Orang luar, selain kaum muslimin melihat Islam bukan dari sumber ajarannya, yaitu al Qur’an dan hadits. Yang dilihat oleh mereka adalah penampilan umat Islam itu sendiri. Mereka mengenali Islam sebatas dari tataran empirik, yaitu bagaimana kehidupan kaum muslimin sehari-hari. Mereka akan melihat bagaimana kaum muslimin berperilaku sehari-hari, misalnya dalam memperhatikan kebersihan, kedisiplinan, menghormati orang lain, membangun lembaga pendidikan Islam, sarana kesehatan sampai pada bagaimana kaum muslimin berorganisasi dan berpolitik. Pada tataran ini, diakui atau tidak, memang masih lemah. Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, semula lebih banyak bersentuhan dengan rakyat kecil. Sedangkan yang diperkenalkan oleh mereka adalah Islam dari aspek spiritual dan fiqhnya. Sehingga yang tampak kemudian adalah kegiatan-kegiatan ritual. Akibatnya tidak ayal kepercayaan lama yang dianut sebelum Islam datang masih tersisa sekalipun mereka sudah menjadi muslim. Kita lihat misalnya, sekalipun mereka sudah datang ke masjid pada setiap saat, tetapi juga belum bisa meninggalkan kebiasaan lama menyelenggarakan upacara adat sebelumnya. Bahkan di beberapa tempat antara Islam dan adat dijalani secara berbarengan. Ada sekelompok orang berkeinginan melakukan pembaharuan dengan tema pemurnian Islam, tetapi ternyata juga tidak mudah membawa hasil maksimal sekalipun sudah sekian lama dilakukan. Penyampaian pesan-pesan agama tidak mudah diterima begitu saja, selalu terjadi resistensi yang kuat. Akibatnya, pesan-pesan agama juga berjalan sangat lambat. Demikian juga, Islam yang sesungguhnya meliputi berbagai aspek kehidupan, ternyata yang ditangkap hanya bagian demi bagian, dan antar kelompok masyarakat juga tidak sama. Sebagian masyarakat lebih menekankan pada aspek tauhidnya misalnya, maka sebagian lain menangkap dari aspek fiqhnya, sedangkan yang lain lagi dari aspek akhlak dan tassawuf. Hal lain, bahwa selama ini, aspek pengembangan ilmu pengetahuan atau sains dalam Islam terasa kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu umat Islam dalam berkompetisi pengembangan ilmu pengetahuan selalu tertinggal. Celakanya hal itu terjadi di seluruh belahan dunia. Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam selalu kalah berprestasi dalam memproduk temuan-temuan baru dalam penelitian. Sebaliknya mereka unggul dalam mengembangkan spiritual. Lihat saja misalnya di mana-mana dibangun masjid. Tempat ibadah selalu dikedepankan oleh kaum muslimin daripada yang lain. Kaum muslimin lebih menyukai berkali-kali pergi haji atau umrah, daripada hartanya dipakai untuk membiayai penelitian ilmiah. Orientasi hidup mereka lebih terarah pada dunia spiritual daripada ke yang lain, termasuk pengembangan ilmu pengetahuan. Inilah sebabnya, umat Islam selalu tertinggal jauh dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan atau riset. Orientasi umat Islam lebih terfokus pada dunia spiritual yang hal itu terlihat jelas pada lembaga pendidikan Islam. Perguruan tinggi yang dimiliki kaum muslimin lebih banyak mengkaji aspek-aspek yang dekat dengan kegiatan spiritual, karena itu pelajaran agama yang dikembangkan sebatas fiqh, tauhid, akhlak, tasawwuf dan tarekh. Di Indonesia ada perubahan dari IAIN atau STAIN menjadi universitas ternyata juga masih direspon dengan setengah hati. Di sana-sini dengan perubahan itu masih muncul kekhawatiran ilmu agama menjadi hilang. Mereka menganggap bahwa yang disebut sebagai ilmu ke Islaman adalah ilmu tauhid, fiqh, akhlak dan tasawwuf. Pengembangan sains yang sesungguhnya juga diperintahkan dalam al Qur’an maupun hadits nabi, sejak 14 abad yang lalu, belum dipamahai secara penuh, apalagi upaya-upaya pengembangannya. Inilah problem besar bagi umat Islam terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga sampai saat ini dirasakan tertinggal oleh umat lainnya. Ilmu pengetahuan kapan dan di mana saja selalu menjadi basis pengembangan berbagai aspek kehidupan. Lembaga pendidikan, ekonomi, kesehatan, transportasi, informasi dan lain-lain tidak akan mungkin dikembangkan dengan mengabaikan ilmu pengetahuan. Al Qur’an sendiri menjanjikan bahwa Allah akan mengangkat derajat bagi mereka yang beriman dan berilmu pengetahuan. Hal itu rupanya belum disadari oleh kaum muslimin. Akibatnya, berbagai institusi yang dimiliki kaum muslimin sebagai simbol umat Islam tertinggal. Lembaga pendidikan, kesehatan, media massa, teknologi dan apa saja tertinggal jauh di belakang dari umat lainnya. Umat Islam menjadi kalah dan bahkan tidak berkutik di hadapan negara-negara non muslim. Jika terjadi perang, umat Islam mengandalkan semangat yang menyala-nyala tanpa dilengkapi dengan teknologi modern. Akibatnya jelas, selalu menjadi bulan-bulanan. Penderitaan itu sangat dirasakan bagi mereka yang mengetahui peta kekuatan itu. Perguruan tinggi Islam merasakan betul ketertinggalan itu. Tetapi mereka juga tidak bisa berbuat banyak, lantaran kekuatan yang ada masih terbatas dan orientasi kebanyakan kaum muslimin juga belum mengarah pada pengembangan sains dan teknologi. Pengembangan sains dan teknologi, bagi kebanyakan kaum muslimin masih dipandang berada di wilayah lain dari lingkup ajaran Islam. Al Qur’an yang menyerukan agar umat Islam memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bumi dihamparkan, gunung ditegakkan, langit ditinggikan, rasanya belum direspon secara cukup. Oleh karena itu, kiranya umat Islam masih harus banyak belajar dari sejarah dan keadaannya yang dialami selama ini, hingga lahir semangat untuk bangkit, dan simbol-simbol umat Islam tidak lagi tertinggal seperti sekarang ini. Allahu a’lam.
Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang