seperti itu, dan tidak boleh ditukar tempatnya. Misalnya unsur pertama, yakni guru besar atau dosen harus diletakkan pada nomor urut pertama, masjid harus diletakkan pada nomor urut kedua, ma’had harus diletakkan pada nomor urut ketiga dan seterusnya. Peletakan nomor urut tersebut saya anggap sekaligus untuk menggambarkan tingkat kepentingannya. Misalnya Guru besar diletakkan pada nomor urut pertama, karena guru besar keberadaannya paling penting dibanding yang lainnya. Masjid di nomor urut kedua, maka maknanya adalah masjid juga harus ada. Tidak mungkin menyebut sebagai perguruan tinggi Islam sedangkan di sana tidak ada masjid. Demikian pula keberadaan ma’had diletakkan pada nomor urut ke tiga, menggambarkan betapa pentingnya ma’had. Sebagaimana keberadaan masjid, adalah ma’had. Dalam kontek pendidikan Islam di Indonesia, maka ma’had harus ada. Perguruan tinggi Islam tidak boleh tanpa memiliki ma’had. Sedemikian penting ketiga unsur tersebut, sehingga misalnya unsur yang lain, karena alasan tertentu belum dilengkapi, tidak mengapa. Artinya pendidikan Islam masih tetap bisa berjalan, jika ketiga unsur tersebut sudah tersedia. Statemen ini saya maksudkan untuk menggambarkan betapa urgennya faktor-faktor tersebut dalam sebuah perguruan tinggi Islam. Sebab, karena mungkin tidak terlalu paham tentang perguruan tinggi, tatkala akan membangunnya, yang diurus terlebih dahulu adalah ruang kuliah. Ruang kuliah dipandang sedemikian pentingnya, melebihi faktor lainnya. Atas dasar pengertian itu, maka setelah ruang kuliah selesai dibangun, maka segera mulailah dibuka pendaftaran calon mahasiswa. Perguruan tinggi dimaknai sedemikian sederhana. Mereka mengira bahwa perguruan tinggi hanya sebatas ruang pertemuan sebagai tempat berkumpul anak-anak muda yang disebut mahasiswa, sedangkan pengajarnya bisa dicari kemudian. Saya hingga sampai merumuskan unsur-unsur universitas seperti itu merespon kenyataan bahwa ternyata tidak sedikit orang yng tidak paham tentang makna dan lingkup perguruan tinggi. Pemaknaan yang kurang tepat tersebut berdampak luas terhadap pengembangan perguruan tinggi. Misalnya, ketika saya memulai membangun bangunan ma’had, maka berbagai pertanyaan muncul, setidaknya misalnya menanyakan di mana posisi fasilitas itu dalam struktur perguruan tinggi. Apakah ma’had berada di luar struktur universitas, ataukah masuk di dalamnya. Oleh karena tidak ada kejelasan di mana ma’had itu harus ditempatkan maka juga timbul pertanyaan tentang status para mahasiswa bertempat tinggal di sana, apakah sebatas sukarela, anjuran atau kewajiban. Persoalan-persoalan seperti ini sesungguhnya sederhana saja, tetapi ternyata memerlukan jawaban yang bisa diterima oleh semua pihak, hingga kemudian dipedomani. Selain itu, perumusan arkamul jami’ah juga penting untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang unsur-unsur fasilitas penting yang harus ada, tatkala lembaga itu disebut universitas. Dengan berhasil menyebutkan unsur-unsur arkanul jami’ah itu, saya kemudian dapat mengatakan bahwa fasilitas yang harus ada hingga disebut universitas jika ke sembilan hal itu ada. Tidak sebatas itu, saya juga mengatakan bahwa siapapun yang bermaksud merawat dan mengembangkan universitas Islam, maka unsur-unsur yang dibangun seharusnya setidak-tidaknya juga meliputi ke sembilan hal itu. Kesembilan unsur itu semua harus dianggap penting dan karena itu harus dirawat. Merawat gedung dilakukan dengan cara mengecatnya atau membenahi di sana-sini, atau menambal yang bocor misalnya. Atas pertimbangan bahwa dosen adalah unsur penting perguruan tinggi, melebihi unsur sarana fisik, maka jika fasilitas gedung saja dirawat, maka dosen pun harus ditumbuh-kembangkan dan juga difasilitasi. Jika gedung misalnya harus dicat agar tampak selalu indah, maka dosen pun demikian, misalnya harus diurus kenaikan pangkatnya, didorong dan didanai tatkala studi lanjut, dibantu memenuhi fasilitas hidupnya dan lain-lain. Pemikiran tersebut tampak sangat sederhana, tetapi ternyata dalam kontek pengembangan perguruan tinggi, di negeri yang sedang berkembang di mana dana selalu terbatas, maka logika-logika sederhana yang bisa diterima oleh semua pihak, harus dirumuskan secara jelas. Jika itu tidak dilakukan maka kebijakan yang diambil akan selalu berhadapan dengan resistensi-resistensi dari berbagai pihak. Memang ternyata setiap komunitas dalam sebuah organisasi memerlukan pedoman atau tuntunan untuk merasionalkan berbagai hal, agar apa saja yang menjadi keputusan dianggap logis dan wajar. Penyusunan arkan al jami’ah Universitas Islam Negeri Malang dimaksudkan agar tumbuh kesadaran oleh semua pihak, bahwa siapapun yang mengaku mengembangkan kampus, maka seharusnya adalah mengembangkan ke sembilan unsur al arkan al jami’ah itu. Lebih jelasnya lagi, pemimpin universitas seharusnya mampu menumbuh-kembangkan diri hingga berhasil mencintai seluruh unsur-unsur itu. Salah satu kunci keberhasilan pimpinan organisasi, tidak terkecuali organisasi perguruan tinggi, harus mencintai seluruh unsur yang dipimpinnya. Dalam kontek inilah, sekalipun sederhana merumuskan arkanu al jaami’ah menjadi penting. Allahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Rekomendasi Artikel: