Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Lidus Yardi SpdI
Saya Pengamat di Kuansing, Riau
Tanggal: 24 Januari 2004
Judul Artikel: Sekolah Kehidupan Berbasiskan Realitas
Topik: Mengkritisi Program Sekolah "Fullday"
Sekolah Kehidupan Berbasiskan Realitas (Kritik Atas Gagasan Program "Fullday")
oleh Lidus Yardi
Sadar atau tidak sadar, kebanyakan sekolah di tanah air saat ini sedang melaksanakan program yang disebut sebagai "fullday". Program fullday yang dimaksud adalah di mana proses pembelajaran dilaksanakan sehari penuh di sekolah yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Dengan kebijakan seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di lingkungan sekolah ketimbang di rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi bila menjelang sore.
Alasan positif yang dapat dikemukakan bila program fullday dilaksanakan, yaitu anak-anak akan menghabiskan waktunya hampir sehari penuh bersama guru dan temannya, yang kemudian dapat membentuk tata pergaulan dan ukhwah dalam suasana interaksi dan sosialisasi yang bernuansa akademis. Di samping itu, anak didik juga terhindar dari tawuran antarsekolah dan kegiatan yang tak bermanfaat di rumah.
Sedangkan dampak negatif program fullday yang dikemukakan adalah, anak didik akan kelelahan setiba di rumah, kemudian tidur, dan malamnya pun mereka dituntut untuk belajar. Artinya, tidak efektifnya waktu di rumah untuk anak-anak dengan dilaksanakannya program fullday di sekolah. Oleh sebab itu di sini dituntut kearifan para orang tua di rumah. Demikianlah menurut sebagian ahli pendidikan tentang program fullday ini. Meskipun demikian program fullday dinilai lebih banyak manfaatnya, karenanya ia terus di praktekkan. Alasan lain dari perlunya program fullday adalah untuk memacu perkembangan sumber daya manusia, karenanya pula pihak sekolah yang mempraktekkan program itu tidak merasa memiliki "dosa".
Padahal, yang terbayang dari gagasan ini adalah bahwa anak didik seakan-akan hanya memerlukan suasana akademis yang penuh dengan peraturan dan pengawasan, serta tetek bengek urusan sekolah lainnya. Konsekwensi dari diadakannya program fullday itu yang terparah adalah, anak didik akan jauh dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan realitas kehidupan yang seharusnya ia hadapi. Dengan demikian dapat dibayangkan, program fullday akan melahirkan produk anak didik yang jauh dari kehidupan nyata. Sadar dengan urusan akademis tapi buta dengan urusan dunia luarnya. Bermain dengan segudang rumusan dalil dan teori namun tidak kritis dengan fenomena yang terjadi di sekitar lingkungannya. Ia keluar dari pabrik bernama sekolah bak sebuah robot yang digerakan dengan remot kontrol, tiada kemandirian (demikian bila meminjam bahasa-bahasa Ivan Illich atau Paulo Freire tentang dunia pendidikan).
Tidak jarang dijumpai, apa yang didapatkan (anak didik) di sekolah bertentangan dengan kenyataan yang ada di luarnya. Menurut hemat saya, tawuran antarpelajar muncul bahkan karena sekolah tempatnya belajar telah membentuk sikap egois yang menganggap teman itu hanya yang satu sekolah saja. Anak lain yang tidak sama sekolahnya lalu dianggap sebagai musuh. Hal ini disebabkan karena mereka terbiasa dan dibentuk oleh suasana akademis masing-masing, sehingga sulit menerima perbedaan atau realitas yang ada. Dari sini, belum tentu dengan program fullday di sekolah akan dapat menghindari tawuran antarpelajar di sekolah. Bukankah tawuran antarpelajar selama ini sering dalam keadaan memakai seragam, dan waktu belajar di sekolah?.
Sekolah Kehidupan
Berangkat dari persoalan di atas, saatnya anak didik diberikan kesadaran akan adanya "sekolah kehidupan". Sekolah yang ada bukan hanya berbentuk huruf "L" atau "U" dengan segudang peraturan di dalamnya. Yang terkadang juga membuat bingung para orang tua karena banyaknya urusan yang harus dipenuhi. Sekolah kehidupan adalah realitas baik-buruk yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang (akan) menghadapi dan menjalaninya. Fenomena kehidupan yang ada berfungsi mendewasakan pikiran untuk menentukan sebuah pilihan hidup di antara proses berpikir yang dianugerahi Tuhan.
Setiap orang diberikan kebebasan untuk belajar di sekolah kehidupan dan dengan itu menentukan jalan hidupnya. Dalam sekolah kehidupan yang menjadi materi pembelajaran adalah baik-buruk realitas itu sendiri, dan yang menjadi guru adalah pribadi masing-masing. Oleh sebab itu tidak ada yang patut bertanggung jawab dan disalahkan dalam menentukan sebuah pilihan yang telah ditetapkan oleh masing-masing individu. Dengan demikian manusia dituntut mengadakan interaksi dengan lingkungannya, belajar dari pengalamannya, dan merancang masa depannya. Realitas yang ada itulah yang menjadi basis bagi sekolah kehidupan.
Sulit untuk dipungkiri bahwa, di sekolah kehidupan inilah tempat di mana setiap orang ditentukan sukses atau gagal. Banyak orang yang pintar, berprestasi, memiliki bermacam gelar, tapi banyak pula yang gagal menerima kenyataan kehidupan yang harus dihadapinya. Dia gagal di sekolah kehidupan. Karena ia tidak memiliki persiapan untuk itu. Sebaliknya, banyak pula orang yang sukses dalam sekolah kehidupan ini meskipun prestasinya di sekolah (dalam arti sesungguhnya) biasa-biasa saja. Karena mereka sadar dengan realitas yang dihadapinya sehingga ia tahu benar bagaimana pula cara menghadapinya.
Jelas sudah, bahwa lembaga sekolah bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan kunci keberhasilan seseorang. Dengan demikian, sudah saatnya anak didik dikembalikan kepada realitas kehidupan dengan pengajaran atau Manajemen yang Berbasiskan Realitas (MBR) di sekolah, serta diberikan waktu yang cukup baginya untuk belajar dari realitas itu. Agar anak didik setelah ke luar dari sekolah tidak gagap menerima kenyataan yang ada.
Sebuah Alternatif
Ahli pendidikan dari Brazil, Paulo Freire (1999), lewat pemikiran kritisnya terhadap sistem belajar di sekolah setidaknya menyadarkan kita. Menurut Freire, pendidikan di sekolah selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Karena sekolah telah mengajarkan anak didik menjadi seperti (orang lain) bukan bagaimana menjadi dirinya sendiri. Ia hanya diberikan kemampuan merubah "penafsiran" seseorang untuk situasi yang dihadapinya, namun tidak mampu merubah "realitas" dirinya sendiri. Oleh sebab itu, bagi Freire, penting bagi anak didik untuk diberi kesempatan mengadakan interaksi dan dialektika dengan sebuah realita yang lebih membebaskan.
Ivan Illich (2000) lewat bukunya Deschooling Society bahkan melihat perlunya masyarakat dibebaskan dari belenggu sekolah. Yaitu suatu kebebasan dari kecendrungan masyarakat yang menganggap bahwa sekolah hanyalah satu-satunya sebagai lembaga pendidikan dan sumber pengetahuan ilmu. Untuk itu, untuk menolong anak didik memiliki kesadaran akan sebuah realitas, maka lembaga sekolah yang ada harus memberikan pengajaran yang berbasiskan realitas kehidupan. Bukan jauh dari realitas atau antirealitas.
Suatu realitas yang ditangkap dengan intelek akan selalu berubah terus, dinamis dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu, ruang maupun bidangnya (Musa Asy'arie, Kompas, 9 Juli 2002). Sebab itu teori atau rumusan dalil yang dipelajari dan diberikan kepada anak didik di sekolah tidak bisa diandalkan sepenuhnya untuk menghadapi realitas itu. Yang diperlukan adalah bagaimana pemahaman anak didik terhadap realitas, bukan bagaimana menghafal teori-teori dan rumusan dalil yang belum tentu sesuai dengan realitas itu sendiri. Untuk mendukung ke arah itu, tentu anak didik diberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan realitas. Bukan sebaliknya terkungkung dengan suasana akademis seharian.
Bukankah fungsi pendidikan pada hakikatnya menolong setiap individu anak didik agar mampu menjadi anggota masyarakat yang baik serta berhasil guna dengan cara mengajarkan pengalaman masa lalu dan pengalaman masa kini kepadanya. Bagaimana mungkin akan diajarkan pengalaman masa lalu dan masa kini bila anak didik sendiri jauh dari praktek (realitas) tempat di mana pengalaman itu berlangsung. Dan pengalaman akan dinamakan pengalaman bila setiap orang pernah melalui dan merasakannya, yaitu dalam sebuah kenyataan hidup.
Berangkat dari pandangan seperti ini, maka gagasan program fullday sangatlah kurang --kalau tidak setuju dikatakan tidak-- sesuai dengan prinsip realitas kehidupan yang selalu berubah dan dinamis. Kehidupan yang akan dilalui bagi anak didik ke depan bukanlah kehidupan yang dibentuk oleh sebuah kondisi sekolah, lebih dari itu beraneka corak realitas akan ditemuinya. Dengan demikian, saatnya sekolah melakukan gerakan kesadaran tentang adanya sebuah realitas kehidupan ("sekolah kehidupan") yang menentukan sebuah keberhasilan dan kesuksesan, tentu, dengan cara "mengembalikan" anak-anak ke realitas kehidupan itu sendiri.
Wallahua'lam.***
Lidus Yardi SPd adalah Peminat masalah sosial-keagamaan,
Bermastautin di Riau.
Saya Lidus Yardi SpdI setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .