Syafii Maarif mantan ketua Muhammadiyah mengingatkan kepada orang yang melakukan kampaye itu tidak pantas, dan harus segera ditinggalkan. Bahkan beliau mengambarkan bahwa orang yang mengibaratkan pilpres 2014 ibarat perang Badar itu sangat menjijikkan.
Orang Jawa bilang menjijikkan itu sama dengan ‘’ngilani’’. Sedangkan Din Samsudin mengatakan ‘’menyamakan Pilpres 2014 antara Jokowi dan Prabowo itu kurang arif’’. Kurang arif artinya tidak pantas. Sedangkan orang Malang bilang pernyataan di atas dikategorikan Politisi Katrok. Masak, sesama orang Islam yang berkompetisi menuju RI 1 di ibaratakan perang Badar.
Hasyim Muzadi, Jusuf Kalla, Alwii Sihab, serta beberapa tokoh menyesalkan pengunaan istilah Perang Badar dalam Pilpres tahun 2014. Hampir semua yang menyesalkan itu adalah pendukung dari Jokowi. Kecuali Din Samsudin selaku ketua Muhammadiyah dan juga MUI. Sedangkan para pendukung Prabowo no comment terhadap pernyataan seputar Pilpres 2014 seperti perang Badar.
Dalam catatan sejarah Rosulullah SAW, Perang Badar sebuah pertempuran sengit antara dua kekuatan, yaitau umat islam yang dipimpin langsung oleh Rosulullah SAW dan Kafir Qurais Makkah. Perang Badar adalah perang pertama kali dalam sejarah peperangan Rosulullah SAW. Terjadinya perang ini, karena rasa iri dan dengki kaum Qurais terhadap Rosulullah SAW. Di mana Rosulullah SAW semakin hari semakin kuat, solid, serta semakin banyaknya pengikut Rosulullah SAW. Merasa khawatir serta hasud tingkat tinggi terhadap Rosulullah SAW ahirnya petinggi-petinggi politisi Qurais menyerang dengan pasukan dan senjata penuh Rosulullah SAW di Madinah.
Walhasil, Rosulullah SAW dan kaum muslimin mendapatkan kemenangan. Kemenangan itu bukan terletak pada jumlah pasukan, serta kelengkapan senjata, tetapi karena loyalitas para sahabat dan rasa cinta mereka kepada Rosulullah SAW sebagai junjunganya. Campur tangan Allah SWT, terhadap umat islam begitu jelas, sebagaimana di jelaskan di dalam Al-Quran, bahwa Allah SWT menurunkan pasukan elit dari langit (para malaikat) untuk membantu bala tentara Rosulullah SAW yang sedang berjuang menegakkan agama Allah SWT.
Jika meng-analogikan pilpres 2014 seperti Perang Badar, maka orang yang meng-anologkan sama dengan menyebut lawan politiknya musuh yang harus diperangi. Padahal ini persaingan politik menuju RI 1. Semua tahu, baik Prabowo maupun Jokowi itu sama-sama muslim, dan kedua-duanya sama-sama telah menunaikan ibadah haji dan sudah berziarah ke Madinah.
Ternyata, hampir semua rujukan berita mengisaratkan bahwa orang yang mengatakan istilah Perang Badar itu adalah Prof. Dr. Amin Rais. Apakah serendah sosok politisi gaek ini? Apakah karena sahawat politiknya begitu besar, atau cita-cita menjadi presiden RI sampai saat ini belum kesampaian, sehingga rela mengorbankan segalanya. Yang jelas, sebagai seorang agamawan, politisi, serta pernah memimpin Muhammadiyah, Amin Rais tidak pantas mengeluarkan istilah ‘’Perang Badar’’ dalam pilpres antara Jokowi dan Prabowo.
Jangan-jangan Amin Rais itu keliru, yang di maksud itu bukan Perang Badar, tetapi Perang Bandar. Perang Bandar itu yaitu perang antara elit politik yang haus atas kekuasaan, dengan untuk berkuasa penuh. Tidak perduli bagaimana caranya, yang penting bisa berkuasa, walaupun harus menjatuhkan lawan dengan cara yang licik. Pragmatisme dalam politik yang penting menguntungkan, tidak perduli jika harus menarik manis di atas penderitaan orang lain.
Boleh saja cinta mati kepada Prabowo, dan kemudian membelanya sampai titik darah penghabisan, tetapi tidak boleh mengorbankan kerukunan umat islam yang selama ini dibangun di bumi nusantara. Bukankah Nabi SAW mengatakan:’’ jadilah kalian semua saling bersaudara’’. Barangkali nilai-nilai ajaran Rosulullah SAW sudah hilang karena kebencian terhadap Jokowi, dan cinta Buta kepada Prabowo?
Jokowi sosok Muslim, keluarganya juga muslim semuanya, termasuk Ibunya sosok wanita yang rajin sholat berjamaah di Masjid Muhammadiyah. Bahkan, sebagai seorang Muslim, Jokowi itu sudah pernah menunaikan Ibadah Haji. Dengan demikian, anggapan, tuduhan, fitnahan, serta segala sesuatu yang terkait dengan pribadi Jokowi bukan seorang Muslim itu terbantahkan.
Sementara, Prabowo Subianto itu Muslim juga, hanya saja sebagian keluarganya bukan muslim. Salah satu yang menarik adalah sosok pendiri Gerinda, yaitu Hasyim Djojohadikusumo yang merupakan saudara Prabowo. Sejak awal, Hasyim Djojohadikusumo itu dibantu oleh seorang Pdt. Yacob Nahuway untuk berkeliling menarik simpatik dan dukungan dari ke gereja-gereja. Sosok Pdt. Yacob Nahuway, bukan sekedara Pdt, tetapi memiliki charisma yang sangat tinggi. Beliau adalah Ketua Sinode GBI (Gereja Bethel Indonesia). Semua orang tahu, bahwa BHI adalah gereja karismatik terbesar di Indonesia yang memiliki jaringan kuat di nusantara dan dunia Internasional.
Sedangkan Jokowi yang banyak ditolak, bahkan dihina, karena di anggab bahwa di belakang Jokowi itu PDIP (Megawati). Dengan rincian, PDIP itu kurang bersahabat dengan islam, bahkan terkesan menghalang-halangi berlakunya syariat Islam di bumi Nusantara ini. Banyak sekali data yang menyebutkan bahwa PDIP itu memang terkesan alergi dengan aturan-aturan agama.
Jangan khawatir, pendaping Jokowi itu sosok ketua Dewan Masjid Indonesia, sekaligus tokoh yang memiliki hubungan akrab dengan para ulama nusantara. JK memang bagian dari PBNU. Memang ada guyonan menarik:’’ Jokowi tanpa JK tidak akan mungkin’’. Sebab, Jokowi, jika di buang huruf ‘JK’’ akan dibaca ‘’Oowi’’.
Akannkah Prabowo dikendalikan Hasyim dan Hary Tanoe yang Kristen juga. Kedua-dunya bukan ber-agama islam (Kristen). Tidak mungkin orang beragama itu tidak memiliki ke-inginan untuk mengembangkan agamanya, karena fitrah orang ber-agama itu berusaha bagaimana mengajarkan keyakinan kepada orang lain, sebagai bentuk cinta mereka terhadap tuhan dan nabinya.
Sebaliknya, akankan titipin para ulama Aswaja (Nahdhotul Ulama) kepada Prabowo agar menjaga Faham Aswaja (Ahalussunah wal Jamaah), karena dalam Aswaja terdiri dari masalah akidah, ahlak, dan Syariah (Peringatatan ini di sampaikan oleh para Kyai di Pondok Pesantren Al-Yasini Areng-Areng Wonorejo – Pasuruan-Jatim (Jumat (6/6/2014). Begitulan yang di sampaikan PWNU Jatim.
NU itu organisasi besar dan kuat serta solid. Berkali-kali NU di apusi (ditipu) oleh politisi bangsa ini. NU itu sangat laris manis ketika Pilpres, karena memang masa NU jauh lebih besar dan merata jika di bangdingkan dengan Muhammadiyah, Persis, Al- Irsad dll. Tetapi, karena besar itulah, ahirnya sering di plokoto (diapusi). NU itu ibarat seorang penumpang kendaraan. Sedangkan Gerindra adalah sopirnya. Ketika mobil mogok. Para penumpang (Nahdhotul Ulama) semua turun untuk berusaha mendorong mobil mogok. Ketika mobil sudah jalan, maka para pendorong yang berkeringat dan letih itu ditinggalkan begitu saja.
Politik itu adalah perang strategi, jika hanya sekedar menjadi pendorong mobil mogok. Maka, nanti akan menjadi penonton, bahkan akan mengatakan”’ menyesal aku mendukung Prabowo’’. Tetapi, itulah dunia politik, jika tidak mau terjun dan mendalami dunia politik, maka samapai kapanpun akan menjadi karyawan politik dan tugasnya hanya menjadi pendorong mobil mogok.
Kembali membicangkan Pilpres 2014. Tidak dipungkiri memang, Prabowo masih belum sempurna, karena beliau masih belum menikah lagi. Sementara Jokowi termasuk keluarga yang bagus (sakinah). Semua sepakat, bahwa bagian dari sebuah kesuksesan Negara itu di tentukan oleh dukungan keluarga (istri), bagaimana menjadi kepala keluarga yang baik dan bijaksana. Dengan demikian, Prabowo harus segera mencari pasangan hidup, atau dicarikan istri oleh para pendukung-pendukungya. Jika sampai Pilpres masih menduda, maka orang akan bilang ‘’Apa kata dunia? Apalagi, jika kemudian menjadi presiden RI, kemudian tidak memiliki istri, trus apa kata dunia?
Dan akankah Jokowi akan di kendalikan JK (Jusuf Kalla) yang taat di dalam menjalankan ajaran agamanya. Sehingga peranan Jusuf Kalla lebih dominan, sebagaimana dominasi JK ketika menjadi wakil SBY.
Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan, sebagai warga Indonesia tidak diperbolehkan diskriminasi.Indonesia terdiri dari pulau-pulau, banyak suka bangsa dan bahasa, sebagaimana dalam ikrar sumpah pemuda. Semua bertujuan sama, yaitu menjaga tana air Indonesia. Tidak perduli di belakang Jokowi orang-orang PDIP, tidak perduli juga di belakang Probwo itu Hasyim Djojohadikusumo dan para pendeta. Setiap umat yang bermukim di negeri ini harus menjunjung nilai-nilai moral, serta menjaga keutuhan dan kerukunan antar sesama warga Negara Indonesia.
Jangan saling membenci, juga saling tidak menyapa (satru), jangan saling iri dan dengki, juga jangan saling mengintai secara tidak bersaing secara sportif, dan saling menjatuhkan dengan cara yang menjijikkan. Pesan singkat Rosulullah SAW:’’ jadilah kalian hamba Allah SWT yang saling bersaudara’’. Siapa-pun yang jadi presiden Republik Indonesia, dialah putra terbaik Indonesia. Sekali lagi, jangan sampai berbeda pendapat masalah pilihan capres 2014, kemudian merusak negeri ini cengan cara menganalogikan Pilpres 2014 seperti Perang Badar.
Oleh :
Www.wisatahaji.com