Motivasi

Kejeniusan dan Hidup Visioner

Menjadi Jenius atau ukuran jeniutas, tidak selalu mesti diukur dari waktu reaksi (time reaction) untuk memahami suatu konsep atau memecahkan suatu masalah. Ukurannnya tidak harus seberapa cepat kita memahaminya, Jika kita butuh 100 kali pengulangan dan itu jalan yang mengantar kita jadi jenius mengapa tidak? Buat apa kejeniusan alamiah/bawaan, tapi cepat puas dengan apa yang diraih, kemudian kemudian bermalas-malasan. Membaca sekali satu hal, karena merasa udah tahu terus pergi tidur. sementara ada orang yang merasa perlu jenius, terus saja mencoba dan mencoba, tanpa pernah mengingat sudah berapa kali dia melakukannya.

Orang ini kemudian secara tidak sadar ada proses yang membentuknya, semakin ketagihan dan mencari lagi yang lain untuk dijeniusi. Orang ini sedang memproses dirinya, memperlebar kemungkinannya untuk jadi jenius, bahkan lebih jenius dari orang yang terlahir jenius. Sebuah proses menuju jenius atau menjenius yang sangat mengasikkan, dan sebelum sampai kesana, mereka telah menemukan banyak kejeniusan yang sebelumnya tidak direncanakan, yakni keuletan, kegigihan, kesabaran, sistematika dalam bernalar, dan banyak lagi. Orang yang berproses menjadi jenius akan mendapatkan lebih banyak lagi kejeniusan sekaligus.

Thomas A. Edison membutuhkan 1000 pengulangan untuk melahirkan dirinya sebagai orang jenius, jika saja dia berhenti di percobaan yang 999, bisa dibayangkan betapa suramnya dunia ini tanpa penerangan, kita akan hidup dalam kegelapan. Dan dunia tak akan pernah mengenal adanya kejeniusan yang terpendam dalam diri manusia yang perlu dibangunkan sebagai raksasa yang sedang tertidur. Edison butuh 1000 kali untuk menemukan kesejatiannya, dunia tidak akan pernah mengenal apalagi mengenang dan memujanya jika saja dia merasa jenius pada percobaannya yang kurang dari 1000.

Edison tidak lahir bersama dengan kejeniusannya dengan membawa lampu ajaibnya, tapi menemukan kejeniusannya untuk melahirkan dirinya sebagai sosok yang mengharumkan dunia. Lampu ajaib yang telah mengubah dunia menjadi ajaib karena mengejar sesuatu yang orang anggap mustahil. Indonesia negeri yang sangat kaya secara alamiah, atau kaya dari bawaan, sayangnya orang indonesia telah merasa kaya duluan, sehingga tidak terlatih untuk menjadi kaya, sementara bangsa lain yang merasa perlu menjadi kaya, terus berlatih untuk jadi kaya, mereka bekerja siang malam hampir tak mengenal waktu, terus berinovasi mencari celah dan peluang, terus menyusun strategi untuk menemukan hukum-hukum efektifitas dan efisiensi, terus belajar untuk bisa survive bukan cuma hari ini, tapi bila perlu 100 abad kedepan.

Karena itu untuk survive mereka terbiasa menabung, sementara kita terbisa menabur dan menghamburkan, kita terbiasa hidup dengan keborosan dan membuang-buang energi secara percuma. Kita membuang waktu secara percuma, kita terlatih bangun siang sehingga waktu kita bekerja dan mencari nafkah semakin sempit, sementara bangsa lain terlatih tidur lebih larut dan bangun lebih pagi, bahkan kalau perlu mereka tidak bangun pagi tapi bangun ketika masih malam, mereka tidur dipenghujung malam dan bangun ketika malam masih ada. Mereka menciptakan waktu mereka lebih luas, sementara kita membiasakan diri menyempitkan waktu, lalu membuat apologi dan menyalahkan waktu. Mereka terlatih menyalahkan diri mereka sendiri ketika gagal meraih sesuatu, sementara kita selalu diajar untuk mencari kambing hitam, mereka terbiasa mengambil keputusan sendiri, sehingga waktu pengambilan keputusannya sangat-sangat cepat, sementara kita memerlukan 1000 kali seminar hanya untuk membuat satu rancangan undang-undang yang pada akhirnya juga dimentahkan, untuk kemudian disahkan pada saat tidak diperlukan lagi.

Mereka terbiasa berpikir jauh kedepan, 100 tahun tahun bahkan 1000 tahun, sementara kita terbiasa berpikir saat ini, karena menganggap segalanya telah tersedia dan tinggal dinikmati (itu dulu), dan sekarang baru terasa efeknya ketika segalanya telah terkuras habis. Kita terbiasa berpikir bagaimana menghabiskan, tentu kita masih sering dengar ungkapan “takkan habis hartanya 7 turunan”, kita diajar untuk menghabiskan (konsumtif) dan bukannya menghasilkan (produktif), kita tidak terbiasa berpikir bagaimana mengembangkan sehingga turunan kita yang ketujuh hartanya tetap bisa dinikmati oleh keturunannya yang ke-14 dan dan keturunan yang ke-14 tadi bisa dinikmati oleh keturunannya yang ke 28, dan seterusnya.

Kita terbiasa bermanja-manja pada alam kita yang kaya, yang mana kebiasaan itu telah memiskinkan striving of succes kita, tumbuh sebagai pribadi yang bermental cengeng, kita terbiasa terlalu banyak berharap pada sesuatu diluar kita, padahal Tuhan telah mengarunia kita kekayaan yang sama ketika lahir. Tuhan maha adil, dan maha penyanyang, hanya saja kita memang perlu terus berlatih untuk mensyukuri kekayaan Tuhan. Tentu saja bentuk rasa syukur tersebut perlu diwujudkan dengan dengan kemandirian, tidak menyusahkan orang, dan terus mengembangkan potensi Tuhan yang dititiskan kedalam diri kita.

Oleh syam suddin

Add comment


Go to top