Sosial

Pembidangan Ilmu dan Gelar Akademik

Mengapa sekedar melakukan pembidangan ilmu dan penetapan gelar akademik saja harus memakan waktu lama dan belum juga selesai. Ada banyak hal kiranya yang menyebabkannya. Misalnya, tatkala orang berbicara Islam, maka pikirannya terbawa oleh pandangan bahwa Islam itu luas, menyangkut berbagai macam aspek dan bersifat universal. Karena itu, semestinya Islam tidak sebatas mengkaji hal-hal terkait dengan bidang ilmu yang selama ini dikembangkan. Namun pada sisi lain, mereka yang terlibat dalam diskusi itu secara psikologis juga terbebani oleh sejarah, bahwa selama ini perguruan tingi agama sebatas mengembangkan ilmu agama. Secara kelembagaan yang disebut sebagai ilmu agama itu hanyalah ilmu ushuluddin, ilmu syari’ah, ilmu tarbiyah, ilmu adab dan ilmu dakwah. Berbagai jenis ilmu ini ternyata sesuai dengan perkembangan zaman juga berkembang menjadi bercabang dan beranting hingga sekecil-kecilnya. Tatkala ilmu tersebut berkembang menjadi cabang-cabang dan bahkan ranting, ternyata bersinggungan dengan ilmu-ilmu lain yang disebut ilmu umum. Bahkan ternyata apa yang disebut sebagai ilmu agama itu jika dialihkan ke Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, memiliki arti yang sama. Misalnya ilmu adab, dengan jurusan atau programn studi Sejarah Kebudayaan dan Sastra Arab, ternyata mirip dan bahkan sama dengan Fakultas Humaniora. Jika di sana ada perbedaan, maka perbedaan itu terletak pada adanya beberapa mata kuliah dasar, misalnya di PTAI terdapat kajian al Qur’an, hadits dan sejenisnya. Akan tetapi sesungguhnya di Fakultas Humaniora pun juga terdapat mata kuliah agama Islam, sekalipun jumlahnya tidak sebanyak di Fakultas Adab. Hal itu sama tatkala berbicara Fakultas Syari’ah dan Fakultas Hukum, Fakultas Tarbiyah dengan Fakultas Keguruan dan bahkan Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Filsafat. Selanjutnya, setelah ditemukan titik temu seperti itu, maka muncul pertanyaan, bagaimana meletakkan ilmu-ilmu agama itu dalam kerangka bangunan keilmuan secara umum. Inilah kemudian di antaranya yang menjadi sebab mengapa hal itu tidak sederhana diambil kesepakatan. Apalagi jika kemudian juga mereka membayangkan tentang ruang lingkup isi al Qur’an yang ternyata wilayahnya sedemikian luas dan bahkan bersifat universal. Al Qur’an berbicara tentang Tuhan, berbicara tentang penciptaan, tentang manusia dari berbagai sudutnya, berbicara tentang alam dan bahkan juga berbicara tentang keselamatan dalam perspektif yang luas. Mengacu pada isi al Qur’an dan Hadits Nabi seperti itu, maka jika ilmu agama kemudian hanya dipilah menjadi lima bidang besar yaitu Ilmu Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adb, maka rasanya memang tidak memadai. Islam terkesan menjadi sempit. Padahal tidak sedikit para ahli yang mengkaji Islam selalu mendapatkan kesimpulan bahwa Islam tidak sebatas sebagai agama tetapi juga peradaban. Islam bukan saja merupakan tuntunan ritual dan spiritual, tetapi juga menyangkut tentang ilmu pengetahuan dan peradaban. Bertitik tolak dari problem seperti inilah maka kemudian di dalam melakukan pembidangan ilmu di perguruan tinggi yang berada di lingkungan Departemen Agama menjadi tidak mudah dilakukan dan juga disepakati. Kesulitan itu juga terjadi dalam pemberian gelar akademik. Dulu, gelar akademik diberikan secara sama. Hanya ada beberapa jenis gelar akademik untuk lulusan sarajana, yaitu dokrorandus, insinyur, Sarjana Hukum dan dokter. Semua jenis lulusan sarjana ilmu-ilmu social dibeberi gelar doktorandus (Drs), atau SH bagi sarjana hukum. Bagi lulusan sarjana ilmu eksakta, misalnya pertanian dan teknik dan sejenisnya diberi gelar insinyur (Ir) dan mereka yang lulus dari fakultas kedokteran diberi gelar dokter (dr). Terakhir untuk membedakan dari masing-masing bidang, khusus kedokteran ini, masing-masing bidang diberi keterangan misalnya dokter gigi, dokter hewan dan seterusnya. Pemberian jenis gelar akademik seperti itu sesungguhnya tidak terlalu menjadi masalah. Gelar akademik seperti itu, jika penyandangnya ingin diketahui dari bidang apa, maka bisa dijelaskan bahwa yang bersangkutan adalah lulusan fakultas ekonomi, atau pendidikan, atau agama dan seterusnya. Hal itu gampang dimengerti dan tidak masalah. Satu jenis gelar digunakan untuk berbagai jenis ilmu secara bersama-sama. Tetapi kemudian Departemen Pendidikan Nasional, institusi yang memiliki kewenangan di bidang itu, melakukan penataan, masing-masing lulusan sarjana bidang keilmuan diberi gelar yang berbeda-beda. Oleh karena semakin lama, perkembangan ilmu pengetahuan semakin cepat dan bervariatif, maka jenis gelar akademik pun akan semakin banyak. Bahkan tidak menutup kemungkinan bidang ilmu yang berbeda, akan diberikan gelar sama. Menghadapi persoalan itu maka akhirnya Menteri Pendidikan Nasional di awal tahun 2000 an mengeluarkan Surat Keputusan tentang pemberian gelar akademik ini, yang pada prinsipnya semua sarjana diberi gelar S dan titik (S.). Dibelakang titik, masing-masing perguruan tinggi diberi keleluasaan menambahnya sendiri. Keputusan tersebut sesungguhnya menarik, karena telah memberikan keleluasaan dan kemudahan kepada masing-masing perguruan tinggi. Selain itu, kbijakan itu memudahkan bagi perguruan tinggi sehubungan pengembangan bidang ilmu yang semakin cepat dan variatif. Dengan kebijakan itu, jika perguruan tinggi membuka program studi baru, maka sebatas memberi gelar akademik lulusannya tidak perlu menunggu keputusan menteri. Akan tetapi konsekuensinya, jenis gelar akademik, lagi-lagi menjadi sangat bervariatif dan akibatnya tidak gampang mengenalinya. Padahal setiap gelar akademik ternyata selalu terkait dengan persoalan yang luas, misalnya pengakuan masyarakat, pencarian lapangan pekerjaan dan meneruskan studi ke jenjang berikutnya, dan lain-lain. Otonomi seperti itu ternyata juga melahirkan masalah baru. Persoalan itu ternyata juga dirasakan oleh sarjana agama. Dengan gelar S.Ag misalnya para penyandangnya kurang merasa enak dan tepat. Sebab, di Indonesia ini terdapat berbagai jenis perguruan tinggi agama, -----Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, yang dirasakan harus dibedakan dari masing-masing agama itu. Belum lagi, di masing-masing intern perguruan tinggi agama telah membuka program studi yang beraneka ragam, termasuk juga program studi umum. Misalnya di sebuah IAIN membuka program studi Psikologi, ekonomi dan seterusnya. Pertanyaannya, apakah lulusan mereka juga harus diberi gelar akademik yang sama, misalnya S.Ag. Sedangkan mereka di IAIN, tidak belajar ilmu syari’ah, ushuluddin, dakwah dan seterusnya. Mereka mengambil jurusan sosiologi, psikologi, ekonomi dan lain-lain. Persoalan seperti ini dirasakan sebagai masalah dan menunggu penyelesaian lebih lanjut. Di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, baik menyangkut tentang pembidangan ilmu maupun pemberian gelar akademik, tidak terlalu dirasakan sebagai masalah. Pembidangan ilmu dirasa telah selesai dan bisa dipahami oleh semua warga kampus secara jelas. Perguruan tinggi ini tidak membedakan antara dua jenis ilmu, yakni ilmu agama dan ilmu umum. Tugas yang dibebankan oleh pemerintah melalui SK Presiden agar melakukan integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, telah dihasilkan rumusan konsep yang jelas, dan juga telah diimplementasikan oleh semua program studi yang ada. Konsep bangunan keilmuan yang terintegratif -----agama dan umum, digambarkan sebagai sebuah pohon yang rindang. Pohon itu terdiri atas akar, batang, dahan, ranting, daun dan buah yang segar. Semua bagian digunakan untuk menggambarkan bangunan keilmuan yang terintegratif itu, yang sudah dijelaskan di berbagai tempat dan kesempatan. Untuk mengimplementasikan konsep itu ditempuh melalui cara mengintegrasikan antara tradisi universitas dengan tradisi Ma’had al Aly. Tuntutan agar mahasiswa melakukan kajian ilmu pengetahuan dan sekaligus juga mendalami agama ditempuh melalui kedua tradisi itu sekaligus. Melalui universitas mahasiswa diajak mengembangkan kemampuan akademik sesuai dengan bidang studi pilihannya, dan demikian pula melalui tradisi ma’had al Aly mahasiswa juga diajak mendalami pengetahuan agama. Dengan cara ini, maka Islam kemudian bisa dikaji secara padu, utuh dan simultan. Sedangkan untuk memperkaya bekal yang digunakan untuk mengkaji dua wilayah pengetahuan tersebut, disusun program pengembangan Bahasa Arab dan juga Bahasa Inggris. Kedua Bahasa ini sangat penting sebagai alat untuk mengembangkan kedua jenis ilmu secara terintegratif dimaksud. Lulusan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang diharapkan menjadi seorang sarjana yang layak menyandang identitas sebagai Ulul al Baab. Yaitu orang yang banyak berdzikir, berpikir tentang ciptaan Allah baik yang ada di bumi dan di langit, beramal sholeh serta berakhlakul karimah. Pembidangan Ilmu pengetahuan atas dasar jenis, yakni umum dan agama tidak dilakukan. Di UIN Malang tidak dipahami bahwa Fakultas Tarbiyah dan Syari’ah adalah merupakan Fakultas Agama, sedangkan lainnya bukan agama. Tidak demikian. Pembidangan ilmu dilakukan atas dasar obyek yang dikaji, sebagaimana pembidangan ilmu pada umumnya, yaitu dengan memisahkan antara Ilmu-Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Humaniora. Perbedaan ilmu yang dikembangkan oleh perguruan tinggi di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dengan di UIN Maulana Malik Ibrahim, bukan terletak pada jenis keilmuannya, melainkan pada sumber ilmu yang digunakan. Jika pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional bersumber dari hasil-hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis, maka pengembangan keilmuan di lingkungan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selain bersumber dari hasil-hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis, juga bersumber dari al Qur’an dan Hadis Nabi. Hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis disebut sebagai ayat-ayat kauniyah, maka al Qur’an dan hadits disebut sebagai ayat-ayat kouliyah. Perguruan tinggi Islam dalam hal mencari kebenaran ilmu pengetahuan selalu mendasarkan pada kedua sumber sekaligus, yakni ayat-ayat kouliyah dan sekaligus ayat-ayat kauniyah. Demikian pula tentang pemberian gelar akademik bagi lulusan sarjana di UIN Maulana Malik Ibrahim juga tidak terlalu dirasakan sebagai masalah. Selama ini mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Bidang keilmuan yang dikembangkan oleh kampus ini dilakukan secara terbuka. Bidang ilmu apa saja yang dirasakan memberi manfaat bagi kehidupan ini bisa dibuka di perguruan tinggi Islam ini dan begitu juga gelar akademiknya bisa menyesuaikan. Hanya saja, seperti yang dikemukakan di muka, bahwa yang tidak boleh diabaikan, atau apalagi dilanggar adalah menyangkut metodologi, terutama terkait dengan sumber pengetahuan yang digunakan. Metodologi dan sumber ilmu pengetahuan harus sempurna, yaitu harus bersumberkan pada ayat-ayat qouliyah sekaligus ayat-ayat kauniyah. Melalui pendekatan seperti ini, UIN Maulana Malik Ibrahim bercita-cita mengantarkan para mahasiswa menjadi sosok sarjana yang lebih utuh dan sempurna, yaitu mengembangkan berbagai aspek, baik aspek spiritual, akhlak, ilmu dan profesionalnya. Dalam kalimat lain ingin melahirkan Ulama’ yang intelektual professional dan atau intelektual professional yang ulama. Sarjana yang menyandang identitas seperti itu, diyakini kelak akan mampu melakukan peran-peran strategis dan mulia dalam hidupnya, di mana dan kapan pun juga. Wallahu a’lam.

Penulis : Prof DR. H. Imam Suprayogo

Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Go to top