Muhasabah

Belajar dari Ulat


Ia merubah seleranya sebagai pemakan daun menjadi penggemar sari bunga, merubah sifatnya sebagai hama dan penyebar penyakit, menjadi penyebar kehidupan bunga-bunga baru, pembentukan lahan kosong menjadi
taman taman nan indah, merubah mobilitasnya yang lambat melata menjadi penerbang gesit nan lincah.
Alih-alih ditakuti sang ulat menjadi dicari, dikagumi dan di puji oleh mereka yang dulu merasa jijik padanya. Gejala munafik?? Salah besar.

Adalah fitrah manusia untuk mencintai keindahan. Kupu-kupu mewakili penafsiran akan keindahan tersebut, tapi ulat tidak. Kupu-kupu adalah wujud nyata dari sebuah penafsiranlain, bahwa keindahan tidak harus
terlahir dari sesuatu yang indah. Keindahan bisa lahir dari kejijikan, bahkan terkadang bisa lebih indah dari apa yang di lahirkan oleh keindahan itu sendiri.

”... manusia yang baik pada masa jahilliyahnya akan baik pula pada masa Islamnya, jika mereka memahami agama.” Hadits riwayat Muslim ini bisa dikatakan sebagai sebuah motivasi dari Rasulullah bagi mereka
yang berniat sungguh-sungguh untuk mentransformasi dirinya kepada Islam sekaligus menunjukan keutamaan mereka dari manusia lainnya. Mereka lah ”generasi ulat” yang kemudian dicatat sejarah sebagai kupu-kupu penghias taman sejarah Islam. Mereka adalah Umar bin Khatab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Salman al-farisi, dan para mantan ”dedengkot” penjahat Quraisy yang di takuti kekuatannya, kejeniusannya saat jahiliyah maupun saat
Islamnya.

Mereka dalah generasi yang mampu merubah dirinya 180 derajat, merubah penampilannya yang buruk dan kotor menjadi rapi bercahaya. Merekalah generasi dawah yang hanya dengan kesehariannya saja dapat membuat orang tertarik dengan Islam. Mereka juga mampu menjadikan
Al-Quran bukan sekedar doktrin-doktrin utopis belaka, bukan sekedar topik-topik diskusi rumit, tetapi lebih kepada sistem kehidup terbaik yang langsung dapat di amalkan. Jadi tidak lah mengherankan jika Madinah
berkubang khamr, ketika Allah dan Rasul-Nya mengharamkan khamr. Dan dalam hitungan detik pula tidak terlihat lagi sehelai rambut perempuan pun, karena telah tertutup oleh sobekan-sobekan kain ketika Allah dan Rasul-Nya mewajibkan jilbab.

Generasi itu akan tergantikan kecuali oleh mereka yang bersedia untuk totalitas dalam berislam. Tidak memilih dan memilah mana yang mereka anggap baik dan kemudian mencoba ”mendikte” Allah dengan pengamalan syariat seenak perutnya. Asy-Syahid Sayid Qutb telah menegaskan, ”Ambil Islam seluruhnya atai tidak sama sekali!” itu aplikasi atas perintah Allah dalam QS. 2:208 sebagai konsekuensi logis sebuah keimanan, bahwa
pilihan itu hanya dua, beriman totalitas atau menjadi munafiq yang setali tiga uang dengan kairin.

Generasi kita ibaratkan generasi ulat yang menjijikan, membuat manusia menjadi takut dan menghindar, citra Islam pun menjadi negatif. Karena itulah bersyukurlah mereka yang telah berhasil dalam metamorfosisnya,
menjadi mukmin yang hakiki, yang totalitas dalam Islamnya. Bukan mukmin labelis yang bangga dengan julukan tapi pada hakikatnya tetap kepompong.

Wallahualam...

Go to top