Sosial

Membangun Harga Diri

Begitu pula dalam setiap pertemuan di mana saja, kecuali dalam khutbah Jum’at, pembicara sebelum menguraikan isi pidatonya, selalu menyebut nama satu demi satu terhadap orang yang semestinya disebut. Urutan penyebutannya juga harus tepat. Orang yang paling dihormati harus disebut paling awal, kemudian berturut-turut di bawahnya sesuai dengan kelaziman. Sama dengan pemilihan tempat, jika keliru menyebutkan urutan nama-nama itu akan berakibat, orang menjadi tersinggung. Hanya dalam khutbah, tidak pernah khotib menyebut nama masing-masing jama’ah yang hadir. Semua jama’ah dalam ibadah itu, semua dipandang sama. Khutbah selalu diawali dengan hamdallah, memuji Allah. Puji-pujian dan juga kehormatan hanya diperungtukan bagi Allah swt. Semata. Memilih pakaian dan juga bahkan kendaraan juga begitu, selalu dikaitkan dengan posisi seseorang dalam strata sosialnya. Potongan dan jenis pakaian ada yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu. Demikian pula menyangkut kendaraan. Sekalipun fungsi mobil adalah sebagai alat mobilitas, tetapi ternyata jenis kendaraan itu juga menggambarkan di mana posisi sosial seseorang. Kendaraan angkutan kota hanya diperuntukkan bagi rakyat. Pejabat biasanya tidak menggunakan fasilitas umum itu. Jika suatu saat tampak pejabat naik angkutan kota, apalagi misalnya naik becak, maka dianggap aneh. Kecuali pada hari tertentu, misalnya waktu karnafal. Pada saat-saat tertentu, pejabat bisa saja naik kereta kuda atau becak sekalipun. Tetapi pada hari-hari biasa tidak demikian dilakukan. Itulah gambaran kehidupan sosial. Sakalipun Islam mengajarkan tentang kesamaan di antara umat manusia, tetapi pada kenyataannya setiap orang memiliki posisi yang berbeda-beda. Sekalipun tatkala sedang di masjid tampak sama, maka sepulang dari masjid akan menempati posisi sosialnya masing-masing. Selanjutnya, semua orang menghendaki untuk melakukan mobilitas sosial, yakni mobilitas vertikal. Semua orang menghendaki berhasil meraih posisi-posisi yang semakin tinggi dan semakin dipandang terhormat dan penting di tengah-tengah masyarakatnya. Siapapun dan kapanpun, orang selalu mendambakan hidupnya semakin meningkat , agar mendapatkan berbagai keuntungan, baik prestise, ekonomi, kehormatan atau lainnya. Mobilitas vertikal itu yang paling mudah ditempuh melalui pendidikan. Melalui pendidikan, apalagi sampai pendidikan tinggi, orang berhak menempati posisi-posisi penting di masyarakat, yang hal itu kecil sekali kemungkinannya dialami oleh mereka yang tidak mengenyam pendidikan. Hanya saja, pada saat ini, tatkala pendidikan sudah dapat diraih oleh masyarakat dari berbagai strata sosialnya, maka terjadi kompetisi yang amat tajam. Dahulu siapa saja yang bergelar sarjana selalu dicari, untuk diberi pekerjaan atau jabatan. Hal itu berbeda dengan sekarang. Seseorang , sekalipun sudah menempuh pendidikan pascasarjana dan bahkan lulus Doktor, masih harus berkompetisi dengan sesama lulusan setingkat itu. Dalam kompetisi terbuka, maka siapa saja yang unggul dalam berbagai halnya, merekalah yang memenangkan kompetisi itu. Berbeda dengan sekarang, dulu orang hanya melihat sebatas simbol-simbol yang tampak. Dalam masa-masa sekarang ini, simbol-simbol itu semakin ditinggalkan atau setidak-tidaknya harus dilengkapi dengan variabel lain. Contoh yang sangat sederhana, dulu orang desa sangat senang jika putrinya mendapatkan pasangan seseorang yang bergelar sarjana. Saat ini, karena lulusan tingkat sarjana sudah sedemkikian banyak, maka kegembiraan itu baru sempurna, jika pasangan itu selain berpendidikan sarjana juga sudah jelas pekerjaannya dan juga jelas penghasilannya. Kompetisi dalam kehidupan sosial ternyata tidak pernah berhenti, apalagi di tengah alam yang terbuka seperti sekarang ini. Kompetisi itu akan selalu meningkat dan hanya akan dimenangkan oleh mereka yang berkualitas tinggi atau unggul. Oleh karena itu, memang tidak ada jalan lain, bagi siapapun yang ingin meraih posisi-posisi penting dan terhormat, atau dikatakan agar menyandang harga diri yang tinggi, maka harus membekali diri dengan prestasi unggul dalam berbagai halnya. Keunggulan itu rasanya harus semakin sempurna. Orang yang melamar pekerjaan ke suatu instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta, misalnya, selain harus berbekalkan kualitas kecakapan, maka harus disempurnakan dengan kelebihan lain, seperti kejujuran, integritas, tanggung jawab, kemampuan berkomunikasi dan bahkan porfermance yang bersangkutan harus meyakinkan. Seseorang yang hanya sebatas berbekalkan keahlian, akhir-akhir ini dianggap tidak cukup. Orang yang dikenal memiliki kopentensi dan keahlian yang tinggi, namun jika ia tidak menyandang kejujuran dan integritas, apalagi sudah pernah terbukti melakukan kecurangan, maka ia tidak akan digunakan oleh siapapun. Saat ini banyak penghuni penjara, padahal mereka memiliki keahlian tinggi, namun karena kelalainnya melakukan kesalahan, sehingga dianggap tidak jujur, ceroboh hingga merugikan orang banyak, maka justru harus menempati tempat yang tidak terhormat, ialah dipenjara. Harga diri seseorang, ternyata selalu ditentukan oleh berbagai kelebihan yang dianggap mulia. Oleh karena itu, pintu yang harus dilewati oleh siapapun yang ingin membangun harga diri, tidak ada lain kecuali memperkukuh semua aspek itu, yaitu kekuatan spiritual, akhlak, ilmu dan profesional yang tinggi. Allahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Add comment


Go to top