Perusahaan bioteknologi Advanced Cell Technology (ACT) dari Massachusetts mengklaim berhasil mengkloning embrio manusia yang pertama. Dalam publikasinya, mereka juga mengatakan tujuan kloning therapeutic semakin dekat. Kloning ini disebut dapat memproduksi sel batang yang diperlukan untuk mengobati diabetes, kelumpuhan, dan kondisi yang tidak bisa disembuhkan lainnya. Dalam eksperimen, peneliti ACT menyuntikkan sel cumullus ke dalam telur yang sudah dibuang nukleinya.
Para penyelidik mengharap DNA dari sel cumullus bisa mendorong proses perkembangan embrionik tahap awal yang kemudian membentuk blastocyst yang akan berisi sel batang. Dari delapan telur yang disuntik dengan sel cumullus, dua membelah menjadi empat sel embrio, dan satu tumbuh hingga mencapai enam sel. Sebelas telur lain yang disuntik dengan nucleus sel kulit gagal berkembang.
Menurut sejumlah ahli biologi, embrio yang dikloning bisa mencapai status embrio hanya jika DNA dari sel cumullus yang dipindah ke dalam telur memulai transkripsi (saat itu gen mulai menyuruh pembuatan protein untuk pengembangan embrio). Sebuah telur berisi materi genetik (RNA) dan protein yang muncul selama pembentukan telur dalam ovarium serta dapat mendukung pengembangan hingga tahap delapan sel tanpa adanya sinyal DNA di nukleus.
Teknologi ESC (Embryonic Stem Cells) dan teknologi kloning dengan menggunakan transfer inti menjadi suatu teknologi yang sangat potensial prospektif untuk aplikasi di bidang kedokteran dan peternakan. Penemuan teknologi ini membuat parapeneliti mendapatkan inspirasi untuk mengembangkan penelitian-penelitiandi bidang ESC dan teknologi transfer inti serta teknologi rekayasa genetikauntuk dapat menyelesaikan masalah kedokteran yang selama ini manusia seperti pasrah, tanpa bisa mengobatinya, misalnya beberapa penyakit digeneratif permanen seperti diabetes mellitus, alzheimer, parkinson, dan penyakit-penyakit kelainan genetis, bahkan penyakit AIDS. Pada hakekatnya penyakit-penyakit tersebut sudah dianggap penyakit yang sudah tidak mungkin disembuhkan karena adanya kerusakan permanen dari sel-sel tubuh manusia. Beberapa peneliti berspekulasi apabila membutuhkan transplantasi sumsum tulang belakang untuk menyembuhkan
penyakit kankernya, maka kemungkinan dia untuk mendapatkan donor yang bersedia dan mempunyai kondisi genetis yang sesuai akan sulit. Kesulitan ini dapat diatasi dengan menggunakan kombinasi teknologi transfer inti dan rekayasa genetik, dengan memanfaatkan sel telur yang telah dienukleasi dan digantikan materi genetik yang sesuai, maka hanya dalam beberapa hari dia akan mendapat stem sel yang sesuai untuk ditransplasikan kepada pasien tersebut.
Beberapa penyakit kebutaan seperti luka mata, gangguan kornea maupun katarak, selama ini masih bisa diatasi di dunia kedokteran, katarak dapat dibuang, kornea dapat ditransplantasikan, glaukoma dapat disembuhkan. Tetapi bila terjadi kerusakan ataupun kematian pada sel-sel fotoreseptor akibat age-related macular degeneration, retinitis pigmentosa dan diabetes sangat sulit sekali disembuhkan, dan pasien-pasien ini akan mengalami kebutaan total seumur hidupnya. Penggunaan stem sel baik embryonic maupun adult stem cell sangat bermanfaat seperti penelitian yang dilakukan oleh Young (2002). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketika stem sel diinjeksikan ke retina tikus yang buta karena faktor-faktor genetis, ada sesuatu yang menakjubkan, sel-sel tersebut bergerak menuju retina yang rusak dan berubah menjadi sel-sel retina normal (normal-looking retina) dengan serabut-serabut saraf penglihatan normal (normal-looking nerve fibers) dan mengembang menuju lokasi penglihatan normal, seperti saraf-saraf optic memberitahu otak (susunan saraf pusat) apa yang sedang terjadi di depan mata tikus tersebut. Young (2002) juga menambahkan bahwa stem sel mempunyai potensi untuk melakukan rewriting developmental rules, sehingga dalam kasus ini stem sel berpotensi untuk memperbaiki retina yang rusak. Meskipun dari penelitian ini masih belum bisa menunjukkan bahwa tikus tersebut dapat melihat, tetapi dari penelitian ini sudah menunjukkan satu langkah ke depan yang sangat berarti dalam aplikasi penelitian ESC.
Dengan menghindari keberatan moral dan hukum yang menghadang dalam proses ini dapat dilakukan seiiring dengan kemajuan teknologi. Perlahan namun pasti akan memungkinkan untuk memodifikasi genome pada sel pasien (melalui pengubahan gen yang jadi sasaran atau pengubahan kromosom). Sebelum prosedur pemindahan inti sel, sehingga setelah “reprogramisasi” tersebut, maka klon hanya akan berkembang dalam kelompok jaringan dan sel secara khusus, ketimbang menjadi organisme secara penuh. Misalnya, memungkinkan untuk mengarahkan kemampuan perkembangan ke dalam satu atau dua lapisan embrio saja. Penggunaan faktor penumbuh dan sistem penunjang secara khusus lebih lanjut dapat menjamin bahwa sel tersebut membelah diri ke dalam tipe jaringan yang khusus; misalnya ke dalam bentuk kardiomiosit yang dapat dipakai untuk memperbaiki jantung, chondrosit untuk osteoarthristis dan rematik, pulau-pulau pankreas untuk pasien diabetes, hematopoetic untuk penderita leukemia atau kanker payudara, ataupun neuron dopaminergi untuk merawat pasien parkison.
Diferensiasi Sel Asal.
Sel-sel ES yang tertransplantasi ini secara spontan akan membelah diri kedalam jenis-jenis sel ektodermal, endodermal dan mesodermal kadang juga berubah kedalam masa neuron yang tidak beraturan atau berubah dalam bentuk teratomas yang membentuk mata, rambut atau bahkan gigi. Kemajuannyapun terlihat perlahan, namun keberhasilan juga telah dicapai dalam mengarahkan perkembangan sel asal ke sel-sel khusus. Misalnya, protein morfogenik tulang 4 dapat menginduksi sel ES dan teratocarsinoma untuk menghasilkan sel-sel mesenchymal. Mengarahkan sel kebawah jalur endodermal dianggap jauh lebih sulit, meskipun Douglas Melton telah mencapai keberhasilan di sini, dia memaksa sel endodermal yang berasal dari ES untuk dijadikan sebagai sel penunjang pankreas (hanya beberapa langkah dari sel β yang diperlukan untuk merawat diabetes) dengan memaparkannya ke jaringan pankreas.