Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang tidak bisa bahasa Arab boleh melakukan akad nikah dengan bahasa kesehariannya. Karena dia tidak mampu berbahasa Arab, sehingga tidak harus menggunakan bahasa arab.
Sebagaimana orang bisu. Kemudian disebutkan perselisihan ulama tentang akad nikah dengan selain bahasa Arab, yang kesimpulannya:
Akad nikah sah dengan bahasa apapun, meskipun orangnya bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah – menurut keterangan yang lebih kuat –, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qudamah. Dalam hal ini kedudukan bahasa non-Arab dengan bahasa Arab sama saja. Karena Orang yang menggunakan bahasa selain Arab, memiliki maksud yang sama dengan orang yang berbahasa Arab.
Akad nikah tidak sah dengan selain bahasa Arab. Meskipun dia tidak bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. Mereka beralasan bahwa lafadz ijab kabul akad nikah statusnya sebagaimana takbir ketika salat yang hanya boleh diucapkan dengan bahasa Arab.
Akad nikah sah menggunakan selain bahasa Arab, dengan syarat pelakunya tidak bisa bahasa Arab. Jika pelakunya bisa bahasa Arab maka harus menggunakan bahasa Arab. Ini adalah pendapat ketiga dalam madzhab syafii.
Diantara syarat sahnya nikah adalah adanya kejelasan masing-masing pengantin. Seperti menyebut nama pengantin wanita atau dengan isyarat tunjuk, jika pengantin ada di tempat akad. Misalnya, seorang wali pengantin wanita berkata kepada pengantin lelaki “Aku nikahkan kamu dengan anak ini, kemudian si wali menunjuk putrinya yang berada di sebelahnya.” hukum akad nikahnya sah.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Diantara syarat nikah adalah adanya kejelasan pengantin. Karena orang yang melakukan akad dan yang diakadkan harus jelas. Kemudian dilihat, jika pengantin wanita ada di tempat akad, kemudian wali mengatakan, ‘saya nikahkan anda dengan anak ini’ maka akad nikahnya sah. Karena isyarat sudah dianggap penjelasan. Jika ditambahi, misalnya dengan mengatakan, ‘saya nikahkan kamu dengan anakku yang ini’ atau ‘…dengan anakku yang bernama fulanah’ maka ini sifatnya hanya menguatkan makna.
Jika pengantin wanita tidak ada di tempat akad maka ada dua keadaan: