Kebetulan seseorang yang bertempat tinggal di sebuah perumahan, mendapatkan dua jabatan sekaligus, yaitu sebagai ketua RW dan takmir masjid. Perumahan itu dihuni oleh orang-orang yang berpendidikan dan tingkat ekonomi menengah ke atas, di antaranya adalah para dosen, guru, pegawai dan juga mahasiswa yang kost di lingkungan itu.
Menurut pengalaman selama menjabat kedua jabatan itu, ternyata jabatan sebagai takmir jauh lebih sulit dibanding dengan sebagai ketua RW. Padahal jabatan sebagai ketua RW membawahi beberapa RT, dan masing-masing RT terdiri atas puluhan kepala rumah tangga. Di lingkungan RW itu selain terdapat masjid juga ada beberapa mushalla. Mestinya, tugas sebagai takmir jauh kebih ringan, karena hanya mengurus kegiatan ibadah di masjid. Sebagai ketua RW, tugasnya sedemikian banyak dan bermacam-macam. Ketua RW tidak saja melayani kebutuhan surat menyurat yang diperlukan oleh warga, tetapi juga menyelesaikan persoalan warga, misalnya terkait sarana dan prasarana umum yang perlu diperbaiki atau ditambah. Tugat tersebut tidak sulit diselesaikan, biasanya cukup mengumpulkan warga dan atau perwakilannya untuk bermusyawarah dan akhirnya diselesaikan bersama. Pelaksanaan kegiatan teknis juga diserahkan kepada orang yang berkompeten. Sehingga sebagai ketua RW, yang dibutuhkan hanya kepercayaan dari semua warga. Sebaliknya menjadi ketua takmir masjid, tidak sebagaimana jabatan sebagai ketua RW, dirasakan jauh lebih rumit. Banyak problem yang selalu muncul dan harus dihadapi dari waktu ke waktu. Problem ketakmiran kadang tidak bisa segera diselesaikan oleh karena pendapat atau pandangan di antara anggota jamaáh yang berbeda tidak mudah dipersatukan. Mereka ingin memegangi keyakinannya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, sebagai ketua takmir pada setiap tahun harus mengkompromikan perbedaan pendapat tentang jatuhnya hari raya, baik idul fitri atau idul adha. Belum lagi terkait jumlah rakaat dalam shalat tarweh, menentukan penceramah untuk mengisi kegiatan masjid, dan hingga sekecil-kecilnya, misalnya kapan hewan kurban akan diselembelih dan kepada siapa harus dibagikan. Bahkan akhir-akhir ini, arah kiblat yang sudah sekian lama diikuti masih harus dibenarkan. Sedangkan sementara pihak menganggap, arah tersebut sudah benar. Debat tentang hal itu tidak cukup sekali dua kali, untuk mendapatkan kesepakatan. Persoalan lebih rumit lagi terkait dalam menentukan selera penceramah. Sebagian, terutama para orang tua menghendaki dicarikan penceramah yang bisa membawakan materi ceramah yang menyejukkan, damai, dan membawa ketenangan. Sementara anak-anak muda lebih menyukai terhadap penceramah yang mampu membakar semangat, berbicara tentang persoalan penderitaan orang-orang palestina atas perlakukan orang yahudi yang semena-mena. Akhirnya dirasakan, bahwa menjadi takmir masjid tidak semudah menjadi ketua RW. Padahal bukankah seharusnya justru sebaliknya. Mengurus masjid lebih mudah, karena melayani orang-orang yang sedang beribadah. Mereka shalat berjamaáh, dan selalu bermakmum kepada imam yang sama, menghadap kiblat yang sama, dan membaca doa dan bacaan yang sama pula. Tetapi ternyata, orang yang sedang di dalam masjid pun, agaknya tidak selalu mudah disatukan pendapatnya. Memang, tidak semua masjid atau mushalla mengalami atau terjadi kasus-kasus seperti itu. Banyak masjid atau mushalla lain yang jamaáhnya berhasil dengan mudah dipersatukan. Jamaáh masjid yang terdiri atas orang-orang yang berbeda-beda, biasanya tidak mudah disatukan. Namun semestinya, bagi siapapun harus sama-sama menjaga ketenangan, keutuhan, dan kedamaian tempat ibadah. Masing-masing mestinya harus memberikan toleransi terhadap perbedaan, agar terjadi keutuhan dan persatuan jamaáh. Perbedaan dalam pelaksanaan ritual biasanya tidak terlalu mendasar, dan oleh karena itu, persatuan harus diutamakan. Sebab, salah satu fungsi masjid adalah untuk mempersatukan ummat. Sehingga jika fungsi itu bisa diwujudkan, maka menjadi takmir masjid akan lebih mudah daripada menjadi ketua RW. Dan juga aneh, kalau masjid dijadikan rebutan dan atau bahkan pertengkaran. Wallahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang