Wacana tentang perubahan STAIN dan IAIN menjadi UIN sebenarnmya sudah lama muncul, yakni secara serius dimulai pada tahun 1999. STAIN Malang mengajukan usul perubahan status kelembagaan menjadi bentuk universitas sejak tahun tersebut, dan berhasil diperoleh SK Presiden tentang perubahan itu pada tahun 2004 bersamaan dengan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dua tahun kemudian setelah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002.
Perubahan menjadi UIN oleh tiga PTAIN tersebut, selang beberapa tahun kemudian disusul oleh IAIN yang lain, yaitu IAIN Riau menjadi UIN Syarif Qasim Riau, IAIN Bandung menjadi UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan IAIN Makassar menjadi UIN Alaudiin Makassar. Kini di antara 53 PTAIN di seluruh Indonesia, enam di antaranya telah berubah bentuk menjadi universitas. Oleh karena itu, jika IAIN Walisongo Semarang dan mungkin IAIN atau STAIN lainnya berkehendak pula mengubah lembaganya menjadi bentuk universitas, telah tersedia pengalaman yang cukup. Kiranya pengalaman itu menjadi bahan berharga, baik untuk menyusun konsep, strategi, atau implementasi selanjutnya. Berbicara tentang urgensi perubahan, oleh karena menyangkut hal yang bersifat rasional obyektif atau bersifat filosofis dari perubahan itu sendiri, maka kliranya tidak banyak berbeda antara STAIN/IAIN satu dengan STAIN/IAIN lainnya. Sedangkan yang berkaitan dengan strategi dan apalagi implikasi, sekalalipun di antara masing-masing perguruan tinggi memiliki kesamaan, maka masih terdapat perbedaan, oleh karena kondisi dan sutuasi yang berbeda. Mempersiapkan dan Memproses Perubahan STAIN Menjadi UIN Sejak awal menerima amanah untuk mempin STAIN Malang mulai pada awal tahun 1998, saya sudah berpikir untuk melakukan perubahan dari STAIN Malang menjadi UIN Malang. Segera setelah dilantik, saya membentuk tim untuk menyusun Rencana Strategis Pengembangtan STAIN Malang 10 tahun ke depan. Dalam naskah rencana strategis pengembangan itu, telah kami targetkan, bahwa perubahan kelembagaan itu terjadi pada sekitar tahun 2004. Ternyata persis pada pertengahan tahun itu, berhasil keluar Surat Keputusan Presiden nomor 50 Tahun 2004 tentang perubahanh STAIN Malang menjadi UIN Malang. Pada saat itu telah disadari bahwa perubahan kelembagaan tidak akan mungkin selesai diproses dalam waktu singkat. Kami mentargetkan, bahwa proses perubahan itu akan memerlukan waktu selama enam tahun, dan ternyata benar, pada pertengahan tahun 2004, rencana tersebut menjadi kenyataan. Selama itu, selain berusaha keras melengkapi berbagai persyaratan yang diperlukan, juga melakukan konsolidasi internal maupun eksternalnya. Rasanya tugas itu amat berat, oleh karena STAIN Malang tidak sebagaimana IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta, -------yang sama-sama mengusulkan perubahan status kelembagaan menjadi UIN, keduanya sudah menyandang nama besar dan kepercayaan yang sedemikian tinggi. Hal itu sangat berbeda dengan STAIN Malang yang ketika itu baru saja berubah statusnya dari fakultas cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya menjadi STAIN Malang sehingga keberadaannya belum dikenal oleh banyak orang. Kalu saya boleh menyebut bahwa, proses perubahan kelembagaan itu bukan pekerjaan gampang. Sebab ditengah usaha melakukan perubahan itu selalu diliputi oleh suasana pro dan kotra antara mereka yang menyetujui perubahan dan yang menolak dengan argumentasinya masing-masing. Mereka yang menyetujui memandang bahwa perubahan itu adalah merupakan keniscayaan manakala PTAIN ingin menampakkan ajaran Islam yang diklaim sebagai bersifat universal. Selama itu, PTAIN dengan fakultas-fakultasnya, yaitu Ushuluddin, dakwah, tarbiyah, syari’ah dan adab, dipandang sebagai institusi yang melaklukan kajian dan menghasilkan tenaga-tenaga yang hanya relevan dengan pembinaan dan pengembangan keagamaan dalam pengertian terbatas. PTAIN dengan beberapa bidang studinya itu, menjadikan para alumninya hanya dianggap mampu memberikan sumbangan yang terbatas pada upaya memajukan bangsa. Lulusan PTAIN pada umumnya hanya menjadi guru agama, pegawai kementerian agama, dan instansi lain yang terbatas. Baru kemudian setelah ada perubahan, ------- pasca reformasi, yaitu setelah adanya keterbukaan iklim politik, berhasil membuka peluang bagi luilusan PTAIN memasuki posisi penting dalam partai politik dan bahkan duduk sebagai anggota parlemen. Sedangkan mereka yang kurang menyetujui perubahan, mereka khawatir tugas-tugas tafaqquh fidien semakin langka. Selain itu, dengan perubahan IAIN menjadi UIN dikhawatirkan program studi yang telah lama dibina dan dikembangkan menjadi sepi peminat. Padahal kehadiran PTAIN pada awalnya adalah untuk melahirkan alumni yang memiliki keahlian dan kopentensi ilmu keagamaan. Maka dikhawatirkan di masa depan, lembaga yang akan melahirkan ulama, setelah IAIN berubah menjadi UIN tidak aka nada lagi. Kekhawatiran lainnya akan melahirkan lulusan yang serb a setengah-setengah, yaitu penguasaan agama tidak matang, sedangkan ilmu umumnya juga kurang meyakinkan. Kesulitan lain yang dihadapi adalah terkait dengan birokrasi di berbagai kekementerian. Perubahan dari IAIN menjadi UIN harus melalui rekomendasi atau persetujuan beberapa kementerian, yaitu disamping kementerian agama juga kementerian pendidikan nasional, Menpan, Sekretari Negara, dan baru akhirnya diterbitkan Surat Keputusan Presiden. Mendapatkan rekomendasi dari satu kementerian ke kementerian berikutnya, menurut pengalaman ternyata tidak mudah, dan memerlukan waktu yang cukup lama. Itulah maka perlunya kesungguhan, keuletan dan kesabaran. Alasan Filosofis Perubahan Menjadi UIN Segera setelah mengalami perubahan dari Fakultas Tarbiyah cabang IAIN Sunan Ampel menjadi STAIN Malang, maka di kalangan dosen tumbuh kegelisahan terhadap lingkup kajian Islam. Sebagai sekolah tinggi, STAIN Malang hanya memiliki dua jurusan, yaitu jurusan tarbiyah dan syariah. Dalam berbagai diskusi yang dilaksanakan pada waktu itu muncul kesadaran bahwa ajaran Islam sebenarnya bersifat universal. Namun universalitas itu tidak terasakan tatkala PTAIN hanya berbentuk sekolah tinggi. Dengan bentuk sekolah tinggi, maka terasakan benar bahwa wadah atau institusi tersebut tidak akan mencukupi untuk mengembangkan ajaran Islam yang bersifat universal. Jika masih tetap dipertahankan, maka Islam hanya akan dipahami dari perspektif yang terbatas, yaitu hanya menyangkut aspek-aspek yang bersifat ritual. Islam sebagai ajaran yang bersifat universial mestinya memiliki wilayah kajian yang luas, menyangkut persoalan ilmu pengetahuan, kehidupan pribadi dan sosial, keadilan, dan kerja professional sebagai tuntutan zaman modern, dan juga tidak meninggalkan kegiatan ritual untuk membangun kehidupan spiritual yang kokoh. Selain itu, muncul kesadaran bahwa sejarah Islam tatkala meraih puncak kejayaannya adalah ketika tidak memilah-milah antara ilmu umum dan ilmu modern. Ilmu dipandang sebagai satu kesatuan. Dalam melakukan kajian, maka mestinya selalu menjadikan al Qurán dan hadits nabi yang merupakan ayat-ayat qawliyah dan hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis yang merupakan ayat-ayat kawniyah sebagai sumber ilmu pengetahuan. Selanjutnya, bangunan keilmuan yang kajiannya selalu mendasarkan pada kedua sumber ilmu tersebut, maka dipandang sebagai ilmu pengetahuan Islam yang lebih sempurna. Berangkat dari sejarah pula, ditemukan bahwa kehadiran perguruan tinggi Islam di Indonesia pada awalnya adalah untuk melahirkan ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama. Jargon ini diterjemahkan bahwa PTAIN hendaknya melahirkan seorang yang ahli di bidang agama (Islam) sekaligus ilmu-ilmu modern. Ahli di bidang sains sekaligus mampu memahami al Qurán dan hadits nabi serta pemikiran Islam yang selama ini berkembang, -----fiqh, tauhid, akhlak, tasawwuf, tafsir dan lain-lain. Sementara orang memang pesimis terhadap pikiran besar itu bisa diwujudkan. Akan tetapi, melalui diskusi panjang maka lahir tekat dan semangat bersama untuk mewujudkannya. Melalui diskusi panjang pula, akhirnya ditemukan metafora berupa sebatang pohon untuk menggambarkan keterkaitan antara ilmu yang diposisikan sebagai alat seperti bahasa asing, -----Arab dan Inggris, filsafat, dasar-dasar ilmu sosial dan ilmu alam. Selanjutnya, setelah ilmu alat dikembangkan maka disusul kajian-kajian ilmu yang selama ini masuk rumpun kajian Islam, yaitu al Qurán dan hadits nabi, pemikiran Islam, dan sirah nabawiyah. Semua mahasiswa, apapun jurusannya, wajib mengikuti program kajian tersebut. Mengikuti pandangan al Ghazali, maka mengkaji rumpun ilmu tersebut, sebagai fardhu kifayah. Selanjutnya, semua mahasiswa sebagaimana fakultas atau jurusan yang dipilih, mengkaji ilmu yang selama ini disebut sebagai ilmu umum atau ilmu modern, seperti ilmu psikologi, ekonomi, humanbiora dan budaya, tarbiyah, syariah dan sains dan teknologi. Kajian al Qurán, hadits dan pemikiran Islam mengantarkan mahasiswa meraih predikat sebagai calon ulama’ sedangkan mengkaji ilmu modern untuk mendapatkan identitas sebagai calon seorang intelek. Itulah maka diharapkan, lulusan UIN menjadi seorang calon ulama dan sekaligus calon intelek. Untuk melahirkan sosok ulama dan sekaligus intelek, selama itu yang menjadi batu sandungan, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Prof. Mukti Ali (alm) sewaktu menjabat sebagai Menteri Agama adalah berupa lemahnya penguasaan mahasiswa terhadap dua bahasa asing ------Arab dan Inggris. Selain itu, Mantan Menteri Agama di awal Orde Baru tersebut juga pernah melontarkan stateman bahwa : “tidak pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain pesantren”. Atas dasar statemen tersebut dan sekaligus sebagai bagian dari upaya mengembankan kemampuan bahasa Arab dan Bahasa Inggris, STAIN Malang melengkapi kelembagaannya dengan Ma’had al Aly. Tentu saja, implementasi terhadap konsep yang ditemukan tersebut selalu menghadapi berbagai kendala, rintangan, dan bahkan juga sikap-sikap dari sementara warga kampus sendiri yang pesimis, namun akhirnya semua bisa dilewati dan diselesaikan. Hingga pada saat sekarang ini bahwa sebenarnya proses perubahan untuk menuju taraf penyempurnaan, belum berhenti. Dari waktu ke waktu mproses itu masih berjalan, baik pada tataran pengembangan filosofis, hingga pada implementasi yang bersifat lebih teknis. Melalui uraian tersebut dapat dibaca bahwa sebenarnya perubahan kelembagaan dari STAIN menjadi UIN tersebut, bukan sebatas bermaksud memperbesar atau memperluas ukuran kelembagaan semata, tetapi didorong oleh kesadaran untuk memaknai Islam dalam perspektif yang luas sebagaimana al Qurán dan hadits itu sendiri. Kitab suci al Qurán dan hadits nabi tidak cukup dikaji melalui sejumlah bidang ilmu yang telah ada ketika itu, melainkan mengharuskan dikaji dari berbagai disiplin ilmu sebagaimana watak atau sifatnya, yaitu bahwa Islam adalah bersifat universal. Hasil yang Diraih atas Perubahan STAIN Menjadi UIN Selama ini, setahu saya, tidak ada seorangpun warga kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang menyesal atas perubahan itu. Umpama saja terdapat pihak-pihak tertentu, dan bahkan dari pemerintah sendiri, misalnya memerintahkan agar kembali lagi berubah bentuk menjadi sekolah tinggi atau institute sekalipun, saya yakin tidak akan ada yang mau menerimanya. Mereka, apapun yang terjadi akan bertahan, agar tetap menjadi universitas. Perubahan menjadi universitas, ------bagi wargta UIN Maulana Malik Ibrahim Malang telah dipandang dan dirasakan sebagai pilihan yang tepat. Kekhawatiran semula bahwa, dengan perubahan kelembagaan itu, kajian Islam akan semakin surut dan bahkan akan mati, maka yang terjadi justru sebaliknya. Kajian-kajian Islam menjadi lebih semarak. Kajian Islam tidak saja dilakukan oleh fakultas agama, melainkan oleh semua fakultas sesuai dengan disiplin ilmu mereka masing-masing. Selain itu, kajian kajian Islam menjadi semakin luas. Al Qurán dan hadits nabi dipahami dari pesepektif ilmu mereka hingga kajiannya terasa semakin segar, menarik, dan semakin mendalam. Fakultas agama yang dikhawatirkan akan semakin tenggelam, ternyata tidak terbukti. Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syariáh yang selama ini dikenal sebagai rumpun bidang studi agama, peminatnya masih seperti dulu, dan bahkan setiap tahun meningkat hingga tidak mampu menampung semua peminat. Selain itu, dengan ditopang oleh Ma’had al Aly, program perkuliahan khusus Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, haiáh tahfidzil al Qurán, serta tradisi lainnya, maka kajian Islam bukan saja menjadi otoritas atau wewenang fakultas tarbiyah dan syariáh, melainkan menjadi bahan kajian semua fakultas yang ada, yaitu frakultas psikologi, fakultas ekonomi, fakultas sains dan teknologi, dan fakultas humaniora dan budaya. Hal yang menggembirakan lagi, bahwa dengan perubahan menjadi universitas, maka semangat kajian Islam terasa sekali meningkat. Bahkan, beberapa tahun terakhir muncul fenomena semakin banyak mahasiswa yang berminat menghafal al Qurán. Selain itu, hal yang lebih menggembirakan lagi, bahwa pada setiap wisuda sarjana, peraih prestasi terbaik selalu diraih oleh wisudawan yang hafal al Qurán hingga 30 juz. Mereka itu merata, berasal dari semua fakultas, yaitu fakultas tarbiyah, fakultas syariáh, fakultas psikologi, fakultas ekonomi, fakultas humaniora dan budaya, dan juga fakultas sains dan teknologi. Selain itu, bahwa sejak berubah menjadi universitas semangat pengembangan akademik, baik bagi dosen maupun mahasiswa, tampak semakin meningkat. Sebagai contoh sederhana, pada setiap tahun, berhasil terbit tidak kurang dari 80 judul buku-buku yang ditulis oleh para dosen dan bahkan mahasiswa. Angka ini, kami anggap cukup tinggi bila dibandingkan dengan jumlah dosen tetap yang hanya 296 orang. Buku-buku yang terbit tersebut, oleh karena ditulis oleh para dosen yang berlatar belakang disiplin ilmu yang berbeda-beda, maka berbeda-beda pula tinjauannya. Semua pihak berusaha dan menggambarkan adanya integrasi antara hasil kajian ayat-ayat qawliyah dan sekaligus ayat-ayat kawniyah yang kemudian disebut sebagai keilmuan yang bersifat terintegrasi itu. Akhirnya, setelah memimpin langsung perubahan kelembagaan dari STAIN menjadi UIN dan melihat hasil atau implikasinya, maka saya berpandangan bahwa perubahan kelembagaan di kalangan PTAIN merupakan keniscayaan dan bahkan keharusan jika menginginkan Islam dipandang secara luas sebagaimana hal itu diajarkan oleh al Qurán dan hadits sendiri. Namun, perubahan itu harus diikuti oleh penyempurnaan daya dukung lainnya, misalnya adanya ma’had, tradisi pengembangan keilmuan, program peningkatan bahasa asing, ----Inggris dan Arab, dan lain-lain. Jika yang dimaksud hanya merubah kelembagaan, dan kemudian sebatas membuka fakultas umum, dan menambah beberapa jam mata kuliah agama, tanpa ada penyempurnaan yang dimaksudkan itu, maka saya pun juga ikut khawatir, perubahan itu malah justru akan menggangu yang selama ini sudah ada, dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Wallahu a’lam. *) Makalah sebagai bahan Seminar Konversi IAIN ke UIN di IAIN walisongo, Semarang, pada tanggal 26 April 2011
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang