HAJI DALAM PERSPEKTIF SOSIAL

HAJI DALAM PERSPEKTIF SOSIAL

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Studi Islam Interdisipliner

Dosen Pengampu:

Dr. H. M. SA’AD IBRAHIM, M.A

Oleh:

Moh. Zainul Fajeri

NIM: 15741005

PROGRAM PASCA SARJANA (S3)

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2016

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menunaikan ibadah haji adalah memenuhi panggilan Allah SWT, sebagai kewajiban karena merupakan rukun islam. Tetapi banyak umat muslim yang menganggap remeh, meskipun dalam segi bekal dan kondisi keamanan memungkinkan, namun ada sebagian yang enggan melaksanakannya. Allah SWT berfirman, “melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup melaksanakan perjalanan ke Baitulloh. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (Allah tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.”

Banyak ulama’ menafsirkan kata-kata “manistatho’a” yang di dalamnya terkandung pegertian mampu jasmani, rohani, bekal, dan mampu melaksanakan amalan-amalan ibadah haji. Tidak sekali-kali mengandalkan bantuan orang lain, tidak mengandalkan uang (diupahkan) dalam melaksanakan ibadah haji. Mampu dalam rohani maksudnya mengetahui, memahami cara-cara melaksanakan ibadah haji. Mampu bekal maksudnya mampu membayar biaya perjalanan haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan sehingga selama berangkat haji tidak sampai kekurangan, atau setelah pulang haji tidak menjadi lebih miskin.

Dalam era yang semuanya didasarkan kepada realita ilmiah, ritual ibadah haji mendesak untuk dimaknai dengan pengertian-pengertian realistis yang semakin memperkuat keyakinan umat Islam, bahwa haji sebagai tiang Islam yang teramat urgen. Urgensi ini dimaksudkan untuk menandingi sebagian pemeo yang menyatakan bahwa haji tak memiliki relevansi terhadap realitas kekinian.

Untuk membicarakan masalah ibadah haji dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan apa yang terjadi dalam perilaku bagi setiap muslim yang telah menunaikan ibadah haji, setidaknya kita buka kembali kepada suatu tarikh Islam, dimana suatu saat ada seorang sahabat Nabi Muhammad saw mempertanyakan mengenai amalan apa dan bentuk jihad bagaimana yang paling istimewa di hadapan Allah Azza Wa Jalla, beliau menjawab yaitu hajjun mabrurun, atau yang lazim kita sebut haji mabrur.

Guna mengetahui dan memahami alasan tentang mengapa haji yang mabrur merupakan bentuk amalan dan jihad yang istimewa dalam Islam, dapat kita pelajari dari segi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri yang sarat dengan simbol-simbol dan penuh makna serta mendatangkan berbagai manfaat yang positif di kemudian hari, baik manfaat atau pengaruh dalam aspek perubahan perilaku diri, aktivitas sosial keagamaan, ekonomi dan sebagainya

B. Rumusan Masalah

  1. Apa hakikat ibadah haji?
  2. Apa saja rahasia-rahasia di balik ibadah haji?
  3. Bagaimana haji dalam perspektif sosial?

C. Tujuan Pembahasan

  1. Untuk mengetahui hakikat ibadah haji
  2. Untuk mengetahui rahasia-rahasia di balik ibadah haji
  3. Untuk mengetahui makna haji dalam perspektif sosial

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Ibadah Haji

  1. Pengertian Haji

Kata Haji berasal dari bahasa arab dan mempunyai arti secara bahasa dan istilah. Dari segi bahasa haji berarti menyengaja.sedangkan dari segi istilah haji berarti menyengaja mengunjungi Ka’bah untuk mengerjakan ibadah yang meliputi thawaf, sa’i, wuquf dan ibadah-ibadah lainnya untuk memenuhi perintah Allah SWT dan mengharap keridhaan-Nya dalam masa yang tertentu.

Menurut Sayid Sabiq ibadah Haji ialah mengunjungi Mekkah untuk mengerjakan ibadah Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan ibadah-ibadah lain demi memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya.[1] Ibadah haji merupakan salah satu di antara rukun Islam yang lima, dan suatu kewajiban agama yang dapat diketahui tanpa perlu pemikiran lagi. Seandainya ada yang menyangkal hukum wajibnya, berarti ia telah kafir dan murtad dari agama Islam.

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, haji diartikan berkunjung ke suatu tempat untuk tujuan ibadah, dengan pengharapan dapat mengantarkan manusia kepada pengenalan jati diri, membersihkan, dan menyucikan jiwa mereka.[2] Menurut As-syeikh Abdul Qadir al-Jailani di dalam kitab Sirrul Asrar membedakan haji ke dalam dua pengertian, ada pengertian haji menurut syariat dan ada haji menurut thariqat. Menurut beliau haji syariat ialah melakukan ibadah haji ke Baitullah dengan melaksanakan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, sehingga menghasilkan pahala haji. Bila kurang syaratnya, maka kurang pula pahalanya, bahkan membatalkannya. Adapun haji thariqat menurut pendiri Thariqat Qadiriyah ini adalah adanya kecenderungan hati ingin mengambil talqin dari Shahibut-talqin, selanjutnya melaksanakan dzikir dengan lisan serta menghayati maknanya.[3]

Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid sunnah Haji dan Umrah adalah Ifrad haji, membaca talbiyah, berdoa sesudah membaca talbiyah, membaca zikir sewaktu thawaf, salat 2 rakaat sesudah thawaf,dan masuk rumah kecil (ka’bah).[4] Namun berdasarkan penemuan penulis maka dalah sunat-sunat haji ditambah sunat suci dari hadats kecil dan hadats besar.

Pengertian haji, secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa Haji adalahberkunjung ke Baitullah, untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan–amalan yang lain dalam waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzul Hijjah) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT”.

  1. Sejarah Singkat Haji

Haji merupakan ritual yang mula-mula dilaksanakan oleh Ibrahim. Tentu ritual tersebut telah menjadi sebuah ritual yang dikenang dari masa-ke masa. Haji menjadi jalan mulus bagi solidaritas sosial dan pendakian menuju keagungan-Nya. Sebab, ibadah ini merupakan salah satu warisan Ibrahim yang sangat berharga dalam rangka meningkatkan dan memantapkan keyakinan kita tentang pentingnya monoteisme.[5]

Menurut Ali Hasani, haji pertama kali dilaksanakan oleh Ibrahim. Pelaksanaan ibadah tersebut persis dilakukan umat Islam sekarang. Ia memimpin rombongannya untuk membaca talbiyah. Kemudian ia mencium Ka’bah, menjadikan pintu ka’bah di depannya, sedangkan, air zam-zam di sebelah kirinya, lalu tangannya melambai-lambai ke arah Hajar Aswad.[6]

Rumah ini (ka’bah) dengan kenangan-kenangannya, dan negeri yang aman ini (Mekkah), dengan peninggalan-peninggalannya, membuat seorang mukmin mengingat sejarahnya yang panjang dan mengingat pendahulu-pendahulu mereka yang melewati jalan ini, mengingat perjalanan dakwah yang abadi, dan mengingat panji tauhid, sejak dari Nabi Nuh a.s sampai Nabi Muhammad SAW kemudian para da’i yang jujur yang membawa panji ini. dengan demikian, orang yang bertauhid bertaut dengan gelombang iman yang panjang yang akarnya tertancap di dalam sejarah. Perjalanan tauhid dan dakwah kepada Baitullah adalah selama perjalanan kemanusiaan. Seseorang, dengan mendatangi Baitullah, seolah-olah memastikan perjalanan yang panjang, dalam, kuat, dan diberkahi.[7]

  1. Rahasia-rahasia di Balik Ibadah Haji
  2. Aspek Kesehatan

Terdapat sebuah kisah yang menceritakan tentang seseorang yang mencari ruangan untuk mengadakan pengobatan massal. Ia bukan seorang dokter melainkan seorang penyembuh dengan menggunakan tenaga supranatural. Dia seorang non muslim. Ia menyewa hall di suatu tempat dan lantas memberikan komentar yang agak mengherankan, ia mengatakan ruangan ini cocok untuk kegiatan semacam pengobatan dan berdoa, karena mengandung energi positif. Dan ternyata ruangan tersebut setiap minggu nya, selalu digunakan untuk melakasanakan shalat jum’at. Jadi, ternyata energi-energi akibat orang berdoa dan shalat disana masih terus membekas di sekeliling ruangan.

Secara ilmiah dan praktis, ternyata memang bisa dibuktikan bahwa energi-energi positif yang dihasilkan dari kegiatan peribadatan bisa digunakan untuk perobatan. Dalam keadaan normal, sistem energi seseorang dikatakan stasioner. Sebaliknya ketika sakit, sistem energinya mengalami gangguan. Untuk menyembukannya, maka kita harus menstabilkan kembali kekacauan sistem energi di dalam tubuhnya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memasukan energi positif dari luar tubuh oranag yang sakit itu, dengan fungsi untuk mengatur kembali susunan energinya.

Ketika seseorang berdekatan dengan ka’bah dalam ibadah haji, maka sebenarnya dia telah berada di dekat sumber energi positif yang sangat dahsyat. Jika mau maka dia bisa melakukan pengobatan dirinya dengan menggunakan sistem energi ka’bah tersebut. Tentu saja dia harus mengikuti tatacara tertentu.

  1. Yang paling mendasar, dia harus membuka hatinya dengan penuh keyakinan dan keikhlasan. Seseorang yang tidak yakin dan tidak ikhlas, maka sama saja dia tidak membuka hatinya untuk menjadi resonansi energy positif dari ka’bah. Karena, pintu keluar-masuknya energy tersebut adalah lewat hati secara resonansi. Sebagaimana sabda Rasulullah : innamaa al a’malu binniyati. Yang artinya sesungguhnaya amal perbuatan kita bergantung pada niatnya.
  2. Dia harus meyakinkan pada dirinya bahwa permintaan itu hanya diajaukan kepada Allah. Bukan pada ka’bah. Sistem energy ka’bah itu hanya menjadi pintu keluar-masuknya energy positif.
  3. Mintalah sepenuh hati dan secara spesifik menyabut hajat yang kita tuju, dengan terlebih dahulu memuji-muji Allah lewat Asma’ul Husna yang sesuai dengan permintaan kita itu, sambil merendahkan diri di hadapan-Nya. Misalnya, kalau kita minta kesembuhan sakit kita, maka pujilah Allah sebagai Dzat Yang Maha Mengobati. Atau sebut Ya Razzaq untuk memohon rezeki, dan lain sebgainya.
  4. Sebaiknya doa kita diajukan sesudah kita melalukan thawaf dan shalat. Power yang keluar akan semakin besar. Dan tentu semakin mustajab. Karena salah satu kondisi yang mustajab adalah berdoa di dalam atau sesudah shalat.
  5. Dan yang terakhir lakukanlah doa itu berulangkali, dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Karena semakin sering kita berdoa, maka energynya kana semakin besar. Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar dan penuh keikhlasan.[8]

Meskipun demikian alangkah baiknya pelaksanaan ibadah haji pemerintah dan panitia haji perlu menyelenggarakan sistem menajemen kesehatan yang sesuai bagi mereka yang mengikuti ritual ibadah haji. Udara yang sangat panas, himpitan keramaian kerumunan manusia yang menyemut, dan aktivitas fisik yang dapat membuat daya tahan orang menurun. Kerentanan terhadap penyakit dapat meningkat bagi orang-orang tertentu. Mereka yang melaksanakan ibadah haji juga semakin mengalami kecelakaan. Beberapa orang mungkin meninggal dalam pelaksanaan ibadah ini. Dengan demikian, tim kesehatan harus bersiap-siap menjaga kesehatan dan keselamatan ibadah haji.[9]

Namun secara umum air mempunyai manfaat sangat banyak. Bukan hanya bagi tubuh manusia, teernyata air juga bisa menyimpan informasi seperti fungsi sebuah CD. Menurut keterangan medis, air zam-zam memiliki fungsi sebagai penjaga dan vitalitas tubuh, membantu kelancaran fungsi ginjal dalam tubuh, menormalkan suhu badan, menetralisir berbagai toksin dalam darah, dan masih bnyak lagi.[10]

Air zam-zam tidak hanya diminum tatkala haus, namun mempunyai keistimewaan yang tidak mungkin dimiliki air lainya. Secara medis dan sudah teruji di laboratorium, air zam-zam mempunyai kandungan yang luar biasa. Sekitar lima ribu tahun lamanya, namun ia tidak berubah. Sekian banyak tamu-tamu Allah yang telah meminum dan membawanya pulang, bahkan di kirim ke berbagai Negara sejak zaman Nabi sampai saat ini, ternyata zam-zam tak pernah kering. Berbagai jenis penyakit, mulai dari penyakit berat sampai penyakit ringan bahkan penyakit hati dengan izin Allah, bisa disembuhkan dengan berkah air zam-zam. Hal ini telah dibuktikan oleh tamu-tamu Allah yang datang dari berbagai negeri.[11]

Di samping ada yang berharap dengan meminum zam-zam juga mendapat kecerdasan dan kepandaian. Apalagi ilmu-ilmu keislaman pada umumnya melalui mekanisme penghafalan. Sebab itu tidak sedikit yang berkeyakinan dengan meminum zam-zam juga diberi kemudahan dalam menghafal.

Salah satunya adalah seorang ulama besar, Jalaludin al-Suyuti dalam bukunya, husn al muhadharah fi akhbari mishr wa al-qohirah, ia menyatakan “aku banyak melanglang buana ke berbagai kota, antara lain: Yaman, Mesir, Maroko, dan Mekkah. Saat aku menunaikan haji, aku minum air zam-zam dengan niat agar tingkat keilmuanku dalam fikih sejajar dengan Sirajuddin al-Baqilaniy”. Dan dalam ilmu hadist sejajar dengan Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy”. Apa yang diyakini oleh al-Suyutin telah terbukti, karena ia menjadi ulama besar keilmuannya sangat dibanggakan dalam sejarah Islam.[12]

  1. Aspek perilaku

Haji mabrur merupakan dambaan setiap muslim yang menunaikan ibadah haji, dan dambaan haji mabrur itu hanya dituntut untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam bentuk pengalaman ibadah sesuai dengan syariah dan tanggungjawab sosial yang lebih dari sebelum berkeinginan dan sepulangnya berhaji. Transformasi budaya prilaku dan budaya ke arah yang lebih baik dan berkualitas dari sebelumnya ini merupakan asset abstrak yang dapat mengubah tatanan kehidupan ke arah yang sejahtera baik untuk membangun diri seutuhnya, orang lain, dan lingkungannya. Keluarga yang sejahtera berlandaskan nilai-ilai ajaran agama akan membangun lingkungan yang sejahtera dan melahirkan tatanan masyarakat yang shaleh, dan pemerintahan yang adil.

Jama’ah haji dan orang yang telah menunaikan haji merupakan salah satu modal besar pembangunan nasional yang potensial untuk mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, beretika, bermoral, berbudaya dan beradab sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.[13]

Selain penyakit yang bersifat fisik, energy ka’bah ini sangat mustajab untuk mengobati penyakit hati. Penyakit hati adalah seluruh sikap hati kita yang tidak diridhai Allah. Misalnya sifat sombong, angkuh, culas, iri hati, munafik, pemarah, pelit dan lain sebagainya. Hal ini disebut penyakit hati karena akan menimbulkan masalah dalam kehidupan kita secara pribadi, sosial, maupun hubungan kita dengan Allah SWT.

Orang yang melakukan prilaku yang tidak diridhai Allah, melakukan dosa terus menerus akan memunculkan bintik hitam di dalam hatinya. Dan apabila dilakukan berulang-ulang maka hati yang penyakitan akan mengeras, membatu, tertutup dan kemudian terkunci.

Namun dalam pelaksanaan ibadah haji setiap orang akan membiasakan dirinya dengan ahlak –ahlak yang mulia dan berprilaku baik, sebagaimana firman Allah: “Haji adalah pada bulan-bulan yang sudah diketahui, barangsiapa niat berhaji pada bulan-bulan ini, maka tidak boleh berbicara jelek, berbuat fasik dan berdebat (yang tidak perlu) dalam haji. (QS. Al-baqarah ayat: 197)

Barang siapa melakukan ibadah haji ke Baitullah dan tidak berbicara jelek dan berbuat fasik, maka dia akan bebas dari dosa-dosanya sebagaiman ketika dia di lahirkan oleh ibunya. Dalam haji, manusia dilatih untuk bersabar, menahan diri, menjaga ucapan, dan mengekang nafsu amarah. Seseorang akan meninggalkan keluarganya, orang-orang yang dicintainya, dan mengorbankan waktu istirahatnya serta hartanya demi mencari ridha Allah SWT pada saat berhaji.[14]

Ketika seseorang mengetahui bahwa Allah menjanjikan ampunan dosa-dosanya, maka itu akan mendorong dan menguatkannya untuk beribadah dan membuka pintu-pintu harapan orang-orang yang berjuang untuk beribadah.[15]

Pengalaman spiritual dalam berhaji juga memberikan kesan yang mendalam yang sanggup mengubah orientasi spiritual mereka yang mengikutinya ketika kembali ke negaranya masing-masing. Banyak diantaranya yanag berhenti menggunakan obat-obatan terlarang dan lebih rajin melakukan shalat dan kewajiban religius lainnya. Dalam beberapa masyarakat muslim, titel “Haji” atau “Hajjah” yang dipergunakan oleh orang yang telah melakukan ritual ini, dapat memberikan tanggungjawab pribadi bagi dirinya. Mereka dituntut lebih untuk melalukan perbuatan yang lebih baik dan menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah. Dengan demikian, mereka dapat melakukan kebaikan atau perilaku yang dilarang Allah. Dengan demikian, mereka dapat melakukan kebiasaan atau perilaku sehat dengan gaya hidup islami.

Seseorang yang melakukan ibadah haji masing-masing akan memperolah kenikmatan tersendiri dalam taqarrub, ibadah dan bertaubat kepada Allah SWT. Perjalanan ibadah haji, mulai dari manasik hingga kepulangan ditanah air menyimpan kenangan beribu kenangan indah. Sebuah kepuasan ritual bagi seorang anak manusia yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dan hasilnya, Allah memberikan kenikmatan indah tersebut kepada sang hamba. Setiap jamaah haji yang pulang dari tanah suci rata-rata menyatakan keinginannya suatu saat kembali lagi menunaikan rukun islam yang kelima itu.

Adapun hikmah terbasar dalam ibadah haji adalah untuk lebih memantapkan aqidah dan keyakinan terhadap kebesaran dan keagungan Allah SWT. Dengan menyaksikan semua kebesaran Allah maka iman dan aqidah kita menjadi kuat, InsyaAllah kedepan aqidah yang kuat tersebut akan menjadi bekal utama kita menjalani hidup makin bertambah baik di tanah air.[16]

Dan dalam haji terdapat kalimat talbiyah Setiap jama’ah haji membaca talbiyah berkali-kali sampai maknanya betul-betul masuk ke dalam relung hati. Kalimat tersebut yaitu “labaika allahuma labbayka. Labbayka la syarika laka labbayka. Inna al-hamda wa al-ni’mata laka wa al-mulk, la sayrika lak” (Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Segala puji, nikmat, dan kekuasaan adalah milik-Mu).

Kalimat yang indah dan enak didengar, kalimat talbiyah ini memilki daya sentuh yang sangat lembut sehingga membangkitkan yang tersembunyi dalam jiwa dan hubungannya dengan sang pencipta, talbiyah adalah simbol tauhid dan keikhlasan dalam beribadah. Tauhid adalah sifat muslim, baik sebagai pribadi maupun kelompok. Tauhid adalah kesatuan dalam aqidah dan pikiran, kesatuan barisan, dan kesatuan tujuan.

Penyataan tauhid dalam yang terdapat dalam talbiyah yang diucapkan berkali kali menghubungkan setiap amal seseorang dengan balasan ukhrawi yang jauh lebih besar dari pada balasan duniawi. Selain itu, tauhid dapat memperbaiki perilaku dan menjadikan orang bersikap amanah dan ikhlas dalam menghadapi segala sesuatu. Itulah kesempurnaan kondisi batin yang senantiasa diawasi tuhan. [17]

  1. Aspek ekonomi

Di antara maksud dan tujuan penyelenggaraan ibadah haji adalah agar umat manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. Para ulama menyebutkan di antara manfaat yang disaksikan dalam ibadah haji adalah manfaat perniagaan yang terjadi dalam musim haji. Akan tetapi Ibnu Jarir at-Thabari berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud tidak terbatas pada perniagaan saja. Jika kita memperhatikan secara dalam, kita menyaksikan bahwa manfaat yang ada dalam ibadah haji memang manfaat yang tanpa batas. Bahkan banyak persoalan yang sulit dipecahkan di hari-hari biasa, dapat diselesaikan dengan mudah pada musim haji.

Datangnya orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah telah membuka lahan perekonomian yang begitu luas antara lain industri manufaktur, karpet, roti, toko buku, agen travel, perhotelan dan perbankan.[18]

Secara ekonomi, haji memberikan manfaat kepada umat Islam, bahkan sebelum haji itu sendiri dilaksanakan. Tanpa haji seorang muslim tidak akan berpikir dan berusaha untuk mengumpulkan uang yang cukup untuk melakukan perjalanan yang relatif mahal itu. Haji memberikan motivasi yang kuat bagi umat Islam untuk mengerahkan berbagai potensinya untuk lebih berdaya secara ekonomi.

Dengan demikian kita melihat bahwa haji adalah stimulan yang baik bagi pemberdayaan ekonomi bangsa. Bagi seseorang yang tinggal di kota, hidup dalam suasana keterbukaan informasi dan kehidupan kosmopolitan barang kali ada banyak dorongan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri dengan berbagai tujuan. Tetapi penduduk desa yang tinggal jauh di pedalaman tidak ada pikiran dia harus bepergian jauh ke negeri orang kalau bukan ada kepentingan yang sangat kuat dan motivasi yang serius.

Adapun dalam pengelolaan banyak uang, penyelenggaraan haji menjadi perhatian khusus para pelaku bisnis di Indonesia maupun Arab Saudi. Stimulus perekonomian modern, baik mikro maupun makro, seringkali dijadikan dasar bagi penggunaan dana yang jumlahnya triliyunan rupiah tersebut. Terlibatnya bank umum dalam penerimaan setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) selalu diartikan dengan tindakan investasi untuk memperoleh keuntungan. Maklum, bank merupakan salah satu mata rantai dalam praktik investasi yang bercorak perekonomian tiga sektor sebagai wujud sebuah keseimbangan pendapatan Nasiaonal. Bank dapat mendorong mansyarakat untuk menyetorkan BPIH kepada mereka. Sebagai balas jasanya akan diberikan pendapatan berupa bunga. Biaya tersebut dikumpulkan bank umum dan selanjutnya dipinjamkan kepada individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang membutuhkannya. Sebagian lagi dari biaya itu digunakan untuk membeli saham-saham berbagai perusahaan.[19]

C. Makna Haji Dalam Perspektif Sosial

Ibadah haji merupakan usaha untuk mewujudkan persaudaraan yang sungguh-sungguh sesama kaum muslimin. Tidak pernah terjadi dalam agama manapun dalam satu waktu satu umat berkumpul untuk mengerjakan satu ibadah selain agama islam dalam urusan haji. Hampir 4 juta manusia berkumpul di satu tempat untuk melakasanakan ibadah. Kebersamaan itulah harus dipupuk untuk menumbuhkan rasa persaudaraan sesama muslim. Haji adalah momen penting untuk pertemuan akbar bagi kaum muslimin untuk membicarakan nasib dan keadaannya di berbagai belahan dunia.

Dalam pelaksanaannya, ketika berada di pesawat, di pemondokan, di masjid dan tempat-tempat lainnya dalam ibadah haji akan timbul rasa kebersamaan dengan sesama jamaah. Kebersamaan dalam persaudaraan itu dapat dirasakan dimana saja, seperti ketika ngantri di kamar mandi, makan makanan ketering bersama, thawaf atau lempar jumrah bersama dan lain sebagainya. Tidak jarang setelah pulang haji, terbentuk keakraban dengan sesama jama’ah dimana sebelumnya belum pernah terjadi.

Siapapun yang melaksanakan ibadah haji, mengerjakan ritual-ritualnya akan merasakan sebuah kesederhanaan , kesucian dan kebersihan diri. Bagi orang kaya yang biasa mengenakan baju bagus dan bermerk, saat ibadah haji harus ditinggalkan untuk mengenakan kain ihram. Semuanya serba putih. Sederhana dan suci, pakaian dan ibadah-ibadah dalam haji akan membersihkan dan menyucikan kita. Sepulang di tanah air akan menyingkirkan rasa sombong berganti menjadi kesederhanan.[20]

Adapun makna kemanusian dan pengamalan nilai-nilainya adalah persamaan yang mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Kemanusiaan menjadikan seseorang bermoral, mampu memimpin mahluk lain dalam mencapai tujuan penciptaan, menyadari bahwa ia adalah mahluk dwi dimensi yang harus melanjutkan revolusinya hingga mencapai titik akhir. Makna-makna tersbut dipraktekkan di dalam pelaksanaan ibadah haji yang mencakup berbagai amalannya.

Menurut kenyataan pakaian merupakan pembeda antara seseorang dengan yang lainnya. Pembedaan tersebut dapat membawa antara lain kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh kepada pemakainya. Dengan demikian pengaruh-pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian pun harus ditinggalkan sehingga semua merasa satu dalam kesatuan dan persamaan.[21]

Hadirnya lembaga atau organisasi pasca haji, seperti IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) dan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), merupakan salah satu parameter dalam mewujudkan pembangunan tersebut. Pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) di Klaten, Jawa Tengah, SMU unggulan di Bogor, Jawa Barat, Koperasi Haji di Jawa Timur, BPR di Jakarta dan lainnya merupakan kerja nyata para jema’ah haji yang melembagakan diri melalui IPHI dan KBIH serta lembaga sejenis lainnya untuk kegiatan-kegiatan bermotif sosial.

Saat ini banyak bermunculan KBIH serta Tour Haji dan Umrah. Keberadaan KBIH serta Tour Haji dan Umrah ini diharapkan dapat membantu meningkatkan pelayanan terhadap tamu-tamu Allah dengan baik. Namun tidak sedikit KBIH serta Tour Haji dan Umrah yang sekedar bisnis semata, dan akhirnya jamaah haji dan umrah sering kali menjadi komoditas. Kondisi ini memunculkan opini-opini negative terhadap keberadaan KBIH dan Tour Haji dan Umrah tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri jika masih banyak bimbingan haji (KBIH) serta Tour dan Travel yang benar-benar memberikan pelayanan maksimal, di samping itu juga melayani jamaah dengan baik layaknya tamu-tamu Allah SWT. Adanya KBIH dan Tour yang mengedepankan pelayanan ibadah bisa mengantarkan jamaah menjadi haji mabrur.[22]

Umat islam yang besar itu merupakan potensi yang sangat besar pula dalam menggali sumber dana umat, baik melalui zakat, infak, sedekah, maupun wakaf. Sumber dana itu dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus berpotensi memberdayakan umat. Sejarah mencatat, dalam membangun peradaban baru di Madinah, Rasulullah SAW juga menghimpun zakat, infak, dan sedekah, serta wakaf dalam berbagai bentuknya. Tujuannya adalah memberdayakan umat mengentaskan kemiskinan dan mengambangkan dak’wah islam. Rasulullah SAW mewajibkan kaum agniya (orang kaya), yakni orang-orang yang memiliki kelebihan harta, untuk mewakafkan sebgian harta miliknya. Kewajiban ini menjadi salah satu motivasi bagi kaum muslim untuk meningkatkan solidaritas dan keshalehan sosial.[23]

Allah SWT mensyariatkan ibadah haji, sehingga umat islam berkumpul di suatu tempat dengan berbagai jenis suku dan bangsa, suku atau ras yang berjauhan asal negara dan daerahnya. Mereka datang dari berbagai negara, mereka berjuta-juta membanjiri tanah haram.

Meningkatnya animo keberagaman harus sejalan dengan meningkatnya kesadaran sosial kita. Apalah artinya beribadah, jika orang-orang yang berada di sekeliling kita masih terlantar dan tidak bisa mendapatkan makanan yang layak. Mekkah yang begitu dermawan kepada siapapun harus menjadikan pribadi kita sebagai pribadi yang senantiasa mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap mereka yang lemah dan tertindas.[24]

Mekkah senantiasa akan dikenang dari masa ke masa. Sejarah sudah membuktikan hal tersebut. Hal ini akan menjadi kiblat perubahan sosial, sehingga kita betul-betul mewujudkannya. Memahami dengan baik jejak-jejak perjuangan Ibrahim dan Muhmmad SAW akanm memberikan kita satu motivasi yang sangat kuat agar misi itu bisa disalurkan kepada masyarakat. Pesan ini semakin menegaskan perihal titik temu antara agama-agama yang dibawa oleh ibrahimdan Muhammad SAW. Keduanya menekankan dimensi ketauhidan dan penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Secara lebih khusus ka’bah merupakan monument titik temu yang paling nyata karena semua sepakat bahwa Ka’bah itu di bangun oleh Ibrahim dan Ismail.[25]

Jika dikaji secara filosofis, dengan perkumpulan yang berasal dari berbagai Negara dan bangsa yang jauh itu sudah barang tentu terjadi perkenalan yang jauh dan persahabatan. Misalnya bangsa arab berkenalan dengan bangsa Indonesia, bangsa mesir, bangsa Pakistan, bangsa turki, bangsa Cina dan bangsa Iran, bangsa India, begitu setarusnya dan sebaliknya. Dengan pertemuan dan perkenalan ini mereka menjalin persaudaraan seagama bagaikan saudara kandung seayah dan seibu tanpa ada perbedaan suku atau pun ras.

Ibadah haji, dengan berihram akan melahirkan musawah (persamaan) umat islam seluruh dunia tanpa pandang bulu. Apakah ia berpangkat sebagai kepala Negara, sebagai menteri, gubernur atau rakyat biasa. Di tempat yang suci ini, seluruh umat Islam yang menunaikan ibadah haji ditunjukan bahwa dalam islam status sosial, harta kekayaan, jabatan dan lain-lain di hadapan Allah SWT merupakan sesuatu yang tidak bermakna. Dari sebab itu Islam meletakan ajaran-ajarannya bahwa status sosial, jabatan dan lain-lain tidak boleh menggeser prinsip persamaan yang diajarkannya.

Kecuali kesamaan status dan kesatuan hati, pertemuan itu merupakan Muktamar Ilahi yang agung. Karena dalam pertemuan haji dihadiri oleh ahli-ahli ilmu pengetahuan dan kaum cerdik cendikiwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, ahli-ahli usaha dan administrasi, ahli –ahli keuangan dan ekonomi, ahli-ahli perundang-undangan dan agama, serta ahli-ahli peperangan dan strategi.[26]

Berdasarkan penemuan penulis maka terjadi kenyataan sorang yang beribadah haji mampu menjalankan dengan tanpa kesulitan dan selalu diberi kemudahan oleh Allah SWT. dan mampu mencium Hajar Aswad sebanyak tujuh kali. Hal ini lantaran para keluarga yang di rumah selalu mendoakannya, bahkan mengundang para tetangga untuk membacakan Fatihah 11 kali, surat al-Ikhlash 11 kali, surat al-Falaq dan an-Naas, masing-masing 11 kali, kemudian membaca surat Yasin sekali an ditutup dengan shalawat Munfarijah 21 kali.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

  1. Hakikat Haji adalahberkunjung ke Baitullah, untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan–amalan yang lain dalam waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzul Hijjah) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT”.Menurut Sulaiman Rasjid sunnah Haji dan Umrah adalah Ifrad haji, membaca talbiyah, berdoa sesudah membaca talbiyah, membaca zikir sewaktu thawaf, salat 2 rakaat sesudah thawaf,dan masuk rumah kecil (ka’bah). Namun berdasarkan penemuan penulis maka dalam sunat-sunat haji ditambah sunat suci dari hadats kecil dan hadats besar.
  2. Rahasia dibalik ibadah haji:
    1. Aspek kesehatan yaitu di dalam ka’bah terdapat energy positif yang luar biasa yang mampu untuk meningkatkan energy seseorang. Kandungan mineral yang besar sehingga dapat digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit bahkan penyakit hati sekaligus.
    2. Aspek peilaku, seorang setelah menunaikan ibadah haji akan meningkat keshalehannya dan keimanannya. Karena sewaktu haji dilatih untuk selalu berbuat baik. Selain itu, tauhid dapat memperbaiki perilaku dan menjadikan orang bersikap amanah dan ikhlas dalam menghadapi segala sesuatu.
    3. Aspek ekonomi yakni Datangnya orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah telah membuka lahan perekonomian yang begitu luas antara lain industri manufaktur, karpet, roti, toko buku, agen travel, perhotelan dan perbankan.

3. Haji dalam Perspektif Sosial

  1. Kebersamaan dalam haji itulah dapat menumbuhkan rasa persaudaraan sesama muslim.
  2. Haji adalah momen penting untuk pertemuan akbar bagi kaum muslimin untuk membicarakan nasib dan keadaannya di berbagai belahan dunia.
  3. Hadirnya lembaga atau organisasi setelah menunaikan haji, seperti IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) dan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), merupakan salah satu parameter dalam mewujudkan sosial pembangunan.
  4. Haji merupakan perkumpulan yang berasal dari berbagai Negara dan bangsa yang jauh itu sudah barang tentu terjadi perkenalan yang jauh dan persahabatan.
  5. Pertemuan haji itu merupakan Muktamar Ilahi yang agung. Karena dalam pertemuan haji dihadiri oleh ahli-ahli ilmu pengetahuan dan kaum cerdik cendikiwan, ahli-ahli pendidikan dan kebudayaan, ahli-ahli usaha dan administrasi, ahli –ahli keuangan dan ekonomi dll.
  6. Ibadah haji, dengan berihram akan melahirkan musawah (persamaan) umat islam seluruh dunia tanpa pandang bulu. Apakah ia berpangkat sebagai kepala Negara, sebagai Menteri, Gubernur atau rakyat biasa.
  7. Berdasarkan penemuan penulis maka terjadi kenyataan sorang yang beribadah haji mampu menjalankan dengan tanpa kesulitan dan selalu diberi kemudahan oleh Allah SWT. dan mampu mencium Hajar Aswad sebanyak tujuh kali. Hal ini lantaran para keluarga yang di rumah selalu mendoakannya, bahkan mengundang para tetangga untuk membacakan Fatihah 11 kali, surat al-Ikhlash 11 kali, surat al-Falaq dan an-Naas, masing-masing 11 kali, kemudian membaca surat Yasin sekali an ditutup dengan shalawat Munfarijah 21 kali. Sehingga do’a keluarga dan para jama’ah yang ada di rumah juga mudah dikabulkan oleh Allah SWT.

B. Saran

Dengan demikian haji merupakan ibadah mahdhah yang menjadi rukun islam, namun dampaknya sangat besar bagi kemajuan sosial. Sehingga harapannya semakin banyak umat islam bersatu dalam melaksanakan haji maka akan semakin kuat ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah Wathaniyah.


Daftar Pustaka

al-Jailani, Syeikh Abdul Qadir. Sirrul Asrar. Trjmh. K.H. Zezen Zaenal Abidin.

al-Suwaydan, Tariq Muhammad. 2007. Rahasia Haji dan Umrah. Jakarta. Zaman.

az-Zahrani, Nashir Ibn Musfir. 2004. Indahnya ibadah Haji. Jakarta; Qisthi Press.

Bisri, Musthofa. Dkk. 2012. Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia. Direktorat Jendral Penyelenggaran Haji dan Umroh.

Farid, Ishak . 1999. Ibadah Hajii dalam Filsafat Hukum Islam. Jakarta; PT Rineka Cipta.

Hasan, Aliah B. Purwakania. 2008. Pengantar Psikologi Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Irsyad, Abd. Adzim. 2009. Makkah (Keajaiban Dan Keagungan Kota Suci). Jakarta: A+Plus Books

Mustofa, Agus. 2003. Pusaran Energi ka’bah, Surabaya: PADMA Press.

Saleh, A. Chunaini. 2008. Penyelenggaraan Haji Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Alvabet Anggota IKAPI.

Shihab, M. Quraish . Haji Bersama M. Quraish Shihab Panduan Praktis Menuju Haji Mabrur.

Sholikhin, Muhammad. 2013. Keajaiban Haji dan Umrah. Jakarta: Erlangga.



[1] Sayid Sabiq, Fikih Sunah, Jilid 5, hlm.31.

[2] M. Quraish Shihab, Haji Bersama M. Quraish Shihab Panduan Praktis Menuju Haji Mabrur, hlm. 83.

[3] Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul Asrar. Trjmh. K.H. Zezen Zaenal Abidin, hlm. 133-134.

[4] Sulaiman Rasjid, 2013, Fiqih Islam,Bandung : Sinar Baru Algesindo, Hlm: 262.

[5] Zuhairi Misrawi, 2009, Mekkah (Kota Suci Kekuasaaan dan Teladan Ibrahim, Jakarta: Kompas, hlm. 314.

[6] Ibid., hlm. 135.

[7] Nashir Ibn Musfir az-Zahrani, 2004, Indahnya ibadah Haji, Jakarta; Qisthi Press, hlm. 78

[8] Agus Mustofa, 2003, Pusaran Energi ka’bah, Surabaya; PADMA Press, hlm 150-153

[9] Aliah B. Purwakania Hasan, 2008, Pengantar Psikologi Islami, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, hlm.164

[10] Abd. Adzim Irsyad, 2009, Makkah (Keajaiban Dan Keagungan Kota Suci), Jakarta: A+Plus Books, hlm. 155.

[11] Ibid, hlm. 161.

[12] Misrawi, Mekkah (Kota)…, hlm. 271.

[13] Mustofa Bisri, dkk, 2012, Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia, Direktorat Jendral Penyelenggaran Haji dan Umroh, hlm. 281.

[14] Muhammad Sholikhin, 2013, Keajaiban Haji dan Umrah, Jakarta; Erlangga, Hlm. 128.

[15] Musfir, Indahnya Ibadah…, hlm. 81.

[16] Ishak Farid.1999, Ibadah Hajii dalam Filsafat Hukum Islam. Jakarta; PT Rineka Cipta, hlm. 212.

[17] Tariq Muhammad al-Suwaydan, 2007, Rahasia Haji dan Umrah, Jakarta, Zaman, hlm. 114.

[18] Misrawi, Mekkah (Kota)…, hlm. 187.

[19] Mustofa Bisri, dkk, Dinamika dan…, hlm. 278.

[20] A. Chunaini Saleh, 2008, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Alvabet Anggota IKAPI, hlm. 212.

[21] Ibid, hlm. 85.

[22] Irsyad, Makkah (Keajaiban)…, hlm. 187.

[23] Bisri, Dinamika Dan…, hlm. 281.

[24] Misrawi, Mekkah ( Kota)…, hlm. 324.

[25] Ibid, hlm. 322.

[26] Farid, Ibadah Hajii…, hlm. 77

Go to top