Sosial

Sosial

Awal Mula Mengenal HMI dan PMII


Saya rasakan garis pemisah antara NU dan Muhammadiyah, PMII dan HMI sedemikian tajam. Masih pada tahap mengikuti program orientasi pengenalan kampus, yang ketika itu disebut Mapram, saya sudah dikenali oleh para senior bahwa saya adalah kader HMI, mungkin dengan pertimbangan, saya ikut seorang senior organisasi mahasiswa ini. Kelompok HMI tergolong minoritas di kampus, dan rupanya pada acara Mapram ini sudah diperlakan yang tidak adil. Pelanggaran sedikit saja yang dilakukan oleh calon mahasiswa yang ditengarai anak HMI akan dihukum secara lebih berat. Mungkin perasaan saya seperti ini agak subyektif, tetapi begitulah yang saya rasakan. Namun demikian, kegiatan pengenalan kampus saya ikuti sampai selesai. Semua saya rasakan sebagai sebuah tahap yang harus saya lalui sebagai seorang calon mahasiswa. Mapram ketika itu memang menjadi ajang penggojlokan dari para senior kepada yuniornya. Bagaimanapun perlakuan para senior yang menengarai saya sebagai calon HMI tidak pernah saya pedulikan, oleh karena memang saya belum memiliki kepekaan menyangkut afiliasi organisasi keagamaan ini. Mengenal HMI dan PMII, ketika saya masuk di IAIN, saya rasakan bukan persoalan gampang. Dulu di IAIN hanya dua organisasi itu, yaitu PMII dan HMI. Organisasi lainnya seperti IMM, GMNI atau lainnya belum banyak dikenal di IAIN. Saya yang berlatar pendidikan umum, -------SDN, SMPN dan SMAN, tidak begitu mengenal tentang organisasi itu. Saya juga tidak pernah belajar di pondok pesantren, sehingga bekal pengetahuan, organisasi dan faham keagamaan yang terkait dengan itu sangat minim sekali. Memang NU dan Muhammadiyah saya sudah mengenali, tetapi kadar pengenalan saya tidak lebih dari apa yang saya lihat dari ayah saya. Juga pengetahuan itu terbatas sekali, karena sejak lulus Sekolah Dasar di desa saya sudah berpisah dari orang tua, pindah ke kota untuk melanjutkan ke SMPN dan SMAN. Tidak seperti sekarang, hampir di setiap kecamatan sudah tersedia SMP dan SMA. Pada saat itu Sekolah Menengah Lanjutan hanya terdapat di kota kabupaten. Itu pun biasanya jumlahnya hanya satu. Dengan demikian bertemu orang tua, paling cepat seminggu sekali bahkan lebih, kecuali pada hari libur. Selanjutnya, saya rasakan agak aneh, hanya karena saya diketahui ikut bertempat tinggal di rumah seorang senior yang berafiliasi pada HMI, saya dikira telah menjadi HMI. Hal itu menjadikan saya pun diajak mengikuti kegiatan HMI. Di pihak lain, ternyata saya diketahui berasal dari keluarga NU. Saya sama sekali tidak mengetahui informasi itu dari mana asalnya. Atas dasar informasi bahwa saya berasal dari keluarga NU itu, saya didatangi oleh seorang pengurus PMII yang cukup senior,---Mappangro, bahwa semestinya saya mengikuti MAPABA --–sebuah kegiatan pengenalan mahasiswa baru yang diselenggarakan oleh PMII. Saya pun ikut ajakan ini dan mengikuti program ini sampai selesai dan mendapatkan sertifikat. . Keikut-sertaan saya sebagai peserta MAPABA tidak pernah mengurangi pergaulan saya dengan anak-anak HMI. Oleh karena saya bertempat tinggal di dekat musholla yang dibangun dan dikelola oleh pengurus HMI, sayapun ikut aktif pada kegiatan di musholla itu. Akan tetapi, saya tidak pernah absen pada kegiatan yang diselenggarakan oleh PMII. Posisi saya seperti itu, ternyata tidak mengalami kesulitan. Mungkin, teman-teman saya ketika itu, yang menunjukkan kurang peduli terhadap perilaku afiliasi organisasi yang kurang jelas ini memahami bahwa saya tidak pernah menunjukkan fanatisme terhadap salah satu kelompok. Saya bisa mengikuti kegiatan di dua organisasi yang berbeda tersebut. Ketika itu saya akrab dengan teman-teman HMI dan sekaligus juga akrap dengan tokoh-tokoh PMII. Saya seolah-olah berdiri di dua kaki sama kuatnya. Posisi saya seperti itu menjadikan saya banyak belajar, baik dari kawan-kawan PMII maupun dengan kawan-kawan HMI, atau dari NU maupun juga dari Muhammadiyah. Hanya saja, pada saat tertentu saya menjadi rikuh. Tatkala di komunitas NU saya disindir sebagai orang Muhammadiyah dan sebaliknya jika berada di kalangan Muhammadiyah saya disindir sebagai orang NU. Sekali-kali saya rasakan, sekalipun sekedar sindirin ternyata tidak mengenakkan. Saya merasa serba berada di luar group atau serba outgroup. Akan tetapi karena saya berusaha menempatkan diri sebagai simpatisan dan selalu memberikan empati, maka posisi saya, yang sebenarnya kadangkala saya rasakan berat, tokh akhirnya saya berhasil melayalani keduanya. Keberadaan saya pada dua wilayah organisasi yang berbeda, ternyata mendapatkan banyak keuntungan. Saya menjadi berpeluang untuk menjalin komunikasi yang lebih luas. Saya mengenal dan dikenal oleh tokoh-tokoh PMII dan HMI, Muhammadiyah maupun NU. Posisi saya seperti itu terasa lebih tepat lagi ketika saya diikutkan dalam berbagai kegiatan yang melibatkan tokoh Muhammadiyah dan tokoh NU. Pada masa itu seringkali Pak Malik Fadjar, sering bekerjasama dengan Gus Dur (KH.Abdurrahman Wahid) dalam kegiatan penelitian, pembinaan kerukunan umat beragama, penulisan buku, seminar dan lain-lain. Saya sangat beruntung mendapat kesempatan melayani kedua tokoh tersebut. Keterlibatan saya pada kegiatan seperti inilah saya mengenal orang-orang seperti Pak Djohan Efendi, Muslim Abdurrahman, Nur Cholis Madjid, Dawam Rahardjo, Muchtar Buchori dan lain-lain. Begitu juga melalui kegiatan itu saya menjadi berpeluang mengenali tokoh tingkat Jawa Timur seperti Pak Marsekan Fatawi –Rektor IAIN Sunan Ampel, Prof.Dr.Rachmat Djatnika, Yahya Mansoer, Prof.Dr.Bisri Afandi, MA dan lain-lain. Posisi saya seperti itu, ternyata secara pribadi sangat menguntungkan, tidak saja memperoleh kesempatan bergaul secara luas. Lebih dari itu, saya dapat belajar tentang pikiran-pikiran, pandangan dan bahkan juga perasaan dari para tokoh yang berasal dari organisasi yang berbeda. Ada semacam proses lintas batas yang saya alami tatkala saya bergaul secara mendalam dengan para tokoh-tokoh tersebut. Proses seperti ini, ------yang saya dapatkan dengan cara tidak sengaja, ternyata memberi manfaat yang amat berharga bagi hidup saya. Sampai saat ini kemudian saya lebih berpandangan bahwa dalam membangun Islam ke depan di negeri ini, justru yang diperlukan adalah keberhasilan membangun persatuan seluruh umat. Adanya perbedaan faham itu boleh, tetapi yang harus dijaga bersama adalah persatuan di antara semuanya. Jika kita harus berbicara menang atau kalah, dan kita umat Islam ini tidak ada pilihan lain, harus menang, maka kunci kemenangan itu, saya yakini ada di persatuan itu. Jika umat Islam bersatu maka, akan mendapatkan kemenangan itu. Perintah agar selalu menjaga persatuan ternyata juga datang dari Allah swt., melalui al Qur’an. Umat Islam agar selalu bersatu dan tidak saling bercerai berai. Allahu a’lam

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

.

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang