Bahasa

Kata Dasar

Kata Dasar

Umumnya kata dasar dalam bahasa Indonesia, dan juga semua bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, terjadi dari dua suku kata; misalnya: rumah, lari, nasi, padi, pikul, jalan, tidur dan sebagainya. Seorang ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff, dalam penelitiannya tentang bahasa Indonesia telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia. Pola itu disebutnya Pola Kanonik atau Pola Wajib , yaitu:

  1. Pola Kanonik I: K-V-K-V, maksudnya tata susun bunyi yang membentuk suatu kata dasar terdiri dari: Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal, misalnya: padi, lari, paku, tiga, dada, dan sebagainya.
  2. Pola Kanonik II: K-V-K-V-K, maksudnya di samping Pola Kanonik I kata-kata dasar Indonesia dapat juga tersusun dari Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal-Konsonan, misalnya: rumah, tanah, batang, sayap, larang, dan lain-lain.

Kita tidak menyangkal akan apa yang telah dikemukakan oleh von Dempwolff. Tetapi, andaikata kita menerima secara mutlak Pola Kanoniknya itu sebagai dasar yang absolut, maka bagaimana kita harus menerapkan kata-kata seperti tendang, banting, panggil, aku, api, anak, dan lain-lain? Berarti kita sekurang-kurangnya menambahkan beberapa macam rumus lagi agar bisa menampung semua kata dasar yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya: K-V-K-K-V-K, V-K-V-K, V-K-V. Dan semua rumus ini sekurang-kurangnya baru mengenai kata-kata dasar. Jika kita membahas kata-kata pada umumnya, tentu akan lebih banyak lagi.

Oleh karena itu kita mengambil suatu dasar lain yang lebih sempit yaitu berdasarkan suku kata ( silaba ). Bila kita berusaha untuk memecah-mecahkan kata dasar bahasa Indonesia menjadi sukukata-sukukata, maka kta akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa ada tiga macam struktur sukukata dalam bahasa Indonesia yaitu: V, V-K, K-V , dan K-V-K . Dengan demikian kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dibentuk dari kemungkinan-kemungkinan gabungan dari ketiga jenis silaba itu, misalnya:

             ru - mah  (K-V + K-V-K) 
             ka - ta     (K-V + K-V) 
             a  - pa     (V + K-V) 
             lem - but  (K-V-K + K-V-K) 
             na - ik      (K-V + V-K) 
              a - ir       (V + V-K) dan lain-lain.

A. Akar Kata

Jika kita memperhatikan lagi dengan cermat akan bentuk-bentuk kata dasar, tampaklah bahwa ada banyak kata yang memiliki bagian yang sama. Seorang ahli bahasa dari Austria bernama Renward Brandsetter telah mencurahkan minatnya sepenuhnya dalam hal ini. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dalam sejarah pertumbuhannya, pernah terbentuk dari suatu unsur yang lebih kecil yang disebut akar kata . Kata-kata seperti bukit, rakit, bangkit, ungkit, dan lain-lain dapat dipulangkan kepada suatu unsur dasar yaitu vkit.

Dengan demikian dalam bahasa Indonesia kita mendapat bermacam-macam akar kata seperti:

      vtun : tuntun, santun, pantun. 
      vtas : batas, atas, pentas, petas, retas , dan lain-lain. . 
      vlut : kalut, balut, salu, belut, dan lain-lain. 
      vlit : lilit, kulit, sulit, belit,  dan lain-lain. 

B. Arti Akar Kata

Pada umunya kita masih bisa mencari dan menemukan arti dari akar kata-kata dalam bahasa Indonesia. Tetapi sering juga kita terbentur dengan adanya kata-kata yang menganndung akar kata yang sama tetapi tidak terdapat kemiripan arti, misalnya:

       v lut  mengandung arti : menggulung, melibat; 
                                 Karo : ulut = menggulung 
                              Melayu : bulut = bungkus dengan cepat 

Tetapi apa arti akar kata Ilut yang terdapat dalam kata-kata seperti:

       kalut = pikiran yang kacau 
       belut = sejenis binatang air? 

Persoalan di atas tidak perlu memusingkan kita, bila kita ingat bahwa dalam bahasa Indonesia sekarang pun terdapat homonim-homonim, di mana bentuk kata-kata itu sama tetapi tidak ada kemiripan arti, misalnya:

       Bisa = dapat, sanggup. 
       Bisa = racun.

Jadi dalam masa purba pun tentu terdapat homonim-homonim pada akar kata. Hanya kita menghadapi kesulitan sekarang, sebab tidak dapat mencari arti yang tepat lagi atau kadang gagal sama sekali. Seandainya akar-akar kata itu masih produktif dipakai dalam pembentukan baik pembentukan kat maupun pembentukan macam lainnya, maka akan lebih mudah untuk mencari artinya. Lain halnya dengan kata-kata yang homonim dalam bahasa Indonesia sekarang; kita dapat menemukan artinya dengan mudah karena kita bisa mendapat kata-kata itu dalam suatu konteks. Dengan demikian kita dapat menafsirkan artinya berdasarkan hubungannya dalam konteks tertentu.

C. Pembentukan Kata Dasar

Dari bermacam-macam akar kata itu dapat dibentuk kata-kata dasar seperti yang ada sekarang dalam bahasa Indonesia. Pembentukan kata dasar tersebut dilakukan dengan berbagai cara:

a. Reduplikasi akar kata: gak + gak > gagak

                                     lit + lit       > lilit 
                                     tun + tun   > tuntun, dan lain-lain. 

b. Mendapat formatif (pembentuk) awalan: a-, i-, u-, ka-, sa-, ta-

    ka + bur > kabur 
    se + bar > sebar 
     a + lir    > alir 

c. Mendapat formatif sisipan er, el, um, dan in:

    king + er > kering 
    kan + um > kuman 

d. Mendapat formatif akhiran: -an, -en, -n, dan -i

e. Penggabungan antar akar kata:

    ruk + sak > rusak (ruk = merusak, sak = membinasakan) 

f. Ada pula kata dasar yang hany terdiri dari satu akar kata. Dalam hal ini kita dapati kata-kata dasar yang menyatakan:

  1. 1. Interjeksi: ah, hai, dan lain-lain.
  2. 2. Onomatope: sar, sir, sur, sis, dan lain-lain.
  3. 3. Kata-kata yang menyatakan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Kata-kata semacam ini banyak terdapat dalam bahasa Sunda dan Jawa, misalnya: bes, cup, rep, jlog, dan lain-lain.
  4. 4. Bahasa bayi: mam, mak, pak, dan lain-lain.
  5. 5. Kata-kata yang dipakai untuk panggilan orang: cih, nung, kak, kang, bi, dan lain-lain.

D. Hukum van der Tuuk dan Kesepadanan Bunyi

Di antara ahli bahasa Eropa yang pernah mengadakan perbandingan bahasa-bahasa Nusantara adalah H. N. van der Tuuk. Dari hasil penelitian, baik yang diadakan oleh ahli-ahli lain maupun oleh van der Tuuk sendiri, akhirnya tercapai suatu pendapat bahwa harus dengan tegas dibedakan dua macam trill (bunyi getar), yaitu /r/ palatal dan /R/ uvular. Fonem /R/ uvular biasanya berganti-gantian dengan /g/ dan /h/, sedangkan /r/ prepalatal biasanya bertukar dengan /d/ dan /l/. Pertukaran antara fonem-fonem ini di antara berbagai bahasa Nusantara dikenal dengan nama Hukum van der Tuuk I dan Hukum van der Tuuk II.

Yang dimaksud dengan Hukum van der Tuuk I adalah saling bertukar antara fonem R-G-H, serta Hukum van der Tuuk II adalah pertukaran antara donem R-D-L.

Sesungguhnya ada hubungan-hubungan yang teratur abtara fonem-fonem berbagai bahasa Nusantara. Kita dapat memperbanyak hubungan-hubungan ini misalnya antara b dan w. Ini sama sekali tidak berarti bahwa fonem /b/ dalam bahasa X akan selalu berganti dengan fonem /w/ dalam bahasa Y. Pertukaran ini tidak mutlak.

Oleh karena itu harus diadakan koreksi terhadap istilah yang dipakai oleh ahli-ahli tersebut. Kita tidak bisa mempergunakan istilah IhukumI dalam hubungan ini, dan juga kita harus menghindari pemakaian istilah berganti atau bertukar . Bukti mana yang menjelaskan bahwa /b/ berubah menjadi /w/ atau /w/ berubah menjadi /b/? Secara deskriptif kita hanya bisa mencatat bahwa ada kesepadanan atau korespondensi antara bunyi-bunyi tersebut. Oleh karena itu untuk selanjutnya kita mempergunakan istilah lain yaitu kesepadanan bunyi atau korespondensi bunyi.

Jadi dalam berbagai bahasa Nusantara terdapat kesepadanan bunyi atau korespondensi-korespondensi bunyi tertentu, misalnya:

1. Ada kesepadanan bunyi antara /b/ dan /w/:

    tebu ( Melayu) — tewu (Ngaju Dayak) 
    besi (Melayu) — wesi (Jawa) 

2. Ada kesepadanan bunyi antara /r/ - /d/ - /l/:

    padi (Melayu) — pari (Lampung) — palay (Tagalog) 

3. Ada kesepadanan bunyi antara /r/ - /g/ - /h/

    Pari (Melayu) — padi (Bali) — pagi (Tagalog)

Rekomendasi Artikel: