BEBERAPA MASALAH FIQH AL-IKHTILAF NU-MUHAMMADIYAH
Kita sepakat bahwa Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) memiliki perbedaan pendapat dalam masalah-masalah keagamaan, dalam hal ini fiqih. Kita juga sepakat bahwa perbedaan-perbedaan tersebut niscaya dan kita sangat memakluminya. Di sini, penulis tidak ingin menunjukkan mana yang terkuat dari dua pendapat tersebut. Penulis cuma ingin memaparkan dasar-dasar yang menjadi hujjah NU maupun Muhammadiyah dalam mengistimbathkan hukum.
Adapun masalah-masalah fiqih yang akan dipaparkan di sini barangkali masih sangat jauh untuk mengatakan lengkap, mulai dari masalah muamalah, ibadah, siayasah. Untuk melakukan penulisan secara konprehenship penulis merasa belum cukup mampu, selain juga membutuhkan waktu serta bahan penelitian yang tidak sedikit. Masalah-masalah fiqih yang akan dipaparkan di sini hanyalah masalah-malasah yang sering menjadi bahan diskusi, yang terkadang mengarah sampai pada perdebatan yang tidak sehat. Masalah-masalah fiqih tersebut, yaitu:
a. Niat shalat
b. Shalat Jumat
c. Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah d. Shalat Tarawih
e. Dzikir dengan suara keras
f. Penentuan awal ramadhan dan 1 syawal g. Hal yang membatalkan wudhu
h. Tawasul
i. Tahlil j. Rokok
Sebelum dipaparkan lebih rinci tentang masalah-masalah tersebut, barangkali lebih enak jika kami berikan gambaran awal di mana titik perbedaan-perbedaan pendapatnya.
a. Niat Shalat: Kaum Nadhdzihiyin berpendapat bahwa niat sholat itu sunnah dilafalkan dengan ucapan ―Ushally…‖sedangkan Muhammadiyah berpendapat bahwa niat sholat itu di hati, tidak perlu diucapkan.
b. Shalat Jum‘at: Di Masjid-masjid di mana jama‘ahnya mayoritas warga NU, shalat Jum‘at didirikan dengan dua adzan, ditambah dengan petugas yang menjadi Ma‘ashiral. Sementara di masjid-masjid di mana Muhammadiyah menjadi basis warganya, maka shalat Jum‘at biasanya diadakan dengan satu kali adzan dan tanpa Ma‘ashiral.
c. Qunut Subuh, Witir, dan Nazilah: Muhammadiyah berpendapat qunut Subuh bukan merupakan sesuatu yang disunnahkan atau yang diwajibkan sedangkan NU menganggapnya sebagai Sunnah Ab‘ad. NU juga berpendapat bahwa Qunut Nazilah dan Qunut Witir adalah sunnah, tapi Muhammadiyah berpendapat bahwa Qunut Subuh dan Witir bukan suatu amalan sunnah.
d. Shalat Tarawih: mengenai Shalat Tarawih Muhammadiyah berpendapat
dikerjakan 8 Raka‘at di tambah Witir 3 Raka‘at, sedangkan NU melakukan
Shalat Witir 20 Raka‘at ditambah 3 Raka‘at Witir.
e. Dzikir dengan Suara Keras: Seusai shalat jama‘ah di kalangan NU baisanya dilakukan dzikir bersama dengan suara keras, sementara di kalangan Muhammadiyah tidak demikian, dzikir ba‘da shalat dilakukan sendiri-sendiri dan dengan suara rendah. Dalam NU juga ada tradisi menyuarakan dzikir atau puji-pujian sebelum shalat berjama‘ah di masjid. Juga sebuah tradisi yang dikenal dengan sebutan istighasah. Sementara di Muhamamdiyah tidak ada kebiasaan tersebut.
f. Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal: sudah sering terjadi perbedaan
waktu awal Ramadhan dan Idul Fitri di antara NU dan Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan perbedaan metodologi yang mereka gunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan 1 Syawal.
g. Tawassul: tawassul berasal dari kata Wasilah, perantara. Tawassul berarti mendekatkan diri kepada Allah atau berdo‘a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan
perantara. Tawasul merupakan di antara amaliah warga NU yang terkenal. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa berdoa melalui perantara atau dengan ber-tawassul adalah tidak boleh hukumnya.
h. Tahlilan: Tahlilan juga salah satu Amaliyah kaum Nadhiyin untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. NU berpendapat bahwa Tahlil itu justru dianjurkan, sementara Muhammadiyah sebaliknya, tidak membolehkannya, disebabkan ada unsur-unsur bid‘ah di dalamnya.
h. Masalah Rokok: Muhammadiyah dalam putusan Tarjihnya yang belum lama ini dikeluarkan, dengan berani telah mengharamkan rokok. Sementara NU dengan sekian dasar dan dalil pula menghukumi rokok dengan makruh.
A. Niat Sholat
Baik Nahdhatul Ulama maupun Muhammadiyah sepakat bahwa niat dalam shalat merupakan bagian dari rukun. Perbedaan pendapat hanya muncul dalam menjawab pertanyaan, apakah niat shalat perlu dilafalkan atau tidak, dan apa hukumnya melafalkan niat dalam shalat?
1. Nahdhatul Ulama
Melafalkan niat shalat ketika menjelang takbiratul ihram sudah menjadi kebiasaan warga NU. Lafadl niat shalat diawali dengan kalimah “ushalli” yang artinya ―aku berniat melakukan shalat‖. Kalau yang akan dikerjakan shalat shubuh maka lafadh niatnya yang lengkap menjadi ―Ushalli fardla subhi rak‟ataini mustaqbilal kiblati ada‟an lillahi ta‟ala‖ (Saya berniat melakukan shalat fardlu subuh dzuhur dua empat raka‘at dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT).
Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ikhram,
demikian Cholil Nafis, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa‘il PBNU dalam situs resmi NU, menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi‘iy (Syafi‘iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah. Hal ini dikarena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu‘ dalam melaksanakan shalatnya.
Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab, jika
seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‗Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‗Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Berkaitan dengan pendapat yang tidak menganjurkan pelafadzan niat shalat, Cholil Nafis tak lupa melengkapi argumennya. Ia menambahkan, bahwa menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari‘atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid‘ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Dasar atau argumen NU selanjutnya adalah hadist Rasul tentang pelafalan
niat dalam suatu ibadah wajib yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
―Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu bukan untuk ibadah shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Namun demikian, menurut Cholil Nafis, apa yang dikerjakan Nabi tersebut tidak berarti selain haji. Apa yang dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni disunnahkannya pelafalan niat shalat.
Tempatnya niat ada di hati, NU tidak menampik hal ini. Namun demikian, masih menurut Cholil Nafis, untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal yaitu,
1. Islam
2. Berakal sehat (tamyiz)
3. Mengetahui sesuatu yang diniatkan
4. Tidak ada sesuatu yang merusak niat.
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri‘tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‗Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Fatwa sunnah melafalkan niat dari NU juga dikuatkan dengan pendapat Imam Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj:
―Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu‟-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat‖.
Selain itu, dasar-dasar tersebut di atas, melafalkan niat (Talaffudz
Binniyah) juga berdasar kepada al-Qur‘an surat ayat (disunnahkannya
melafalkan niat Ayat–ayat Al-Qur‘an berikut:
Artinya:
Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan. (Qaaf: 18)
Artinya:
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.(Q.S Fathir: 10)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid yaitu Laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada pula yang mengatakan semua perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah. Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala.
Melafalkan niat dengan lisan adalah suatu kebaikan yang akan dicatat
amalnya oleh Malaikan pencacat amal kebaikan. Segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).
Hadits-Hadist lain yang menjadi dasar talaffudz binniyah adalah sebagai
berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra. Beliau berkata: “Pada suatu hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang dimakan? Aisyah Rha. menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu pun”. Mendengar itu Rasulullah Saw. bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR. Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan niat atau talafudz bin niyyah ketika beliau hendak berpuasa sunnat.
Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda ketika tengah berada di Wadi Aqiq: ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah di dalam haji”. (Hadis Sahih riwayat Imam-Bukhari)
Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul Adha bersama
Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor
kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban di antara ummatku.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)
Dari hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz binniyah ketika beliau akan haji, puasa, maupun menyembelih qurban, sehingga hal ini sangat bisa diqiyaskan dalam perkara
shalat.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa, fungsi melafalkan niat, menurut Fuqoha kaum NU adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu‘an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
2. Muhammadiyah
Dalam kitab himpunan Putusan Tajrih Muhammadiyah, pada pembahasan masalah shalat, di awali dengan beberapa dalil, baik al-Qur‘an dan hadis. Berkaitan dengan tema yang sedang kita bahas, ada satu dalil hadist yang diletakkan dalam pendahuluan HPT Muhammadiah bab Shalat, yakni Hadits dari Malik bin Huwairits ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya:
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat". (HR. al- Bukhari).
Hadist tersebut menjadi salah satu dasar bagi Muhammadiyah bahwa niat dalam shalat tidak perlu dilafalkan. Karena memang tidak ada dalil yang memerintahkan atau tidak ada peristiwa di mana para shahabat Nabi melihhat Nabi Muhammad melafalkan niat dalam shalat.
Sejauh ini, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) tidak menyebutkan secara rinci berkaitan dengan alasan-alasan Muhammadiyah tidak
melafalkan niat shalat. Dalam HPT hanya disebutkan bahwa “bila kamu hendak menjalankan shalat, maka bacalah: "Allahu Akbar" , dengan ikhlas niatmu karena Allah seraya mengangkat kedua belah tanganmu sejurus bahumu, mensejajarkan ibu jarimu pada daun telingamu.”
Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud dan at-Tirmidzi, yang artinya:
"Kunci (pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam".
Juga hadis shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah, jika shalat ia menghadap ke Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya dengan membaca "Allahu Akbar".
Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam shalat menurut
Muhammadiyah. Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah 6:
Artinya:
"Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas kepadaNya daam menjalankan Agama".
Juga hadis rasulullah:
“Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Namun Muhammadiyah tidak memberikan pedoman kepada warganya untuk melafalkan niat. Muhammadiyah menyatakan bahwa niat itu bukan amalan anggota tubuh. Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal. Oleh karena itu melafalkan niat, bagi Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang
disunnahkan. Dalil dari fatwa ini jelas, bahwa melafalkan niat tidak pernah dilakukan Rasulullah saw.
Hal ini pernah ditegaskan oleh Syakir Jamaluddin, Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat memberikan materi ―Ibadah Praktis Perspektif Muhammadiyah‖ pada acara Baitul Arqam Karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Syakir Jamaluddin mengatakan, bid‘ah (penyimpangan) yang terjadi di masyarakat mengenai tata cara shalat Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai niat. Niat itu, kata Syakir, di dalam hati secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut sehingga tidak perlu diucapkan. Ia melanjutkan, tidak ada satu pun hadis, baik yang dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya tuntunan melafalkan niat ketika hendak memulai shalat.
Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafalkan niat shalat
adalah, bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang, maka niat tidak perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya.
Berkaitan dengan hadis Rasulullah yang oleh ulama NU dijadikan dalil bahwa niat juga pernah diucapkan Rasulullah sebelum haji, maka pihak yang menolak disunnahkannya melafalkan niat sebelum shalat menganggap bahwa apa yang dicapkan Nabi tersebut adalah talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati.