Bahasa

Bahasa dan Identitas Budaya

Donny Syofyan

Mahasiswa Pascasarjana The Australian National University, Canberra

Dosen Fakultas Sastra Unand

Pernahkah Anda merubah bahasa dalam berkomunikasi, seperti di tempat kerja? Bila pernah, pernahkah Anda memperhatikan berbagai perubahan dalam diri Anda? Sebelumnya saya tidak ambil pusing dengan pertanyaan ini hingga saya menemukan sebuah artikel singkat tentang apa artinya bila seseorang merubah bahasanya. Artikel ini berkisar mengenai seseorang yang merubah bahasanya dari “Black English” (bahasa Inggris kulit hitam) sewaktu masih kanak-kanak menjadi “Educated English” (bahasa Inggris terdidik) di saat ia dewasa.

Pada awalnya perubahan bahasa—yang melibatkan perubahan sistem lingustik pikiran seseorang—adalah sebuah proses dramatis, walaupun mereka yang mengalami perubahan ini tidak menyadari. Guy Bailey, seorang pakar bahasa kulit hitam dari University of Nevada di Los Angeles, telah mengkaji fenomena Ebonics atau Black English Vernacular (BEV) selama beberapa tahun. Ini adalah varian bahasa Inggris yang digunakan oleh kalangan masyarakat kulit hitan perkotaan di Amerika Serikat (AS). Menurut pendapat banyak pihak, termasuk Board of Education (Dewan Pendidikan) di Oakland, California, Black English bukanlah bahasa Inggris, melainkan suatu “West and Niger-Congo African Languge Systems”. Dewan Pendidikan Oakland tidak menginstruksikan sekolah-sekolah untuk mengajarkan Ebonics dan bersikukuh bahwa mereka mengerti bahasa BEV dan menggunakannya untuk membantu siswa kulit hitam untuk mempelajari “Educated English”.

Kebijakan ini telah menyulut perdebatan yang hangat. Namun, sebagian besar perdebatan ini cenderung mengabaikan hasil temuan riset linguistik yang telah dilakukan selama beberapa tahun. Seorang pakar bahasa, Walt Wolfram dari University of North Carolina, mengatakan bahwa selama kurun tiga puluh tahun Black English telah menjadi varian bahasa Inggris yang paling banyak dikaji. Sementara, Guy Bailey mengutarakan bahwa kajian-kajian tersebut telah menyuguhkan sumbangan yang besar demi memahami perubahan dan perkembangan bahasa.

W. Wayt Gibbs, seorang ahli bahasa dari San Fransisco, dalam Journal of Scientifc American (1997) mendiskusikan sejumlah kontroversi berkenaan dengan Black English.

Pertama, terkait dengan perdebatan apakah BEV bagian dari varian bahasa Inggris atau tidak. Salikoko S. Mufwane dari Universitas Chicago tidak sependapat dengan Board of Education di Oakland. Ia berargumen bahwa mendefinisikan sebuah bahasa harus diletakkan pada bahasa si pengguna. Ia yakin bahwa bila orang kulit hitam Amerika ditanya bahasa apa yang mereka ucapkan, mereka akan menjawab, “English” (bahasa Inggris). Dengan arti kata, Ebonics atau BEV atau Black English adalah bahasa Inggris.

Kedua, apakah Ebonics slang atau tidak. Wolfram menyatakan, “Slang refers to a specialized lexicon of words that are exclusive, and that tend to have a short life cycle” (Slang berkenaan dengan kosakata khusus yang sifatnya tertentu, dan cenderung memiliki lingkaran hidup yang pendek). Sebagai misal, Wolfram mengatakan, “’Groovy’ is slang, but ‘he done gone’ is not” (‘Groovy’ adalah slang tapi ‘he done gone’ bukan). Mufwane mewakili pandangan umum ahli bahasa bahwa sebagai dialek, Black English memiliki sistematika yang sama dengan Southern English, Appalachian English, atau Standard English—yang rata-rata dianggap “Educated English”.

Apakah Black English masih dipersepsi menyimpang dari “bahasa Inggris arus utama” (mainstream English)? Kembali terjadi perbedaan pendapat. Wolfram menyebut bahwa untuk setiap ciri khas Black English yang kelihatan menyimpang atau ‘bercabang’ (diverging), tetap saja ada ciri lain yang menyatu atau ‘berkumpul’ (converging). John Baugh, ahli bahasa dari Universitas Stanford, menegaskan bahwa apa yang terlihat menyimpang dari ciri-ciri Black English pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk dari “tantangan kebahasaan” (linguistic defiance).

Ada sebuah pengakuan menarik dari Guy Bailey, seorang warga kulit hitam Anmerika, dalam artikel Gibbs ini. Ia (Guy Bailey) mengatakan, “I grew up in southern Alabama and was the first person in my mother’s family to go to high school. When I went college and started speaking educated English, there was sense in which I was seen as betraying my culture. To educate people from an uneducated background successfully, you have to understand that they are going to pay a price for speaking differently. Telling them that they are just wrong is not the best way” (Saya dibesarkan di Alabama selatan dan merupakan orang pertama di keluarga ibu saya yang masuk sekolah tinggi. Ketika saya masuk kuliah dan mulai bicara dengan bahasa Inggris terdidik, ada rasa seolah-olah saya telah mengkhianati kebudayaan saya. Untuk mendidik orang-orang dari latar belakang tidak berpendidikan hingga berhasil, Anda harus mengerti bahwa mereka akan membayar harga [yang mahal] untuk berbicara dengan cara yang berbeda. Mengatakan kepada mereka bahwa mereka keliru saja bukanlah cara yang terbaik).

Penuturan ini menyadarakan saya mengenai perubahan bahasa dalam kehidupan saya. Dimulai dari penggunaan bahasa Minang sebagai bahasa ibu dalam pergaulan sesama sejak SD hingga SMU, bahasa Indonesia tatkala memasuki jenjang perguruan tinggi hingga bahasa Inggris ketika saya melanjutkan studi di Australia sekarang ini. Saya tidak pernah berpikir bagaimana perubahan bahasa ini semua mempengaruhi pola pikir dan rasa. Saya hanya mengetahui bahwa secara gradual saya mulai enggan menggunakan kalimat-kalimat majemuk dan lebih memilih kalimat-kalimat singkat. Saya lebih menyukai gaya bahasa yang jelas, ekonomis and fasih.

Saya belum tahu persis berapa jumlah bahasa daerah yang masih bertahan di Indonesia. Yang pasti terdapat banyak dialek bahasa Indonesia. Mencermati panorama kebahasaan ini, kita bisa mengatakan bahwa terdapat kesatuan dalam keragaman menyangkut sistem-sistem bahasa di Indonesia. Pada saat bersamaan, kita telah dan tengah dihadapi dengan problem bagaimana menciptakan keseimbangan antara kesatuan dan kebhinekaan. Kesan umum yang muncul adalah bahwa kita kerap memberi perhatian yang “berlimpah” bagi kesatuan, namun abai pada upaya-upaya mengembangkan harmonisasi keragaman.

Bisakah bahasa dijadikan sebagai instrumen untuk mengatasi masalah ini? Jika bahasa memang dapat mempengaruhi pola pikir dan rasa, maka seyogianya jawaban pertanyaan tersebut “bisa”. Terlepas dari itu semua, bersatu dalam menghadapi perbedaan sebenarnya adalah masalah pikir dan rasa. Persoalannya adalah apa yang kita maksud dengan hidup dalam semangat kesatuan dalam keragaman? Jawabannya terpulang pada kita semua.

(Pertama kali dimuat di HU Singgalang, 2 Desember 2007)

Add comment


Go to top