Umum

Ajaran Memberi

Sekalipun di kalangan umat Islam banyak orang yang meminta sumbangan, maka sebenarnya ajaran meminta atau mencari sumbangan itu justru tidak ada. Islam menganjurkan terhadap umatnya agar memberi, dan bukan meminta-minta. Dikatakan dalam hadits nabi, bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Artinya member lebih mulia dari pada pihak yang menerima, apalagi menerimanya itu didahului dengan cara meninta-minta.

Islam mengajarkan agar membayar zakat, infaq dan shadaqah. Kegiatan itu adalah merupakan bentuk memberi sesuatu miliknya kepada orang lain. Selain itu, masih ada lagi jenis pemberian, yaitu berkorban, wakaf dan hibbah. Islam penuh ajaran tentang keharusan memberi. Tidak ada anjuran agar seseorang meminta-minta untuk mendapatkian sumbangan.   Komunitas apapun akan menjadi maju, jika di kalangan itu tumbuh budaya atau kebiasaan memberi. Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang menjanjikan kebahagiaan hidup bagi umatnya, baik di dunia maupun di akherat kelak, menganjurkan untuk membiasakan diri selalu berada pada pihak pemberi. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa sebaik-baik orang adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. Lagi-lagi memberi manfaat adalah ajaran memberi.  Pemberian harus dipilihkan yang terbaik. Memberi kepada seseorang bukan dipilihan dari barang-barang sisa. Demikian pula untuk zakat, infaq dan shadaqah. Atau oleh karena telah bersisa, maka sisa-sisa itu diberikan pada orang lain. Qobil putra nabi Adam, qurbannya ditolak, oleh karena apa yang dikorbankan bukan barang yang terbaik. Sebaliknya Habil, qorbannya diterima, oleh karena diniat secara ikhlas dan dipilihkan hartanya yang terbaik.  Memberi juga tidak harus menunggu tatkala seseorang sudah menjadi kaya. Apa saja yang dimiliki yang dibutuhkan oleh orang lain, maka boleh diberikan. Orang miskin juga bisa memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang yang tidak memiliki apa-apa. Dalam keadaan berkekuarangan pun orang bisa bersedekah, memberi kepada orang lain sesuatu yang mungkin bisa diberikan. Senyum pun bisa bermakna shadaqah untuk menggembirakan orang.  Bangsa ini sedang kesulitan untuk menghilangkan kebiasaan buruk, yaitu korupsi. Sehari-hari dikampanyekan perang melawan penyimpangan uang negara. Hasilnya bisa dilihat, misalnya banyak pejabat yang ditangkap, diadili dan dimasukkan ke penjara. Akan tertapi, perbuiatan korupsi ternyata tidak berhenti. Semakin hari, kasus-kasus korupsi semakin banyak. Temuan-temuan yang dihasilkan oleh pihak yang berwajib, tidak menyurutkan perbuatan yang dibenci itu.  Bahkan anehnya, korupsi ternyata masih terjadi di mana-mana, termasuk di kalangan instansi yang bertugas memberantas korupsi itu sendiri. Kita sering mendengar bahwa korupsi juga terjadi di kalangan kejaksanaan, kehakiman, kepolisian, keuangan, BUMN, dan di semua kementerian, baik di pusat hingga di daerah. Akibatnya tidak sedikit polisi, jaksa, hakim, bupati, walikota, gubernur, mantan menteri, diadili dan akhirnya dimasukkan ke penjara.  Banyak sebab yang menjadikan orang melakukan korupsi. Di antaranya karena berkesempatan melakukan korupsi, sedang membutuhkan uang hingga terpasa melakukannya, dan atau memang ada sementara orang baru merasa nikmat tatkala berhasil melakukan kejahatan itu, sehingga korupsi menjadi kesenangan. Selain itu, korupsi dianggap rasional, oleh karena perbuatan itu sekedar mengembalikan uang yang telah dikeluarkan sebelumnya. Seorang yang mendapatkan jabatan dari uang yang telah dibayarkan sebelumnya, maka akan mencari kembalian setelah jabatan tersebut didapat.  Korupsi juga timbul karena kebiasaan menerima. Seseorang akan merasa mendapatkan kenikmatan apabila menerima sesuatu dan bahkan setiap menerima selalu jumlahnya bertambah. Manakala apa yang diterima tersebut, dari waktu ke waktu jumlahnya tetap, maka tidak akan dirasakan sebagai kenikmatan. Jika bulan ini misalnya, ia menerima satu juta, maka bulan berikutnya, agar terasa nikmat, maka jumlah tersebut harus bertambah. Begitu pula pada penerimaan pada bulan-bulan berikutnya, dikehendaki selalu meningkat terus menerus.  Orang biasanya menyukai keadaan selalu berubah-ubah, apalagi soal gaji. PNS dan pejabat yang bergaji tetap, menghendaki agar ada peningkatan. Oleh karena itulah maka, jika tidak ada peningkatan, mereka mencari tambahan itu dengan cara korupsi. Biasanya di instansi atau perusahaan menambah kesejahteraan dengan cara member insentif, honorarium, uang jalan, bahkan di Saudi ada istilah baksis dan lain-lain. Dengan cara itu maka pegawai yang sebenarnya gajinya terbatas, pengahasilannya menjadi lebih hingga kekayaannya mengejutkan banyak orang.  Untuk mengurangi kebiasaan korupsi, sebenarnya bisa ditempuh, salah satunya dengan cara mengubah kebiasaan, yaitu dari terbiasa menerima diubah menjadi kebiasaan memberi. Di kantor-kantor dibudayakan memberi apa yang didapatkan kepada orang lain. Secara sederhana misalnya, pada setiap bulan, ------ bagi mereka yang muslim, gajinya dipotong sebanyak 2,5 % sebagai infaq. Kebiasaan itu harus dimulai dari pimpinan. Mereka harus membiasakan diri untuk memberi, berkorban, infaq, sahadaqah, zakat, hibah dan lain-lain.  Untuk mengurangi kejahatan korupsi, maka ditumbuh-kembangkan suasana memberi dan bukan sebaliknya suasana menerima. Siapapun yang memberi dihargai atau diapresiasi, bukan sebaliknya, ialah selalu mengucapkan selamat kepada orang-orang yang sedang menerima sesuatu. Ucapan selamat semestinya justru diberikan kepada orang yang berhasil memberi sesuatu kepada orang lain. Sukses bagi seseorang bukan tatkala menerima, melainkan tatkala memberi sesuatu, miliknya kepada orang lain. Demikian Islam, adalah mengajarkan tentang memberi dan bukan menerima. Orang yang beruntung adalah mereka yang telah beramal shaleh atau memberi sesuatu yang terbaik. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Go to top