin lingua ‘bahasa’. Menurut sebagian pakar bahasa, istilah linguitik terdiri atas dua morfem: lingua dan etik. Lingua berarti ‘bahasa’ dan etik berarti ‘melihat’. Dengan pendekatan etik, pola-pola fisik bahasa digambarkan tanpa menghubungkannya dengan fungsinya dalam sistem bahasa (Kridalaksana, 1993; 52). Sedangkan menurut Sudaryanto (1996: 10), akhiran -ik, -ics, dan -ique sepadan dengan -logi yang berarti ‘ilmu’. Dengan akhiran –ik yang berari ‘ilmu’, kata linguistik bisa diartikan ilmu bahasa.
Secara terminologis, linguistik didefinisikan dengan berbagai redaksi. Berikut beberapa pendapat pakar bahasa mengenai definisi linguistik:
Istilah linguistik dikenal juga oleh orang Arab, namun mereka tidak menggunakan istilah ini sebagai nama ilmu yang mengkaji bahasa mereka. Alih-alih penggunaan istilah linguistik, linguis Arab menggunakan istilah ‘ilmu al-lughah, fiqh al-lughah, lisaniyat, alsuniyah, atau lughawiyat. Banyaknya istilah yang mereka gunakan telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tentang istilah mana yang tepat untuk menamai ilmu yang di Barat dan juga di Indonesia disebut dengan linguistik ini. Berikut beberapa pendapat linguis Arab mengenai istilah-istilah di atas.
a. ‘Ilm al-Lughah, al-Lisaniyat, al-Alsuniyah, al-Lughawiyat, dan Fiqh al-Lughah.
Frase ‘ilmu al-lughah (علم اللغة), terdiri dari dua kata; ‘ilm (علم) dan lughah (اللغة). Secara etimologis, ‘ilm (علم) berarti ‘ilmu’, dan lughah (لغة) berarti ‘bahasa’. Jadi secara etimologis ‘ ilmu al-lughah (علم اللغة) = ilmu bahasa = linguistik = linguistics = linguistique = linguistiek.
Istilah lisaniyat (اللسانيات)dan alsuniyah (الألسنية)masing-masing diderivasi dari nomina lisan (لسان) ‘lidah’ atau ‘bahasa’. Sedangkan istilah ‘lughawiyat(اللغويات) , diderivasi dari nomina lughah (لغة) ‘bahasa’. Morfem (sufiks) –yat (يات) yang melekat pada akhir kata-kata itu bermakna ‘mengenai/tentang’ dan menunjukkan makna ‘ilmu’ (keilmuan) sebagai akibat dari penisbatan. Ketiga istilah terakhir (lisaniyat, alsuniyah, dan lughawiyat) merupakan istilah lain yang maknanya dan pemakaiannya sepadan dengan istilah ilm al-lughah.
Secara terminologis, term ilmu al-lugah, oleh linguis Arab didefinisikan sebagai berikut.
1…. هو العلم الذي يبحث في اللغة, و يتخذها موضوعا له, فيدرسها من ناحية وصفية وتاريخية و مقارنة
)hua al-ilmu al-ladzi yabhatsu fi al-lughah. wa yattakhidzuha maudu’an lahu fayadrusuha min naahiyat wasfiyyah wa tarikhiyah wa muqaranah….(Tawab 1982: 7)
Ilmu al-lughah adalah ilmu yang mengkaji bahasa untuk bahasa, baik secara sinkronis, diakronis, maupun komparatif”.
2. ,,,,
العلم الذي يدرس اللغة الإنسانية دراسة علمية تقوم على الوصف و معاينة الوقائع, بعيدا عن النزعة التعليمية و الأحكام المعيارية.
(Al-‘ilmu al-ladzi yadrusu al-lughah al-insaniyyah dirasatan ilmiyyatan taqumu ‘ala al-washfi wa mu’aayanati al-waqa’i, ba’iidan ‘an al-naz’ah al-ta’limiyyah wa al-ahkam al-mi’yaariyyah)” (Qadur (1996: 11)
” …… adalah ilmu yang mengkaji bahasa secara ilmiyah dan berdasar pada metode deskriptif guna mengungkap fakta kebahasaan secara apa adanya tanpa melibatkan unsur preskriptif.”
Polemik panjang telah terjadi sekitar istilah fiqh al-lughah dan ilm al-lughah. Apakah ilmu al-lughah identik dengan fiqh al-lughah atau tidak? Ada yang menyamakan ada pula yang membedakan antara keduanya. Hingga saat ini perdebatan mengenai kedua istilah itu masih berlanjut. Polemik ini muncul karena di Barat selain istilah linguistics, terdapat juga istilah philology yang diserap oleh sebagian ahli ke dalam bahasa Arab menjadi al-filulujiya. Lalu apakah ilmu al-lughah sama dengan linguistik, dan fiqh al-lughah sama dengan al-filulujia?
Polemik ini terjadi karena ketika term linguistik -yang secara harfiyah dapat diterjemahkan menjadi ilm al-lughah- dikenal oleh para linguis Arab, mereka sudah terlebih dahulu mengenal term fiqh lughah. Fiqh lughah sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, telah muncul di dunia Arab sejak abad ke-4 H. atau sekitar abad ke 10 M. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai identik atau tidaknya antara ilmu lughah dengan fiqh lughah.
Kamal Basyar membedakan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah. Sedangkan Subhi Shalih menyamakan kedua istilah itu. Sementara Abduh al-Rajihi, yang juga termasuk linguis Arab modern, membedakan antara kedua istilah itu. Al-Rajihi menukil apa yang dikatakan Juwaidi (Guidi), bahwa kata filologi sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dengan demikian secara dikotomis ada dua kubu mengenai masalah ini. Kubu pertama mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah, sedangkan kubu kedua membedakan kedua istilah itu. Alasan kelompok pertama sebagaimana dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 28-36) adalah sebagai berikut.
الفقه = العلم بالشيء و الفهم له. الفقه في الأصل الفهم له. الفقه = الفهم و الفتنة و العلم.
Al-fiqh = al-‘ilmu bi al-syai wa al-fahmu lah; Al-fiqhu fi al-ashli al-fahmu lahu; Al-fiqhu = al-fahmu wa al-fithnatu wa al-‘ilmu.
Singkatnya kata al-fiqh (الفقه) = al-’ilm (العلم) dan kata faquha (فقه) = ‘alima (علم). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah.
Secara terminologis, ilmu al-lughah (علم اللغة) adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau telaah ilmiah mengenai bahasa seperti yang telah dikemukaan di atas. Sedangkan filologi “hubbub al-kalam li ta’miq fi dirasatihi min haistu qawaidihi wa usulihi wa tarikhihi. (Subhi Shalih) “manhajun li al-bahsti istiqraiyun washfiyun yu’rafu bihi ashlu al-lughah allati yurodu darsuha wa mauthinuha al-awal wa fashilatuha wa ‘alaqotuha bi al-luughat al-mujawirah au al-baidah, al-saqiqah au al-ajnabiyyah, wa khasaisuha wa uyubuha wa lahjatuha wa ashwatiha wa tathawwuru dilalatiha wa madaa namaaiha qiraatan wa kitaabatan.
Kesamaan objek kajian kedua istilah di atas terbukti dengan adanya beberapa buku yang menggunakan judul fiqh lughah yang isinya membahas masalah bahasa. Di antara buku dimaksud adalah ‘Asshaiby fi fiqh al-lughah wa sunani al-Arab fi kalamiha karya Ahmad Ibnu Faris (395 H), ‘fiqh al-lughah wa sirru al-Arabiyyah karya Assa’alaby (340 H), fiqh al-lughah karya Ali Abdul Wahid Wafi (1945), buku ‘Dirasaat fi Fiqh al-Lughah’ karya Muhammad Almubarak (1960) dll.
3. Alasan lain bagi mereka yang mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah adalah:
3.1 Ibnu Faris, Tsa’alabi, dan Ibnu Jinni walaupun nampaknya mereka mempelajari bahasa sebagai alat, tetapi pada akhirnya studi mereka diarahkan untuk mengkaji bahasa Alqur’an.
3.2 Dalam fiqh al-Lughah, orang Arab tidak membahas masalah asal-usul bahasa. Lain halnya dengan para filolog Barat dalam filologinya.
3.3 Filologi lebih cenderung bersifat komparatif, sedangkan orang Arab dengan fiqh al-lughahnya, tidak pernah melakukan pembandingan bahasa.
3.4 Filologi lebih cenderung membahas bahasa yang sudah mati, sedangkan fiqh al-lughah tidak pernah membahas bahasa demikian.
3.5 Para filolog mengkaji dialek-dialek Indo-Eropa, sedangkan orang Arab mengkaji bahasa Alqur’an.
Dari beberapa alasan di atas, jelaslah bahwa fiqh al-lughah sama dengan ilmu al-lughah, dan tidak sama dengan filologi yang dipelajari di Barat. Dan bila para linguis mengumandangkan bahwa karakter linguistik adalah (1) menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, (2) menggunakan metode deskriptif, (3) menganalisis bahasa dari empat tataran, dan (4) bersifat ilmiah, maka semua kriteria itu terdapat pada studi bahasa Arab yang dilabeli fiqh al-lughah itu. Oleh sebab itu, bagi penganut pendapat di atas, fiqh lughah sama dengan ilmu lughah.
Adapun alasan kelompok yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 33-36) adalah sebagai berikut.
Atas dasar pertimbangan itu, dalam beberapa kamus bahasa Arab, kedua istilah itu penggunaanya dibedakan. Penulis melihat, bahwa kelompok yang membedakan kedua term di atas, dipengaruhi oleh anggapan bahwa fiqh lughah sam dengan filologi.
Ada linguis yang mengatakan bahwa ilmu al-lughah mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab). Term terakhir ini digunakan sebagai judul buku oleh Mahmud Fahmi Hijazy.
Ramdlan Abdut Tawab dalam Fushul fi Fiqh al-Arabiyyah (1994) mengatakan “Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis.”
Akhirnya saya perlu mengemukakan istilah filologi. Istilah ini, berasal dari kata philologie (Prancis) atau philology (Inggris). Secara etimologis kata ini terdiri atas dua morfem: philo ‘pencinta’, dan loghos ‘ilmu’ atau ‘ucapan’. Dengan demikian secara etimologis filologi berarti pencinta ilmu atau pencinta ucapan.
Secara terminologis, menurut Verhaar (1988: 5): “Filologi adalah ilmu yang menyelidiki masa kuno dari suatu bahasa berdasarkan dokumen-dokumen tertulis.” Pernyataan Verhaar ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tamam Hasan. Menurut Hasan, filologi adalah ilmu yang mengkaji serta mengkritisi teks-teks klasik dari berbagai aspeknya. Menurutnya, ciri khas filologi adalah berorentasi pada bahasa kuno.
Pada perkembangan berikutnya, selain berorientasi pada bahasa kuno, filologi juga bersifat komparatif. Hal ini terjadi ketika para filolog Eropa menemukan adanya beberapa persamaan antara bahasa Eropa dengan bahasa Sansekerta. Sampai pase ini, filologi mendapat label baru yaitu komparatif.
Pada akhir masa renaisan, para filolog mulai menjamah bahasa Arab, mereka mengadakan perbandingan antara bahasa Arab dngan bahasa Ibrani. Lambat laun, filologi tidak lagi mengkaji bahasa=bahasa kuno, melainkan mengakaji bahasa yang masih hidup.
Bahan Bacaan