Pengertian Perempuan
Semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan keadilan. Begitu juga dengan Islam. Islam sangat menekankan pentingnya keadilan tersebut, seperti firman Allah pada Surat Al‑Maidah ayat 8, yang berbunyi:
$
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Maidah :8)
Al-Qur'an, sebagai prinsip‑prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut, mencakup berbagai anjuran untuk menegakkan keadilan teologis (agama), ekonomi, politik, budaya, kultural termasuk keadilan gender.[1] Secara diskrit, di dunia ini yang diakui sebagai manusia "lumrah" adalah manusia yang berjenis kelamin laki‑laki dan perempuan. Meskipun menyandang predikat sebagai manusia "lumrah", akan tetapi terdapat ketimpangan di antara keduanya, represi (penindasan) yang sungguh luar biasa. Laki‑laki menguasai perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, ini adalah realitas yang tidak bisa ditolak oleh siapapun.[2]
Perempuan merupakan makhluk lemah lembut dan penuh kasih sayang karena perasaannya yang halus. Secara umum sifat perempuan yaitu keindahan, kelembutan serta rendah hati dan memelihara. Demikianlah gambaran perempuan yang sering terdengar di sekitar kita. Perbedaan secara anatomis dan fisiologis menyebabkan pula perbedaan pada tingkah lakunya, dan timbul juga perbedaan dalam hal kemampuan, selektif terhadap kegiatan‑kegiatan intensional yangbertujuan dan terarah dengan kodrat perempuan.
Adapun pengertian Perempuan sendiri secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti “tuan”, orang yang mahir atau berkuasa, kepala, hulu, yang paling besar.[3] Namun dalam bukunya Zaitunah Subhan[4] perempuan berasal dari kata empu yang artinya dihargai. Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari wanita ke perempuan. Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sanskerta, dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsuai atau merupakan objek seks. Jadi secara simbolik mengubah penggunaan kata wanita ke perempuan adalah megubah objek jadi subjek. Tetapi dalam bahasa Inggris wan ditulis dengan kata want, atau men dalam bahasa Belanda, wun dan schen dalam bahasa Jerman. Kata tersebut mempunyai arti like, wish, desire, aim. kata want dalam bahasa Inggris bentuk lampaunya wanted. Jadi, wanita adalah who is being wanted (seseorang yang dibutuhkan) yaitu seseorang yang diingini.[5] Sementara itu feminisme perempuan mengatakan, bahwa perempuan merupakan istilah untuk konstruksi sosial yang identitasnya ditetapkan dan dikonstruksi melalui penggambaran.[6] Dari sini dapat dipahami bahwa kata perempuan pada dasarnya merupakan istilah untuk menyatakan kelompok atau jenis dan membedakan dengan jenis lainnya.
Para ilmuan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau dari segi kekuatan fisik maupun spiritual, mental perempuan lebih lemah dari laki‑laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya.[7] Sedangkan gambaran tentang perempuan menurut pandangan yang didasarkan pada kajian medis, psikologis, dan sosial, terbagi atas dua faktor, yaitu faktor fisik dan psikis.
Secara biologis dari segi fisik, perempuan dibedakan atas perempuan lebih kecil dari laki‑laki, suaranya lebih halus, perkembangan tubuh perempuan terjadi lebih dini, kekuatan perempuan tidak sekuat laki‑laki dan sebagainya. Perempuan mempunyai sikap pembawaan yang kalem, perasaan perempuan lebih cepat menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan berat.[8]
Sementara Kartini Kartono mengatakan, bahwa perbedaan fisiologis yang alami sejak lahir pada umumnya kemudian diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat istiadat, sistem sosial‑ekonomi dan pengaruh-pengaruh pendidikan.[9] Pengaruh kultural dan pedagogjs tersebut diarahkan pada perkembangan pribadi perempuan menurut satu pola hidup dan satu ide tertentu. Perkembangan tadi sebagian disesuaikan dengan bakat dan kemampuan perempuan, dan sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat‑pendapat umum atas tradisi menurut kriteria‑kriteria, feminis tertentu.
Seorang tokoh feminis, Mansour Fakih mengatakan bahwa manusia baik laki‑laki dan perempuan diciptakan mempunyai ciri biologis (kodrati) tertentu. Manusia jenis laki‑laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (Jawa: kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti, rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui (payudara). Alat‑alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki‑laki dan perempuan selamanya dan tidak bisa ditukar.[10]
Dalam konsep gendernya dikatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki‑laki maupun perempuan merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural.[11] Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, kasih sayang, anggun, cantik, sopan, emosional atau keibuan, dan perlu perlindungan. Sementara laki‑laki dianggap kuat, keras, rasional, jantan, perkasa, galak, dan melindungi. Padahal sifat‑sifat tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Berangkat dari asumsi inilah kemudian muncul berbagai ketimpangan diantara laki‑laki dan perempuan.
Konstruksi sosial yang membentuk pembedaan antara laki‑laki dan perempuan itu pada kenyataannya mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan. Pembedaan peran, status, wilayah dan sifat mengakibatkan. perempuan tidak otonom. Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memilih dan membuat keputusan baik untuk pribadinya maupun lingkungan karena adanya pembedaan‑pembedaan tersebut. Berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan tersebut adalah, subordinasi, marginalisasi, stereotipe, beban ganda dan kekerasan terhadap perempuan.[12]
Secara eksistensial, setiap manusia mempunyai harkat dan martabat yang sama, sehingga secara asasi berhak untuk dihormati dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya. Secara mendasar, Hak Asasi Manusia meliputi, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak untuk memiliki sesuatu, serta hak untuk mengenyam pendidikan. Ketiga hak tersebut merupakan kodrat manusia. Siapapun tidak boleh mengganggu dan harus dilindungi.[13]
Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia adalah makhluk Tuhan yang satu, memiliki derajat yang sama, apapun latar belakang kulturnya, dan karena itu memiliki penghargaan yang sama dari Tuhan yang harus dihormati dan dimuliakan. Maka, diskriminasi yang berlandaskan pada perbedaan jenis kelamin, warna kulit, kelas, ras, teritorial, suku, agama dan sebagainya tidak memiliki dasar pijakan sama sekali dalam ajaran Tauhid. Hanya tingkat ketaqwaan kepada Allah yang menjadi ukuran perbedaan kelak dihari pembalasan.[14]
Jika kita meneropong realitas sosial Indonesia, lebih‑lebih jika kita fokuskan pada kehidupan kaum perempuan, niscaya yang akan kita temukan adalah sebuah keprihatinan. Mengapa posisi kaum perempuan tidak menguntungkan? Memang, pada satu sisi kita bisa mengatakan bahwa realitas sosial yang tidak menguntungkan kaum perempuan tersebut terkait dengan terlalu dominannya budaya patriarki.
Oleh karena itu, memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan dalam konsepsi kemasyarakatan adalah penting. Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas hidup dan mengangkat harkat martabat perempuan adalah pemberdayaan perempuan.
[1] Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Cet. IX (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 135
[2] Syafiq Hasyim, Pengantar Feminisme dan Fundamentalisme Islam Cet. I. (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. v
[3] Herman Saksono, Pusat Studi wanita (http/www.yoho.com, diakses 24 November 2005)
[4] Zaitunah Subhan, Qodrat Perempuan Taqdir atau Mitos (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 1.
[5] Kamus Besar bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 448
[6] Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2002), hlm. 501
[7] Murtadlo Muthahari. Hak‑hak Wanita dalam Islam (Jakarta: Lentera, 1995), hlm. 107
[8] Ibid,, hlm. 108‑110
[9] Kartini Kartono, Psikologi Wanita, Mengenal Gadis Remaja dan wanita Dewasa (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 4
[10] Mansour Fakih, loc. cit. hlm. 8
[11] Mansour Fakih, loc. cit hlm. 9
[12] Dwi Ambarsari, Kebijakan Publik dan Partisipasi Perempuan Cet. I (Surakarta: Pattiro, 2002), hlm. 3
[13] Trisakti Handayanirakat, Memperjuangkan Hak Asasi Perempuan, dalam Suara Wanita, Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan. Universitas Muhammadiyah Malang. 1996. hlm. 9
[14]Hussein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2004), Hlm. 11