Umum

Umum

Resiko Lembaga Pendidikan Yang Mengabaikan Mutu


Banyak orang berniat baik, berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Oleh karena pemerintah belum mampu memberikan pelayanan pendidikan yang dibutuhkan oleh semua orang, maka partisipasi itu diperlukan. Maka kemudian muncullah berfbagaii lembaga pendidikan yang berstatus swasta, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Semangat masyaraat mendirikan lembaga pendidikan yang sedemikian besar, maka menjadikan lembaga pendidikan swasta berdiri di mana-mana. Bahkan akhirnya, jenis lembaga pendidikan tertentu, ------yang berstatus swasta, jumlahnya jauh lebih banyak. Lembaga pendidikan swasta di kementerian agama misalnya, justru jauh lebih banyak dari yang berstatus negeri. Madrasah berstatus negeri tidak lebih 10 % dari jumlah yang ada, selebihnya berstatus swasta. Sedangkan, di lingkungan kementerian pendidikan nasional, sekalipun ada yang berstatus swasta, jumlahnya tidak sebanyak itu, bahkan kurang dari 10 %. Di tingkat perguruan tinggi, partisipasi swasta, baik di lingkungan Kementerian Agama maupun di Kementerian Pendidikan Nasional, jauh melebihi yang berstatus negeri. Di lingkungan Kementerian Agama ada 52 buah perguruan tinggi berstatus negeri, sedangkan yang berstatus swasta melebihi 600 buah. Demikian pula, di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional hanya ada sekitar 80 PTN, tetapi tidak kurang dari 3000 PTS yang ada di seluruh Indonesia. Partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi luar biasa besarnya. Hampir setiap kota terdapat perguruan tinggi swasta dan jumlahnya, untuk kota-kota tertentu, hingga mencapai puluhan. Di Kota Malang misalnya, terdapat tidak kurang dari 40 buah perguruan tinggi swasta dengan berbagai orientasi dan ukurannya masing-masing. Besarnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, pada satu sisi sangat menguntungkan. Pemerintah menjadi terbantu dalam memenuhi tuntutan masyarakat terhadap penyediaan lembaga pendidikan. Selain itu potensi masyarakat berhasil dapat disalurkan. Namun pada sisi yang lain, banyaknya jumlah perguruan tinggi swasta itu menjadikan kontrol terhadap kualitas, menjadi longgar atau bahkan tidak dilakukan dengan semestinya. Selain itu, banyaknya jmumlah lembaga pendidikan swasta menjadikan persaingan antar sesama mereka menjadi sedemikian tinggi. Akibatnya sekedar mengejar jumlah kuota siswa/mahasiswanya, mereka menempuh cara sedemikian longgar, di antaranya tidak mempedulikan aspek kualitasnya. Budaya bangsa Indonesia, sebagaimana pernah disebutkan oleh almarhum Prof. Dr. Kuntjaraningrat, menyukai menerabas. Maka demikian pula tidak sedikit mahasiswa perguruan tinggi swasta menempuh jalan terabasan itu. Mereka berdalih yang penting segera lulus, sedangkan ilmu atau mutu dikejar kemudian. Tawaran yang terlalu longgar terhadap tuntutan kualitas tersebut, maka akhirnya banyak dimanfaatkan oleh sementara orang untuk mengejar sertifikat atau ijazah. Sebab dengan ijazah, maka bisa digunakan untuk meningkatkan karir dan meraih jenjang jabatan yang lebih tinggi. Apalagi, pada saat sekarang ini seorang guru dibolehkan mendapatkan sertifikasi pendidik manakala yang bersangkutan memiliki setidak-tidaklnya ijazah sarjana strata satu. Persyaratan ijazah tidak pernah dilihat dari kualifikasi perguruan tinggi yang bersangkutan. Padahal tidak sedikit ijazah diperoleh dari cara yang tidak semestinya. Misalnya, sekedar masuk beberapa kali kuliah dan kemudian dinyatakan lulus, dan mendapatkan ijazah dan diwisuda. Perolehan ijazah dengan cara gampang seperti itu sudah lazim dan banyak dikenali hingga di desa-desa. Seseorang yang tidak diketahui kapan menempuh pendidikan, ternyata yang bersangkutan bisa menunjukkan ijazah yang dimiliki. Hal itu mungkin terjadi, karena tidak sedikit perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan secara mudah. Para dosen perguruan tinggi yang bersangkutan ditugasi mendatangi kelas jauh hanya dalam beberapa kali, atau menyelenggarakan perkuliahan pada hari-hari tertentu dan kemudian diuji, dinyatakan lulus dan diberikan ijazah. Penyelesaian program pendidikan yang sedemikian longgar demikian sudah umum diketahui oleh banyak orang hingga di tingkat pedesaan. Munculnya lembaga pendidikan yang mengabaikan kualitas hasil lulusannya sebenarnya beresiko sangat tinggi terhadap kualitas masa depan bangsa. Kualitas lulusan yang rendah tidak saja merugikan bagi yang bersangkutan, melainkan juga bagi masyarakat secara luas dalam masa yang lama. Tidak bisa dibayangkan, jika seseorang guru menempuh jenjang pendidikan tinggi seadanya, ------hanya mengejar ijazah, dan akhirnya dinyatakan lulus, kemudian yang bersangkutan mengajar dengan cara yang tidak bermutu pula, maka anak didik yang dihasilkan juga menjadi tidakl bermutu. Demikian itu akan berlangsung lama, sehingga bisa dibayangkan, berapa banyak anak didik yang menjadi korban oleh guru yang tidak bermutu tersebut. Resiko yang digambarkan itu tidak saja tatkala lulusan dimaksud menjadi guru, tetapi juga ketika mereka melakukan peran–peran strategis lainnya di tengah masyarakat. Akhir-akhir ini seringkali terdengar ionformasi, bahwa seorang berhasil mendapatkan berbagai gelar, namun tidak jelas dari mana ijazah itu diperoleh. TGernyhata banyaknya gelar yang dipegangnya itu tidak selalu menggambarkan kemampuan sebenarnya yang dikmiliki. Hal seperti itu, semakin lama rupanya semakin meluas dan dianggap sebagai hal biasa. Banyak orang memiliki ijazah asli tetapi palsu. Ijazahnya itu sendiri resmi, dikeluarkan oleh perguruan tinggi yang berwenang, akan tetapik proses pembelajaran dan pemenuhan tugas-tugasnmya dipalsukan. Gejala seperti itu jika dibiarkan, maka suatu ketika akan menjadikan masyarakat tidak akan percaya lagi pada lembaga pendidikan. Jika gambaran itu benar-benar terjadi, maka untuk memulihkan kembali kepercayaan itu, maka akan sangat sulit. Banyak perguruan tinggi yang berguguran, karena tidak diminati lagi oleh masyarakat, satu di antaranya adalah oleh karena dikenali oleh masyarakat kurang berhasil dalam menjaga kualitas dengan membuka program-program sebagaimana dikemukakan di muka. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang berani mengabaikan kualitas, ------baik negeri maupun swasta, sebenarnya memiliki resiko yang amat tinggi, baik terhadap lembaga pendidikan yang bersangkutan, lulusan yang dihasilkan, dan bahkan terhadap masyarakat luas. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang