Menghidupkan Sunnah Nabi saw. dengan ‘Aqiqah
“Barang siapa yang menghidupkan sunnahku disaat terjadi kerusakan pada ummatku maka baginya pahala seseorang yang mati syahid.” (Rasulullah saw.)
Hadits ini menyadarkan kita akan pentingnya kembali pada kehidupan Islami dan menghidupkan sunnah Nabi saw. terutama di saat ummat mulai cenderung dan terpedaya dengan segala gaya hidup yang tidak berasal dari nilai-nilai Islam. Hal tersebut mengakibatkan ummat Islam tidak lagi memiliki jati diri, dan kecintaannya kepada Nabi saw. sebagai suri teladan larut sedikit demi sedikit, berganti mengikuti gerak dan gaya masyarakat yang jahiliyah, termasuk dalam menyambut kehadiran anak yang sebenarnya merupakan amanah Allah SWT.
Tulisan ini sekedar mengingatkan kita akan sebuah sunnah yang dahulu akrab dengan kehidupan kaum muslimin sebagai ummat yang dirahmati dan diberkahi Allah SWT.
Di dalam Shahihain, terdapat hadits dari Abu Burdah, dari Abu Musa r.a., ia berkata:
Aku telah dikaruniai seorang anak, kemudian aku membawanya kepada Nabi saw. lalu beliau menamakannya Ibrahim, menggosok-gosok langit-langit mulutnya dengan sebuah kurma dan mendo’akannya dengan keberkahan. Setelah itu beliau menyerahkannya kepadaku.
Hikmah dari tahniq ini ialah untuk menguatkan syaraf-syaraf mulut dan gerakan lisan beserta tenggorokan dan dua tulang rahang bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menghisap air susu ibunya dengan kuat dan alami.
Lebih utama kalau tahniq ini dilakukan oleh ulama / orang yang shalih sebagai penghormatan dan pengharapan agar si bayi menjadi orang yang shalih pula.
Secara bahasa ‘aqiqah berarti memutus. Sedangkan secara istilah Syara’ aqiqah berarti menyembelih kambing untuk anak pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya.
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya anak itu diaqiqahi. Maka tumpahkanlah darah baginya dan jauhkanlah penyakit daripadanya (dengan mencukurnya).” (Hadits shahih riwayat Bukhari, dari Salman Bin Amar Adh-Dhabi).
Rasulullah saw. bersabda : “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan (binatang) pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya, diberi nama pada hari itu dan dicukur kepalanya”. (Ashhabus-Sunan).
‘Aqiqah adalah tanda syukur kita kepada Allah SWT atas nikmat anak yang diberikan-Nya. Juga sebagai washilah (sarana) memohon kepada Allah SWT. agar menjaga dan memelihara sang bayi. Dari hadits di atas pula ulama menjelaskan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi para wali bayi yang mampu, bahkan tetap dianjurkan, sekalipun wali bayi dalam kondisi sulit.
Hal di atas berlaku untuk orang yang dikaruniai rizqi yang cukup oleh Allah SWT. Sedangkan orang yang kemampuannya terbatas, diperbolehkan untuk meng’aqiqahi anak laki-laki maupun anak perempuan dengan satu ekor kambing. Hal ini berdasar atas hadits dari Ibnu ‘Abbas r.a.: “Bahwa Rasulullah saw. telah meng’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain dengan satu ekor biri-biri.” (H.R. Abu Dawud), dan juga riwayat dari Imam Malik: “Abdullah bin Umar r.a. telah meng’aqiqahi anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan, satu kambing-satu kambing.”
Demikianlah tulisan ringkas yang dapat kami sampaikan, semoga anak-anak kita yang lahir kemudian di’aqiqahi mendapat rahmat, inayah, serta dilindungi Allah SWT. dari godaan syaitan yang terkutuk dan dimudahkan jalannya dalam menempuh Shiraathal Mustaqim. Aamiin.