Sosial

Sosial

Kegagalan Pendidikan


Pengalaman selama ini, menjadikan orang semakin pintar ternyata tidak sesulit menjadikan orang semakin menjadi lebih baik. Seringkali kita mendengar bahwa anak kecil itu pada umumnya masih lugu, yaitu bisa mengatakan apa adanya dan lebih jujur. Karena itu, seringkali muncul sebuah anjuran, jangan bekerjasama berbohong dengan anak-anak, maka rahasia kita akan terbongkar. Pandangan sederhana ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebenarnya pada asalnya, manusia itu justru baik dan jujur. Begitu pula seringkali ada ucapan bahwa orang desa lebih bisa berbuat jujur daripada orang kota. Orang desa itu lugu dan jujur, kata banyak orang. Kalimat ini seolah-olah menggambarkan bahwa seseorang semakin bertambah umur, semakin pintar dan juga semakin menjadi orang kota, maka semakin sulit diajak untuk menjadi jujur. Jika pandangan ini betul, maka pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah apa dan bagaimana makna pendidikan yang sebenarnya itu. Jika antara kecerdasan dan kejujuran selalu tidak bisa berkompromi, lalu apa makna pendidikan yang kita percayai selama ini bisa mengantarkan seseorang menjadi lebih baik. Tetapi apakah memang demikian halnya, sehingga tugas-tugas pendidikan yang mengkompromikan itu menjadi sangat sulit. Betapa sulitnya menjadikan orang jujur, dan juga betapa mahalnya kejujuran itu sangat mudah dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa Indonesia yang mengalami problem berat yang amat sulit diselesaikan selama ini, sesungguhnya berawal dari miskinnya kejujuran ini. Terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme di berbagai lapisan birokrasi sesungguhnya disebabkan oleh faktor belum berhasilnya membangun kejujuran. Orang jujur terasa menjadi sangat sulit dicari, dan ternyata memang sangat sulit dibentuk. Walaupun selalu dikatakan bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah mengantarkan peserta didik menjadi jujur, ternyata banyak gagal. Kegagalan pendidik, salah satunya bisa dilihat dari fenomena pelaksanaan berbagai ujian, termasuk ujian nasional. Setiap diselenggarakan ujian nasional, selalu disiapkan pengawas yang cukup banyak jumlahnya. Seperti Ujian Nasional mendatang ini agar pelaksanaannya kredibel dan terpercaya hasilnya, sebagian tanggung jawabnya, sementara khusus untuk ujian sekolah menengah tingkat atas, diserahkan pengawasannya pada perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang sehari-hari memiliki beban dan tanggung jawab sedemikian berat, masih harus dibebani lagi mengawasi ujian nasional. Saya beberapa kali mengikuti rapat-rapat dengan para Rektor PTN, untuk merancang pelaksanaan Ujian Nasional tersebut. Ternyata sebatas menangani pengawasan untuk ribuan sekolah di Jawa Timur saja tidak mudah. Tugas itu memerlukan tenaga yang banyak, waktu yang tidak sedikit dan biaya yang cukup mahal. Belajar dari rencana pelaksanaan ujian ini, saya mendapat pelajaran bahwa ternyata mengurus pendidikan di tanah air yang luas dan besar ini memang rumit. Lembaga pendidikan yang jumlahnya cukup banyak, tersebar di berbagai wilayah, sampai di daerah-daerah pelosok, apalagi pulau-pulau yang terpencil, dengan jumlah yang sedemikian banyak, menjadi tidak mudah dilakukan. Setiap kali mengikuti rapat bersama para rektor, membahas tentang pengawasan ujian itu, ada beberapa hal yang saya ingat dan pikirkan. Pertama, munculnya wacana tentang tingkat kelulusan yang berlebih-lebihan. Di manapun ujian selalu menghasilkan lulus atau tidak lulus. Tetapi anehnya, jika terdapat murid yang tidak lulus, apalagi jumlahnya cukup banyak, maka segera menyalahkan pelaksanaan ujian, entah soalnya terlalu sulit, pengawasnya ketat atau keselahan itu ditimpakan kepada lembaga pendidikan yang bersangkutan. Lebih aneh lagi, jika banyak yang tidak lulus, maka muncul pendapat bahwa ujian tidak perlu diadakan. Alasannya, dengan ujian selain menjadikan siswa tidak lulus juga menyebabkan anak-anak frustasi dan bahkan stress. Sesuatu yang sangat sederhana, bahwa setiap ujian mestinya dipahami akan menghasilkan lulus dan tidak lulus, dan ujian itu diperlukan sebagai bagian dari kegiatan yang harus dilengkapi dengan evaluasi. Kedua, fenomena lain yang agaknya perlu dicermati, setelah pengumuman dikeluarkan maka segeralah anak-anak yang lulus mengekspresikan kegembiraan dengan cara-cara yang aneh. Mereka saling membikin corat-coret, termasuk corat-coret itu di baju mereka. Setelah itu kebut-kebutan yang juga membahayakan. Jika kita renungkan mendalam, sebagai orang yang berhasil, apalagi berhasil menempuh pendidikan, semestinya segera bersyukur --jika perlu sujud syukur. Corat coret dan kebut-kebutan bersama, setelah lulus mungkin sebagian menganggapnya sebagai hal biasa, tetapi bukankah itu semua merupakan pertanda awal adanya penyimpangan perilaku para siswa. Belum lagi, beberapa sekolah tidak berani mengumumkan hasil ujian secara langsung, mereka khawatir yang tidak lulus akan mengamuk, mengancam dan merusak fasilitas sekolah. Ketiga, adalah kenapa sebatas Ujian Nasional harus melibatkan pengawasan dari para dosen perguruan tinggi. Apakah para guru lembaga pendidikan yang bersangkutan sudah tidak lagi bisa dipercaya. Kebijakan itu secara tidak langsung menganggambarkan bahwa para guru, murid dan semua yang terlibat dalam pendidikan, sekalipun tidak dikatakan tidak jujur, setidak-tidaknya masih memerlukan pengawasan dari pihak eksternal. Atas dasar kenyataan-kenyataan tersebut, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah sudah sedemikian parahkah bangsa ini, sehingga di lembaga pendidikan yang tugas utamanya mengantarkan anak-anak bangsa ini agar menjadi berakhlak dan berkepribadian yang mulia, jujur, bertanggung jawab, mandiri dan seterusnya, ternyata masih demikian memprihatinkan keadaannya. Satu hal saja dari pelaksanaan ujian sebagaimana dikemukakan di muka, kejujuran sudah sulit ditemukan. Jika demikian halnya, maka pendidikan bangsa ini sudah sangat mendesak dipikirkan secara serius, bagaimana memperbaikinya. Selain itu, disadari atau tidak, gambaran singkat terkait pendidikan tersebut di muka, sesungguhnya merupakan gambaran nyata dari kegagalan pendidikan selama ini. Allahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang