Kesekuleran ilmu karena mengabaikan kerusakan ilmu yang dikembangkan tanpa titik henti hingga memasuki wilayah metafisika. Di puncak metafisika itulah terletak keberadaan ilmu tentang Yang Maha Gaib. Ilmu tauhid merupakan sebuah penghampiran atas objek Maha Gaib yang hanya bisa diteruskan dengan proses yang disebut “hudluri” yaitu kesatuan obyek yang pernah dikaji Immanuel khan. (Mulkhan, 2002 : 242)
Problem di atas bisa dilihat daru rumusan tujuan pendidikan tinggi Islam atau pendidikan Islam atau pendidikan Islam pada umumnya. Suatu tujuan sering kali tidak konsisten dengan tujuan pembelajran pada setiap bidang studi. Tujuan bidang studi lebih terfokus pada pemahaman, penjelasan, pencarian dan penemuan. Sementara tujuan ketakwaan dan kesalehan seringkali tidak tampak pada rumusan tujuan pembelajaran pada setiap bidang studi.
Tujuan kelembagaan seringkali gagal dan tidak dijadikan acuan dalam rumusan tujuan pembelajaran suatu bidang studi. Selain itu faktor penting yang perlu diperhatikan ialah rumusan tujuan bidang studi dan pembelajaran yang lebih terfokus pada ranah kognisi. Sementara masalah komitmen tidak lebih banyak berkaitan dengan ranah afeksi. (Muhaimin, 2003 : 136)
Diluar struktur hubungan tujuan kelembagan, bidang studi dan fokus pembelajaran di atas, faktor penting lainnya ialah sistematisasi kurikulum. Hal ini berkaitan dengan problem dikotomi ilmu agama dan sekuler atau umum. Jika dalam ilmu agama didasari keyakinan tentang segala hal berkaitan dengan takdir atau penciptaan Tuhan, dalam ilmu sekuler atau umum, kejadian alam atau peristiwa dan keberadaan suatu hal merupakan proses kausal yang bisa dikenalai melalui penelitian. Pada akhirnya perlu dibangun sebuah konsep ilmu yang identik iman atau sebaliknya. Orang yang berilmu secara benar dan dibagun melalui pemikiran kritis akan sampai pada suatu titik di dalam wilayah metafisik. Pada puncak meta fisika atau kegaiban inilah keberadaan Tuhan Allah dimana komitmen atas keberadaan Allah akan melahirkan iman.
Konsekuensi dari pemikiran dan penelitian kritis di atas ialah tidak ada iman kecuali mereka yang berilmu, dan tidak ada yang berilmu kecuali mereka yang berfikir, bersikap dan meneliti secara kritis. Basis iman ialah ilmu dimana ilmu dan iman disatukan di atas dasar sikap kritis itu sendiri. (Mulkhan, 2002 : 244). Dari sini bisa dibangun kesatuan teori kebenaran dan kesatuan pendidikan, sehingga tidak perlu ada pembedaan antara ilmu agama dan ilmu umum atau sekuler, dan tidak perlu pembedaan antara pendidikan umum dan pendidikan agama atau pendidikan Islam.
Pendidikan yang dilaksanakan disekolah selama ini memang cenderung sangat teoritik dan dirasa tidak ada relevansinya dengan lingkungan dimana peserta didik tinggal. Sehingga tidak jarang dalam kehidupan sehari-hari peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajarinya dibangku sekolah untuk memecahkan masalah sekaligus memenuhi tuntutan hidup di masyarakat. Akhir-akhir ini kita masih sering direpotkan oleh gejala ”kenakalan siswa” daIam berbagai bentuknya, lalu publik pun segera melirik dunia pendidikan sebagai sumber awal, setidak-tidaknya dari faktor kegagalan proses pendidikan dalam mentransformasikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai etis pada umumnya kepada peserta didik. Masalah ini seringkali menjadi fokus perbincangan para praktisi pendidikan, pakar pendidikan dan masyarakat pada umumnya.
Sekolah memegang peranan yang penting dalam proses sosialisasi anak, walaupun sekolah merupakan hanya salah satu lembaga yang bertanggungjawab atas pendidikan anak. Anak mengalami perubahan dalam kelakuan social setelah ia masuk sekolah. Di rumah ia hanya bergaul dengan orang yang terbatas jumlahnya, terutama dengan anggota keluarga dan anak-anak tetangga. Suasana di rumah bercorak informal dan banyak kelakuan yang diizinkan menurut suasana di rumah. Lain halnya dengan di sekolah, ia bukan lagi anak istimewa yang diberi perhatian khusus oleh ibu guru, melainkan hanya salah seorang diantara puluhan murid lainnya didalam kelas. Untuk itu anak harus mengikuti peraturan yang bersifat formal yang tidak dialami anak dirumah, yang dengan sendirinya ia membatasi kebebasannya.
Sekolah merupakan lembaga tempat anak terutama diberi pendidikan intelektual, yakni mempersiapkan anak untuk sekolah yang lebih lanjut. Oleh sebab itu cukup penting dan berat, maka perhatian sekolah sebagian besar ditujuka kepada aspek intelektual si anak didik. (Nasution, 1999 : 130). Hal ini sesuai dengan bunyi Undang-Undang Repoblik Indonesia no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab I pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Kesimpulannya disini adalah bahwa pendidikan adalah suatu yang sangat esensial bagi kehidupan manusia, karena mahluk yang mendapat dan dapat didik, guna mengembangkan potensial yang ada pada dirinya sehingga menjadi manusia yang berkuwalitas dan berdaya guna bagi kehidupan.
Sesuai dengan jiwa dan nilai ajaran Islam mengenai pengetahuan dan kecerdasan manusia, maka setiap usaha ilmu pengetahuan haruslan dikembangkan dengan tujuan untuk mencerdaskan manusia sehingga mempunyai peluang lebih besar untuk memahami dan menyadari dirinya di tengah-tengah keserba ada-an alam dan jagat raya ini.
Disamping itu pendidikan merupakan kebutuhan yang penting bagi pertumbuhan manusia. Karena dengan pendidikan memungkinkan sekali tumbuhnya kreatifitas dan potensi anak didik, yang pada akhirnya mengarahkan anak didik untuk mencapai satu tujuan yang sebenarnya. Dalam hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan nasional pasal 3: “Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. (Undang-Undang RI tentang SISDIKNAS, 2003 : 5)
Jadi pendidikan berupaya membentuk manusia yang mempunyai ilmu pengetahuan dan ketrampilan, dan juga disertai iman dan taqwa kepada Tuhan, sehingga ia akan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan itu untuk kebaikan masyarakat.
Begitu juga dengan pendidikan moral, dalam hal ini peran aqidah merupakan sumber daya pendorong dan pembangkit bagi tingkah laku dan perbuatan yang baik, dan juga merupakan pengendali dalam mengarahkan tingkah laku dan perbuatan manusia. Karena itu pembinaan moral harus didukung pengetahuan tentang ke Islaman pada umumnya dan aqidah pada khususnya, dengan mengamalkan berbagai perbuatan baik yang diwajibkan, karena Allah menykai orang yang berbuat kebajikan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran, sebagai berikut ini :
Artinya : (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali Imran : 134)
Boleh dikatakan agama menjadi hal yang sangat penting dan mutlak, yang menentukan dalam mengkontruksikan dan mendidika kepribadian sejak kecil, agama bukan sebagai penyeimbang saja melainkan juga menjadi pokok persoalan hidup. Karena itu jika anak-anak, remaja, ataupun orang dewasa tanpa mengenal agama, maka perilaku moral yang dimilikinya dapat mendorong ke pola laku dan pola pikir yang kurang atau bahkan tidak baik, oleh karena itu pentingnya pelaksanaan pendidikan agama betuk-betul memerlukan bimbingan dan pengarahan demi tercapainya cita-cita tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, Kusrini (1991 : 46) menjelaskan tentang pembentukan kepribadian muslim sebagai berikut:
“Pembentukan kepribadian muslim pada hakikatnya ialah keutuhan, keseluruhan diri manusia dengan unsur rohani dan jasmaninya sebagai dwitunggal. Rohani memiliki kemampuan cipta, rasa dan karsa, sedangkan jasmani menampilkan kesehatan dan ketrampilan fisik. Keutuhan juga mencakup keberadaan diri sendiri sebagai seorang (individu) dengan masyarakat dan kedudukan dirinya sebagai kepribadian mandiri dengan kedudukan dirinya sebagai mahlauk Tuhan”. (Kusrini, 1991 : 46).
Dilihat dari sudut pandang yang lain, kelemahan pendidikan agama sebagaimana diungkapkan Thowaf (1996) dalam bukunya (Muhaimin 2003:137) Ia mengidentifikasi beberapa kelemahan dari pembelajaran pendidikan agama, yaitu: (1) pendekatan masih cenderung normative, menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks social budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama yang hidup dalam keseharian, (2) kurikulum yang dirancang dirasa masih minimum kopetensi ataupun minimum informasi bagi peserta didik, (3) pendidik kurang mengali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, (4) keterbatasan sarana/prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya.
Berkaitan dengan keterbatasan sarana/prasarana, kondisi tersebut menggejala baik pada pendidikan agama di sekolah maupun di madrasah, khususnya swasta. Akibat selanjutnya, pendidikan agama yang demikian tidak didukung oleh perangkat sarana yang mampu mempermudah belajar peserta didik secara cepat dan terarah. Pada umumnya sering kali di klaim bahwa pendidikan agama merupakan aspek yang penting dari totalitas pembelajaran di sekolah/madrasah, tetapi dalam urusan fasilitas pendidikan agama mendapat prioritas paling belakang. Berbagai kritik tersebut mendeskripsikan kondisi Pendidikan Agama Islam yang selama ini berjalan di lapangan yang perlu segera dicarikan solusi pemecahannya, baik oleh oleh Guru Pendidikan Agama Islam itu sendiri maupun para pemerhati dan pengembang pendidikan agama Islam,
Rekomendasi Artikel: