Dr. H. Uril Bahruddin, MA
Lepas dari benar atau tidaknya, kita sering mendengar kisah tentang kehidupan enam orang buta yang pernah mendengar cerita tentang gajah, namun mereka belum pernah melihatnya sehingga mereka penasaran dan ingin sekali mengetahui bentuk gajah itu seperti apa. Ketika sibuta pertama mendekati gajah, dia tersandung batu kemudian jatuh dan menabrak tubuh gajah yang besar. Kemudian dia berkesimpulan bahwa ternyata gajah itu seperti tembok. Sibuta kedua datang dengan memegang gading gajah. Lalu dia berkesimpulan ternyata gajah itu kecil, berbentuk lonjong, sangat licin dan ujungnya tajam.
Sibuta ketiga mendekati gajah dan memegang belalainya yang selalu bergerak. Orang buta yang ketiga menyimpulkan bahwa gajah itu ternyata bukan seperti yang diceritakan oleh kawan-kawannya, tapi bentuknya mirip seperti ular. Selanjutya, sibuta keempat loncat dengan penuh semangat dan jatuh menipa lutut gajah. Dia berkesimpulan bahwa gajah itu mirip dengan batang pohon yang besar. Karena sibuta kelima yang dipegangnya adalah telinga gajah, maka dia menyimpulkan bahwa gajah itu mirip seperti kipas. Adapun sibuta yang terakhir, kebetulan dia memegang ekor gajah. Maka kesimpulan yang disampaikan bahwa gajah itu seperti tali.
Demikianlah keenam orang buta itu bertengkar, masing-masing mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri sesuai dengan pengalaman yang dirasakan terkait dengan bagaimana bentuk gajah itu. Mereka tidak ada yang mau mengalah, padahal deskripsi masing-masing tentang gajah hanya didasarkan pada informasi yang tidak lengkap. Mereka semua hanya meraba setiap bagian tubuh gajah yang berbeda, sehingga mereka tidak dapat melihat secara lengkap hewan gajah itu sendiri. Akhirnya yang terjadi hanya saling menghakimi dan saling menyalahkan, padahal semuanya salah.
Apabila kita kaitkan dengan cara pandang terhadap Islam, maka akan kita dapatkan sebagian kaum muslimin masih memiliki pemahaman yang parsial terhadap Islam sebagaimana enam orang buta yang mendeskripsikan tentang gajah di atas. Pemahaman yang tidak sempurna terhadap Islam seperti itu bukan hanya bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan kepada manusia untuk memahami Islam dan masuk Islam secara kaffah, bukan sebagian-sebagian, namun akan berdampak buruk pada kehidupan kaum muslimin itu sendiri.
Pemahaman parsial terhadap Islam akan menyempitkan dan menyudutkan Islam hanya pada sisi tertentu saja, akan menjadikan Islam seakan-akan hanya sebagai agama ritual belaka yang kaku, posisi kaum muslimin hanya layak berada di masjid dan musholla semata. Kaum muslimin tidak layak mengurusi urusan sosial, ekonomi, politik dan negara, karena pemahaman yang parsial itu menganggap semua urusan itu tidak ada hubungannya dengan Islam kecuali masjid dan musholla.
Pemahaman parsial terhadap Islam akan mendiskriditkan pemahaman terhadap sunnah nabi Muhammad saw. hanya pada seputar shalat, memelihara jenggot, memakai baju putih, memakai siwak dan sejenisnya. Sementara sunnah nabi lain yang lebih besar tidak dianggap bagian dari sunnah. Bukankan nabi Muhammad tidak hanya memimpin shalat tetapi juga memimpin berdagang di pasar, memimpin pasukan tempur dan negara. Sebagai dampak dapi pemahaman parsial seperti ini sebagian umat Islam hanya sibuk mengurus sebagian sunnah dan melalaikan sunnah-sunnah lain yang lebih strategis.
Lebih berbahaya lagi bahwa pemahaman parsial terhadap Islam akan cenderung menimbulkan sikap ekstrim, karena menganggap Islam itu sangat sempit urusannya. Akibat dari sikap ekstrim itulah, akan muncul kelompok-kelompok dalam Islam karena perbedaan sudut pandang dalam masalah yang sempit yang difahami oleh sebagian dan tidak difahami oleh sebagian yang lain. Selanjutnya kelompok-kelompok itu akan memunculkan sikap fanatik terhadap golongan masing-masing. Akhirnya warisan ilmu dalam Islam yang amat agung menjadi terabaikan, karena masing-masing hanya sibuk mempertahankan pendapatnya dan tidak mau belajar ilmu-ilmu yang lebih luas.
Disamping itu, pemahaman parsial terhadap Islam menjadikan orang tidak bisa membedakan antara ushūl dan furū', antara hal-hal yang pokok dalam Islam dan hal-hal yang cabang. Karena minimnya pemahaman ke-Islam-an seseorang, maka bisa jadi semua masalah dianggap ushūl, dan karena itu kaum muslimin hanya sibuk mempermasalahkan hal-hal furū'iyah. Tidak jarang dijumpai kaum muslimin bertikai dan saling menyerang hanya karena masalah yang furū’, bahkan kadang-kadang menganggap pelaku furū'iyah yang berbeda dengannya dianggap sesat. Dengan demikian, maka memahami Islam dengan sempurna adalah sebuah keniscayaan, agar dapat terhindar dari dampak buruk sebagaimana disebutkan di atas.
Kajian tentang kesempurnaan Islam atau dalam istilah bahasa Arab disebut dengan syumūliyatul Islam akan mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa Islam itu agama yang sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, tidak ada yang kurang dari Islam, semua permasalahan dalam kehidupan manusia ini ada solusinya dalam Islam. Konsep syumūliyatul Islam ini bukan datang dari pemikiran manusia dan bukan pernyataan makhluk, namun merupakan pernyataan resmi dari sang Pencipta, Allah swt. :
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku telah sempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama kalian”. (QS Al-Maidah:3)
Diantara aspek kesempurnaan Islam adalah aspek waktu. Yang dimaksud dengan aspek waktu dalam kaitannya dengan kesempurnaan Islam adalah bahwa keberlakukan risalah Islam ini tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Islam sudah ada sejak zaman nabi Adam sampai zaman nabi Muhammad saw. Risalah pokok yang dibawa oleh nabi Adam as pada prinsipnya sama dengan risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw., yaitu Islam. Demikian ditegaskan oleh Allah dalam Firman-Nya:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”. (QS Al-Anbiya’:107)
Semua Rasul Allah memiliki kewajiban untuk menyebarkan risalah Islam kepada kaumnya masing-masing. Nabi Nuh diutus untuk menyampaikan risalah Islam pada kaum Tsamud, nabi Musa diutus oleh Allah untuk menyebarkan Islam kepada kaum Bani Israil, hingga Rasulullah Muhammad saw. diutus oleh Allah sebagai rasul
akhir zaman mendapatkan tugas mulia dari Allah untuk menyempurnakan agama Islam yang telah ditetapkan sebagai risalah bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini dari yang pertama kali yang terakhir nanti.
Aspek kedua adalah aspek manhaj. Islam adalah agama yang sempurna dari aspek manhaj atau sistemnya. Atauran yang dibuat oleh Islam meliputu segala sisi kehidupan manusia. Mulai dari yang paling mendasar yang menjadi fondasi dari seluruh bangunan ke-Islam-an seseorang yaitu masalah aqidah. Profil utama sebagai seorang muslim adalah beraqidah yang benar. Sebesar apapun karya seorang muslim, jika tidak dilandasi dengan aqidah yang kuat, amal itu akan menjadi sia-sia. Sistem Islam bukan hanya masalah aqidah, namun selanjutnya ada ibadah, akhlaq dan seterusnya hingga pada puncaknya yang berfungsi untuk melindungi bangunan Islam yaitu jihad fi sabilillah.
Aspek ketiga adalah tempat, disamping risalah Islam ini juga diperuntukkan oleh Allah semua manusia pada zaman kapanpun, risalah Islam juga merupakan risalah yang tepat dan layak diterapkan dimanapun. Karena itulah dalam kajian tentang syumūliyatul Islam, kita kenal juga dengan istilah Al-Islām Shālih likulli Zamān wa Makān, artinya Islam itu relevan untuk diterapkan pada semua waktu dan tempat. Dengan kata lain, bahwa orang yang mau menerapkan sistem Islam dalam diri dan kehidupannya tidak akan berbenturan dengan masa kapanpun dan tempat manapun. Wallahu a’lam.
==============
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.