BAHASA ITU ARBITRER

Kata Arbitrer bisa diartikan 'sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka'. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Umpamanya, antara [kuda] dengan yang dilambangkannya yaitu "sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai". Kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi [kuda]. Mengapa, misalnya bukan [aduk] atau [akud] atau lambang yang lainnya. Begitu juga, kita tidak dapat menjelaskan hubungan antara lambang bunyi [air] dengan benda yang dilambangkannya, yaitu "barang cair yang biasa dipakai untuk minum, mandi, atau memasak", yang rumus kimianya H2O. Mengapa bukan dilambangkan dengan bunyi [ria] atau [ari]. tidak bisa dijelaskan karena sifat arbitrer itu.

Ferdinand de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan apa yang disebut signifiant (Inggris: signifier) dan signifie (Inggris: signified). Signifiant adalah lambang bunyi iyu, sedangkan signifie adalah konsep yang dikandung oleh signifiant. Dalam peristilahan Indonesia dewasa ini ada digunakan istilah penanda untuk lambang bunyi atau signifiant dan istilah petanda untuk konsep yang dikandungnya, atau diwakili oleh penanda tersebut. Hubungan antara signifiant dan signifie itulah yang bersifat arbitrer. Lambang yang berupa bunyi itu tidak memberi "saran" atau "petunjuk" apapun untuk mengenal konsep yang diwakilinya. Tidak adanya hubungan antara signifiant dan signifie menyebabkan Bolinger (1975:22) mengatakan: Seandainya ada hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, maka seseorang yang tidak tahu suatu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah kata apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa menebak makna sebuah kata dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri) yang belum pernah kita dengar karena bunyi kata tersebut tidak memberi "saran" atau "petunjuk" apapun untuk mengetahui maknanya.
Apabila ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya, tentu lambang yang dalam bahasa Indonesia berbunyi [kuda], akan disebut juga [kuda] oleh orang di klaten, bukannya [jaran]. Di Inggris orang juga akan menyebut [kuda] dan bukannya <horse>; begitu juga di negara lain. Lalu andaikata ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya maka di bumi ini tidak akan ada bermacam-macam bahasa. Tentu hanya ada satu bahasa yang meskipun mungkin berbeda tetapi perbedaannya tidak terlalu banyak.
Memang ada juga yang berpendapat bahwa ada sejumlah kata dalam bahasa apapun yang lambangnya berasal dari bunyi benda yang diwakilinya. Misalnya lambang [meong] dalam bahasa Indonesia, yang mempunyai hubungan dengan konsep yang dilambangkannya, yaitu sejenis binatang buas yang bunyinya [meong]; atau lambang bunyi [cecak] yang mempunyau hubungan dengan konsep yang dilambangkannya, yaitu sejenis reptil yang bunyinya [cak, cak, cak]. Jadi, di sini kata-kata yang disebut onomatope (kata yang berasal dari tiruan bunyi) ini lambangnya memberi "saran" atau "petunjuk" bagi konsep yang dilambangkannya. Kalau begitu dapat dikatakan hubungan antara lambang dengan konsep yang dilambangkannya tidak bersifat arbitrer. Karena paling tidak ada "saran" bunyi yang menyatakan hubungan itu.
Namun kalau diteliti lebih jauh, yang disebut onomatope ini pun ternyata tidak persis sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Bunyi ayam jantan yang dalam bahasa Indonesia dan dialek Jakarta berbunyi [kukuruyuk] ternyata dalam bahasa Sunda berbunyi [kongkorongok].
Kalau titanya, mengapa bunyi benda yang sama terdengar berbeda oleh dua penutur bahasa yang berlainan, agak sukarlah menjawabnya. Mungkin juga sebagai akibat kearbitreran bahasa itu atau juga karena sistem bunyi bahasa-bahasa itu tidak sama.

Sumber: Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Rekomendasi Artikel: