Perlindungan Lingkungan Hidup
Berkenaan dengan pengelolaan lingkungan, UU No. 11 Tahun 1967 tidak mengatur secara jelas dan rinci cara lingkungan wilayah pertambangan harus dikelola. Undang-undang ini hanya memuat satu pasal mengenai pengelolaan lingkungan, itupun hanya menyentuh soal lahan bekas galian, yaitu pasal 30 yang berbunyi : itupun hanya menyentuh soal lahan bekas galian, pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambanga n yang bersangkutan diwajibkan
mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya bagi masyarakat sekitarnya.
Undang-undang ini tidak mengatur soal sanksi apabila hal ini dilanggar. Tentunya hal ini sangat menguntungkan bagi pengusaha pertambangan, karena tidak ada sanksi apabila hal ini dilanggar, jika setelah kuasa pertambangan atau kontrak karya habis masa berlakunya yang berarti habis pula hubungan antara pemegang kuasa penambangan atau kontrak karya dengan lingkungan pasca penambangan.
Selain itu pasal 30 UU No. 11 Tahun 1967 hanya mengatur soal pengelolaan
lingkungan secara minimal, yaitu pengusaha pertambangan untuk mengembalikan tanah bekas galian agar tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan di sekitar areal penambangan serta bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Perundang- undangan ini menyerahkan proses reklamasi lahan bekas galian penambangan kepada proses suksesi alamia yang tentunya memakan waktu yang sangat lama, sebelum areal tersebut menjadi berguna kembali untuk kegiatan ekonomi masyarakat. Berdasarkan kondisi yang terjadi areal penambangan, pengusaha pertambangan di wajibkan untuk melakukan usaha-usaha reklamasi lahan pada areal bekas penambangan agar tidak terjadinya degradasi lahan dan lingkungan yang lebih berbahaya dan bisa memberikan nilai ekonomi pada masyarakat sekitarnya.
Sementara undang-undang pokok pengelolaan lingkungan hidup (Undang-
Undang No. 4 Tahun 1982), menegaskan soal sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan lingkunan hidup yang dinyatakan dalam pasal 20 dan 22 yang menyatakan bahwa pelaku perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup dapat dikenai sanksi pidana selain diharuskan membayar ganti rugi kepada rakyat yang terrugikan dan kepada negara untuk pemulihan kembali lingkungan yang rusak atau tercemar. Pasal 20 menyatakan : barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup, memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingk ungan hidup yang baik dan sehat (pasal 20 ayat 1), barang siapa merusak atau mencemarkan lingkungan hidup kepada negara (pasal 20 ayat 3), sedangkan pasal
22 menegaskan bahwa : barang siapa dengan sengaja (pasal 22 ayat 22), melakukan
perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam UU ini, diancam pidana dengan penjara selama-lamanya 10 Tahun dan atau denda sebanyak Rp. 100.000.000 (lanjutan pasal 22 ayat 1 dan ayat 2).
Penegasan soal sanksi-sanksi ini berkaitan dengan penegasan pasal 5 dan pasal
7 dari UU yang sama yang menyatakan bahwa : setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (pasal 5 ayat 1), setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta mena nggulangi pencemaran dan pencemarannya (pasal 5 ayat 2), setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang, untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan (pasal 7 ayat
1). Kewajiban sebagaimana tersebut dalam ayat 1 pasal ini dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (pasal 7 ayat 2).
Tetapi efektifitas pelaksanaan sanksi atas sejumlah pelanggaran pasal-pasal di
atas perlu dipertanyakan. Sejumlah pencemaran atau perusakan lingkungan yang membuat hak-hak orang atau masyarakat yang hidup di sekitar daerah penambangan menjadi terganggu tidak mendapat sanksi yang sewajarnya untuk tidak mengatakannya tidak ada sanksi apapun.
Berbagai kasus pencemaran dalam dunia pertambang hingga kini tidak
terselesaikan dengan baik. Sangat disadari komitmen penghormatan dan perlindungan lingkungan hidup yang dianut oleh pemerintah saat ini hanya sekedar internasional public relation. Kondisi seperti ini sangat menguntungkan para pengusaha pertambangan yang jika beroperasi di negaranya harus berhadapan dengan standard pengelolaan lingkungan hidup yang sangat ketat. Buruknya kebijakan pengelolaan dan penegakan hukum lingkungan di Indonesia dapat ditelusuri dari proses persetujuan AMDAL.
Otoritas persetujuan suatu dokumen AMDAL saat ini masih sepenuhnya berada pada Ketua Komisi AMDAL, WALHI selalu menolak managemen lingkungan yang digunakan perusahaan pertambangan, namun pada akhirnya dokumen tersebut mendapat persetuj uan Komisi AMDAL, itulah yang menyebabkan WALHI memperkarakan Menteri Pertambangan dan Energi di peradilan Tata Usaha Negara Jakarta, berkaitan dengan persetujuan AMDAL PT. Freeport beberapa tahun silam.
Selain banyaknya kelemahan dalam persidangan dan persetujuan AMDAL, penegakan hukum lingkungan dan pengawasan lingkungan yang dilakukan oleh departemen terkait juga sangat lemah, contohnya PT. Freeport Indonesia melakukan pembuangan limbah tailing secara langsung ke sungai Ajkwa, pencemaran di sungai Muro dan Manawing oleh PT. Indo Muro Kencana, ataupun hanyutnya drum-drum sianida PT. Kelian Equatoria Mining di sungai Mahakam, tidak mendapat tindakan yang tegas dari pemerintah. Jika di negara asal perusahaan itu berada, dapat dipastikan kegiatan itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan, tetapi di Indonesia, banyak sekali alasan yang diberikan oleh pemerintah, agar perusahan itu dapat beroperasi lagi dengan aman.
Berbagai kelemahan dalam penghormatan lingkungan hidup itu juga dapat
dilihat dalam Kontrak Karya. Penghormatan terhadap lingkungan hidup hanya dicantumkan dalam suatu klausal dan tidak dijadikan syarat yang tegas dalam suatu perjanjian. Padahal tidak satupun dari kegiatan penambangan yang terlepas dari persoalan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan, baik wilayah kegiatannya maupun wilayah sekitar yang terkena dampak dari kegiatan penambangan tersebut.
Rendahnya komitmen Departemen Pertambangan terhadap persoalan lingkungan hidup semakin kelihatan dengan diizinkannya beberapa perusahaan untuk melakukan kegiatan eksplorasi di taman nasional seperti taman nasional Lorentz. Meski mendapat protes keras dari masyarakat maupun LSM, namun hingga kini izin kegiatan tersebut belum lagi dicabut.
Rekomendasi Artikel: