Dalam konteks ilmiah upaya untuk hidup lebih lama, kalau mungkin selamanya, antara lain diwujudkan dalam penelitian mengenai kloning, baik kloning reproduksi maupun kloning terapeutik.
Tahun 2002, enam tahun setelah keberhasilan kloning pada domba Dolly, setelah begitu banyak waktu, dana, dan upaya dicurahkan untuk penelitian, kemungkinan penerapan kloning pada manusia memperlihatkan titik terang.
Kloning reproduksi pada dasarnya membuat salinan alias fotokopi manusia dengan cara mengambil informasi genetik seseorang lewat inti sel bagian tubuhnya-misalnya dari sel kulit-kemudian disisipkan ke sel telur yang telah dibuang intinya. Sel telur yang diganti inti selnya itu lantas diberi perlakuan agar menjadi aktif, membelah, tumbuh dan berkembang menjadi embrio. Embrio ditanam ke rahim perempuan untuk berkembang menjadi janin. Setelah cukup bulan akan lahir bayi manusia yang informasi genetiknya identik dengan manusia pendonor inti sel.
Sejumlah pusat penelitian diam-diam melakukan penelitian kloning manusia. Diam-diam, karena hal ini masih merupakan kontroversi dan mendapat tentangan baik dari kelompok agama maupun pemerintah, bahkan di negara-negara maju.
Saat ini baru dua peneliti yang mengumumkan keberhasilannya. Pertama, ahli fertilitas dari Italia, Severino Antinori, yang awal Desember lalu mengumumkan bayi hasil kloningnya akan lahir Januari 2003. Kedua, Brigitte Boisselier, "yang menyalip di tikungan" dengan mengumumkan kelahiran anak hasil kloning perusahaan yang dipimpinnya, Clonaid, tanggal 27 Desember lalu, meski belum mampu menunjukkan buktinya.
Yang pasti, sejauh ini ilmuwan baru berhasil mengkloning hewan. Pasalnya, teknik kloning yang, meski di atas kertas tampak sederhana, dalam praktik sulit luar biasa.
Menurut ahli kloning dari Universitas Missouri, Dr Randal Prather-sebagaimana dikutip New York Times-kemungkinan keberhasilan kloning hanya berkisar satu sampai lima persen. Kegagalan bisa terjadi di pelbagai tahap, sejak embrio, janin (keguguran), sampai setelah kelahiran. Banyak hewan hasil kloning meninggal sesaat setelah dilahirkan dengan pelbagai cacat bawaan.
Para ahli menduga kecacatan itu akibat upaya sel telur memprogram kembali materi genetik sel dewasa berjalan terlalu cepat, sehingga terjadi kekacauan. Ada sel yang lambat berkembang, ada yang terlalu cepat, bahkan ada yang tidak berkembang sama sekali.
Hewan mamalia yang berhasil dikloning dan tumbuh dewasa misalnya domba, mengalami masalah fisik seperti kegemukan, arthritis (reumatik), serta menunjukkan tanda-tanda penuaan dini. Sebagian ahli berpendapat, hal ini akibat sel hasil kloning membawa paket yang sama dengan sel pendonornya, baik dalam hal materi genetik maupun usia sel.
Penjelasannya, di ujung kromosom (bagian sel, tempat gen tersimpan) terdapat telomer yang berfungsi melindungi kromosom sekaligus program kehidupan sel. Setiap kali sel membelah, kromosom ikut membelah. Telomer makin pendek setiap kali kromosom membelah. Jika telomer habis, kromosom menjadi rusak sehingga sel mati.
Bagaimana nasib kloning manusia belum bisa dilihat, karena baru saja lahir maupun akan dilahirkan.
PROSES pembuatan kloning terapeutik mirip dengan kloning reproduksi. Bedanya, pertumbuhan dihentikan pada tahap embrio, karena itu yang dimanfaatkan adalah sel induk. Menurut situs Lembaga Kesehatan Nasional AS, sel induk adalah sel yang memiliki kemampuan untuk membelah dalam jangka waktu tak terbatas dan membentuk 220 jenis sel penyusun tubuh manusia.
Perkembangan sel induk bisa diarahkan menjadi suku cadang sel apa saja yang dibutuhkan, misalnya sel ginjal, sel otot jantung, sel pankreas, sel saraf, sel kulit, dan sel darah. Sel kemudian dicangkokkan ke organ tubuh terkait untuk mengganti jaringan yang rusak. Teknik ini diharapkan dapat mengobati pelbagai penyakit degeneratif, seperti diabetes, parkinson, alzheimer, stroke, kanker, dan gangguan jantung.
Penggunaan inti sel manusia pada kloning terapeutik dimaksudkan untuk mencegah respon imun alias penolakan tubuh penerima. Dengan memiliki sel induk sesuai dengan informasi genetik tubuhnya, seseorang memiliki sumber suku cadang tak terbatas dari sel tubuhnya. Jika ada organ terganggu, tinggal ditransplantasi.
Meski kemampuan sel induk pada hewan sudah diteliti lebih dari sepuluh tahun lalu, penelitian sel induk pada manusia baru marak setelah November 1998 sebuah tim peneliti dari Universitas Wisconsin, Madison, dan Johns Hopkins, mengumumkan keberhasilan mengultur sel induk dari embrio manusia. Sejak itu sejumlah perusahaan swasta berlomba mendanai maupun melakukan penelitian sel induk yang dianggap sebagai harapan pengobatan masa depan.
Di pelbagai pusat penelitian yang tersebar di AS, Inggris, Perancis, dan Israel, para ahli berupaya keras mencari cara untuk mengarahkan pertumbuhan sel induk menjadi pelbagai jenis sel tubuh manusia. Juli 2002, misalnya, sebagaimana dikabarkan CNN.com, tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Wisconsin mengumumkan keberhasilannya mengarahkan sel induk yang berasal dari embrio manusia menjadi sel darah. Hal ini merupakan publikasi pertama keberhasilan mengubah sel induk menjadi jaringan tubuh manusia.
Tim Wisconsin mencampurkan sel induk ke sumsum tulang dan sel lain bersama faktor pertumbuhan (growth factors) untuk merangsang perubahan sel induk menjadi sel darah.
Dengan keberhasilan para ilmuwan untuk mengkloning manusia maupun membuat suku cadang sel tubuh manusia, agaknya harapan manusia untuk hidup lebih lama, bahkan hidup abadi, bisa terkabul. Namun, jangan buru-buru gembira. Seperti yang dikatakan ahli hematologi Dan Kaufman yang menjadi ketua tim peneliti, penelitian berskala laboratorium itu masih merupakan babak awal.