Reklamasi Lahan Pasca Penambangan
KEPMEN Pertambangan dan Energi No. 1211.K/008/M.PE/1995 yang dimaksud reklamasi adala h kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Suhartanto (2007), reklamasi lahan adalah suatu upaya pemanfaatan, perbaikan dan peningkatan kesuburan lahan yang rusak secara alami maupun pengaruh manusia melalui penerapan teknologi maupun pemberdayaan masyarakat.
Tujuan akhir reklamasi lahan pasca penambangan adalah pilihan optimal dari
berbagai keadaan dan kepentingan. Selain itu perlu diingat bahwa reklamasi merupakan kepentingan masyarakat banyak, sehingga tujuan reklamasi tidak boleh hanya ditentukkan sendiri oleh perusahaan pertambangan yang bersangkutan. Penetapan tujuan reklamasi dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut :
a. Jenis mineral yang di tambang.
b. Sistem penambangan yang digunakan. c. Keadaan lingkungan setempat.
d. Keadaan dan kebutuhan sosial-ekonomis masyarakat setempat. e. Keekonomian investasi mineral.
f. Perencanaan tata ruang yang telah ada.
Beberapa penelitian tentang reklamasi lahan pasca penambangan telah dilakukan, baik oleh pihak perusahaan, civitas akademik, ilmuwan, stakeholder dan LSM. PT. Kaltim Prima Coal, Tbk menjalankan pemantauan kondisi lingkungan ekstensif berdasarkan rangkaian tolak ukur (udara, air, geokimia penutup) dan reklamasi dengan penanaman kembali lahan pasca penambangan dengan menggunakan tanaman-tanamah hutan yang telah ada sebelumnya.
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) 2004, pada lokasi pasca penamba ngan yang berupa sumuran (pit ) dapat dipilih beberapa metode reklamasi sesuai dengan kondisi lapangan. Pertama dengan menimbun kembali lokasi pasca penambangan dan selanjutnya dilakukan menyebaran tanah pucuk sebagai media penanaman kembali. Kedua adalah dengan melandaikan lereng pasca penambangan dan selanjutnya penyebaran tanah pucuk dilakukan di lereng dan dengan demikian penanaman tumbuhan dilakukan di lereng pasca penambangan. Hal inilah yang mendasari bahwa kemiringan lereng harus relative landai agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Metode lainya adalah dengan menjadikan pasca lokasi penambangan sebagai kolam untuk budidaya ikan. Metode penerapan reklamasi dengan penanaman kembali sangat bergantung pada ketersediaan top soil, sedangkan metode yang membentuk kolam tergantung pada kuallitas air (asam atau tidak, ada tidaknya zat-zat berbahaya atau logam berat).
Badri (2004), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa karakteristik tanah, vegetasi dan air kolong pasca penambangan berbeda menurut sebaran umur penambangan. Kombinasi pemberiaan pupuk kandang, inokulum mikoriza dan tanaman lamtoro merupakan teknik reklamasi pasca penambangan terbaik. Menurut penelitian Noto hadiprawiro (2006), reklamasi lahan yang terkena buangan tambang dan yang terkena wesh, tidak saja sulit akan tetapi juga sangat mahal dan memakan waktu lama. Diketahui bahwa tumbuhan air eceng gondok dapat membersihkan badan air dari logam dan banyak pohon hutan (seperti Betula spp dan Salix spp) mampu hidup pada tanah dengan kandungan Pb dan Zn tinggi.
2.5. Strategi
Menurut Mintzberg (1997), strategi adalah rencana jangka panjang dengan diikuti tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu, yang umumnya adalah kemenangan. Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering kali mencampuradukkan kedua kata tersebut. Contoh berikut menggambarkan perbedaannya, strategi untuk memenangkan keseluruhan kejuaraan dengan taktik untuk memenangkan satu pertandingan. Pada awalnya kata ini dipergunakan untuk kepentingan militer saja tetapi kemudian berkembang ke berbagai bidang yang berbeda seperti strategi bisnis, olahraga (misalnya sepak bola, tenis dan catur), ekonomi, pemasaran, perdagangan, industri, manajemen strategi dan lain- lain.
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan secara garis besar memiliki empat dimensi yaitu : ekologis, sosial ekonomi dan budaya, sosial politik serta hukum kelembagaan. Pembanguan berkelanjutan berhubungan erat dengan pemanfaatan sumberdaya mineral secara berkesinambungan, industri pertambangan salah satu bentuknya. Keberadaan industri pertambangan di daerah tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Jika lahan pasca penambangan tidak di reklamasi maka lahan-lahan tersebut akan membentuk kubangan-kubangan yang besar dan hamparan tanah gersang yang bersifat masam. Disamping itu, kegiatan pertambangan dapat memberikan perubahan terhadap budaya dan adat istiadat masyarakat lokal.
Menurut Salim (2005), bahan tambang merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, sehingga keberlanjutan pembangunan akan terhabat oleh susutnya sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, orientasi hasil perta mbangan dan rekla masi pasca pena mbangan harus digunakan untuk diversifikasi kegiatan ekono mi yang bertumpu pada sumberdaya alam yang diperbaharui. Bila bahan tambang habis tersusut, sudah tersedia mesin- mesin penggerak pembangunan lain yang berbasis sumberdaya ala m yang diperbaharui, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata dan penge mbangan sumberdaya manusia.
Menepatkan berbagai strategi di bidang reklamasi, maka kelayakan biofisik (biophyssical sustainability) dari rekla masi lahan pasca penambangan harus diidentifikasi terlebih dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysic requirmet) setiap strategi rekla masi, kemudian dipetakan atau dibandingkan dengan karakteristik biofisik rekla masi pasca pena mbangan itu sendiri sehingga dengan cara ini akan dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap strategi. Apabila kelayakan biofisik strategi ini dipetakan dengan informasi tentang perencanaan perusahaan pertambangan, maka kertersediaan biofisik strategi dapat ditentukan sehingga rekla masi akan terlaksana secara optimal. Penepatan strategi yang sesuai akan menjamin keberhasilan teknik kegiatan rekla masi yang dimaksud dan secara sosial budaya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Industri mineral memerlukan komitmen terhadap pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat tempat perusahaan beroperasi. Ini mencakup komitmen untuk meminimalkan dampak negatif pertambangan pada masyarakat sekitar serta mengkaji cara mepertahankan atau meningkatkan kesejahteraan dan keberlanjutan sosial (social sustainability) pada masyarakat ya ng terkena dampak.
Program pengembangan masyarakat menyediakan sebuah mekanisme penting sebagai sarana kontribusi perusahaan pertambangan terhadap keberlanjutan sosial ini. Pengembangan masyarakat terutama berfokus pada peningkatan kekuatan dan efektivitas masyarakat dalam menentukan dan mengelola masa depanya sendiri. Pendirian operasi penambangan hampir selalu menghadirkan infrastruktur penting ke lokasi tambang, masyarakat lokal dan wilayah lebih luas, yang dapat digunakan sebagai bagian untuk peningkatan peluang pengembangan usaha.
2.6. Kebijakan
Kebijakan (policy ) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan institusi atau lembaga yang diamati atau pelajari. Kebijakan merupakan keputusan tetap yang dicirikan konsistensi dan pengulangan (repetitiveness) perilaku untuk memecahkan persoalan yang ditetapkan tersebut (Jones, 1996). Oleh karena itu, kebijakan adalah bersifat dinamis dikarenakan konsistensi dan pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum.
Selanjutnya (Davis et al., 1993), menyebutkan bahwa kebijakan bukanlah berdiri sendiri (single decision) dalam proses kebijakan dalam sistem politik, tetap bagian dari proses antar hubungan. Oleh karena itu kebijakan dapat dikatakan sebagai satu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Kebijakan tidak boleh sekedar dibuat atau karena ada kesempatan menyusun kebijakan. Pembuat kebijakan sekedarnya dapat menimbulkan kebijakan yang tidak tepat.
Caiden (1971), mengemukakan bahwa sulitnya melakukan ketepatan disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi yang cukup, baik yang sulit disimpulkan, adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda-beda antar sektor dan instansi, umpan balik keputusan bersifat sporadis dan proses perumusan kebijakan tidak dimengerti dengan benar. Oleh karena itu untuk terciptanya kebijakan secara tepat (apropriateness), pemerintah harus bekerja melalui proses kebijakan seperti rancangan atau rencana kebijakan, formulasi rencana kebijakan, pelaksanaan di lapangan dan proses evaluasi sebagai umpan balik terhadap proses rancangan kebijakan.
Selanjutnya dalam proses kebijakan itu sendiri diberikan seperangkat metode,
strategi dan tehnik dalam penyusunan kebijakan dengan melibatkan semua pihak yang terkait. Agar tercapainya keinginan, tujuan dan sasaran, maka kebijakan harus dirancang sebaik mungkin yang pada akhirnya dapat berbentuk negatif seperti larangan atau bentuk positif seperti pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan.
Demikian pula yang disampaikan Rees (1990), bahwa pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan, diimplementasikan dan diberlakukannya keputusan tersebut kepada masyarakat. Dengan demikian dalam implementasinya, penyusun kebijakan sangat dipengaruhi oleh : (1) seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif; (2) karakteristik dan badan eksekutif; (3) metode yang digunakan untuk menggunakan sumberdaya alam dan peraturan yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Faktor- faktor inilah yang membuat kebijakan tampak sangat dinamis.
Prinsip-prinsip pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan
seperti Gambar 2 (Rees, 1990), di sebutkan bahwa kebijakan itu tampaknya
irasional, karena kebijakan yang diterima suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Untuk itu kebijakan perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyed ia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing- masing pelaku
kebijakan.
Formulasi kebijakan
(Perundang-undangan dan Peraturan)
Penetapan tujuan-tujuan secara detail
Menetapkan metode yang tepat
Sistem informasi
Membentuk organisasi/ institusi yang tepat
Pelaksanaan rencana
Operasional rutin
Analisis hasil
(uji berdasarkan sasaran yang tepat)
Gambar 2. Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi (Rees, 1990)
Abidin (2002), menyebutkan bahwa pemilihan pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dipenuhi kriteria kebijakan yang biasa digunakan sebagai berikut :
1. Efektifitas (Efectiveness), mengukur apakah sesuatu pemilahan sasaran yang
dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi suatu strategi kebijakan dipilih dan dilihat dari
kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat.
2. Efisiensi (Economic Rationality), mengukur besarnya pengorbanan biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu.
3. Cukup (Adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
4. Adil (Equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan biaya atau ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat.
5. Terjawab (Responsiveness), dapat meme nuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat.
6. Tepat (Aproprianteness ), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya.
2.6.1. Aspek Kegagalan Kebijakan (Policy Failure)
Aspek kegagalan dalam merumuskan kebijakan failure dapat diindikasikan dengan masih banyak kebijakan pembangunan yang tidak holistik termasuk UUD 1945 yang tidak menyentuh aspek perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup, kebijakan tentang tenurial dan property rights yang tidak memberikan jaminan hak pada masyarakat adat, kebijakan yang sentralistik dan seragam dan kebijakan- kebijakan yang tidak mendukung pemerintah yang terbuka atau open Government. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam kajian kebijakan yang terbatas (kebijakan yang dihasilkan pemerintah transisi di Tahun 1998-1999).
Pengelolaan sumberdaya alam dengan menggunakan 8 (delapan) tolak ukur yaitu
delapan elemen yang harus terintergrasi dalam setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pemanfaat sumberdaya alam. Menemukan fakta bahwa peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pemerintah transisi belum mendukung, good environmental governance. Kedelapan elemen tersebut adalah : (1) Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses publik terhadap informasi; (2) Transparansi; (3) Desentralisasi yang demokratis; (4) Pengakuan terhadap keterbatasan daya dukung ekosistem dan keberlanjutan; (5) Pengakuan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal; (6) Konsistensi dan harmonisasi; (7) Kejelasan (clarity) dan (8) Daya penerapan dan penegakan (implementability and enforceability) (Santosa, 2001).
2.6.2. Analisis dan Proses Kebijakan
Analisis mempunyai tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses kebijakan. Jenis analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum pengetahuan dalam proses kebijakan, pengetahuan untuk proses kebijakan dan pengetahuan tentang proses kebijakan. (Gordon et al., 1977 dalam Parson 2005), secara definitif menetapkan variasi ini di sepanjang sebuah kontinum seperti terlihat dalam Gambar 3.
Analisis Analisis Untuk
Kebijakan Kebijakan
1 2 3 4 5
Analisis Determinasi Analisis Monitoring dan Informasi untuk Advokasi
Kebijakan Isi Kebijakan Evaluasi Kebijakan Kebijakan Kebijakan
Gambar 3. Variasi analisis kebijakan (Gordo et al., 1997 dalam Parson, 2005)
Gambar 3 diatas menerangkan bahwa dalam analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan dan isi kebijakan. Determinasi kebijakan ini adalah analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan dan untuk siapa kebijakan dibuat. Sementara isi kebijakan adalah analisis yang mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu dan bagaimana ia berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya atau analisis ini bisa juga didasari oleh informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba memberikan kritik terhadap kebijakan.
Selanjutnya monitoring dan evaluasi kebijakan, fokus analisis ini adalah mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Variasi terakhir dari kontinum di atas adalah analisis untuk kebijakan yang mencakup advokasi kebijakan berupa riset dan argumen yang dimaksudkan untuk mempengaruhi agenda kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintah, sedangkan informasi untuk kebijakan adalah sebentuk analisis yang dimaksudkan untuk memberi informasi bagi aktivitas pembuatan kebijakan, ini bisa berbentuk anjuran atau riset eksternal atau internal yang terperinci tentang aspek kualitas dan judgemental dari suatu kebijakan.
Sebagai sebuah istilah, analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam tehnik untuk meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan. (Quade, 1976 dalam Parson, 2005), misalnya mengekspresikan pandangan bahwa tujuan utama analisis ini adalah membantu pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik ketimbang yang dibuat pihak lain, jadi analisis ini berhubungan dengan manipulasi efektif dunia nyata. Untuk melakukan hal ini analisis tersebut mesti melalui tiga tahap : 1). Penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia, 2). Penerimaan, yakni membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau keputusan, 3). Implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak yang bisa membuat alternatif itu menjadi tidak memuaskan (Quade, 1976 dalam Parson, 2005).
Tiga bentuk analisis kebijakan yaitu : Pertama, analisis kebijakan yang bersifat prospektif yaitu analisis tentang kebijakan yang berlangsung sebelum aksi kebijakan. Analisis ini meliputi tahap-tahap identifikasi masalah, prakiraan, identifikasi alternatif-alternatif strategi kebijakan, pilihan dan rekomendasi kebijakan. Kedua, analisis kebijakan restrospektif yakni analisis yang dilakukan sesudah aksi kebijakan. Analisis ini dilakukan untuk menilai sesudah aksi kebijakan atau menilai proses pelaksanaan dan hasilnya. Bentuk ketiga dari analisis kebijakan adalah integrasi dan analisis prospektif dan restrospektif. Analisis ini dapat berada sebelum aksi kebijakan ataupun sesudah kebijakan (Dunn, 1994 dalam Abidin, 2002).
Pada setiap tahap analisis memberikan hasil yang relefan, untuk itu identifikasi masalah menghasilkan informasi tentang rumusan masalah, prakiraan memberikan gambaran masa depan yang masuk akal dan masa depan yang dikehendaki. Identifikasi alternatif memberikan informasi tentang strategi pemecahan masalah. Pilihan strategi menghasilkan informasi rekomendasi kepada yang berwenang yang pada akhirnya menghasilkan aksi kebijakan. Monitoring menghasilkan informasi tentang proses pelaksanaan dalam hubungan dengan kinerja pada setiap waktu. Evaluasi kebijakan memberi informasi tentang dampak dan keseluruhan suatu kebijakan. Selanjutnya oleh Abidin (2000), bahwa dari ketiga analisis kebijakan di atas, maka jenis informasi dan bentuk kebijakan dapat terlihat seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis informasi dan bentuk kebijakan
No. Bentuk Kebijakan
Jenis informasi
Prediksi Deskripsi Preskripsi Evaluasi
1. Prospektif
2. Retropspektif
3. Integratif
ü - ü ü
- ü - ü ü ü ü ü
Dunn (2003), mengemukakan metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan : Apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab dan hasil apa yang dapat diharapkan? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan.
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia : definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan menyediakan informasi mengenai konsekuensi dimasa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Pemantau (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konseskuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
Rekomendasi (preskripsi) me nyediakan informasi mengenai nilai atau
kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu permasalahan. Evaluasi, yang mempunyai nama sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari- hari, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Kelima prosedur analisis tersebut disajikan pada Gambar 4.
Kinerja Kebijakan
Mengevaluasi Meramalkan
Hasil
Kebijakan
Perumusan
Masalah
Masalah
|
Perumusan
Masalah
Masa Depan
Kebijakan
Pemantauan
Rekomendasi
Aksi Kebijakan
Gambar 4. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 2003)
2.6.3. Kebijakan Pengelolaan Pertambangan di Indonesia
Pilihan paradigma pembangunan yang berbasis negara (state-based resources development ) mengandung konsekwensi pada manajemen pembangunan yang bercorak sentralistik dan semata- mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang didukung oleh instrumen hukum dan kebijakan yang bercorak refresif.
Ada sejumlah peraturan perundangan bidang pertambangan yang berlaku di
Indonesia. Keseluruhan peraturan ini menginduk pada sebuah undang-undang
No. 11 Tahun 1967 yang biasa disebut juga dengan UU pokok pertambangan/
1967. UU ini dikeluarkan untuk mengganti UU No. 37/Prp/ Tahun 1960 yang lahir sebagai pengganti Indischen Minjwet 1899, sebuah UU pertambangan produk pemerintah kolonial Hindia-Belanda (Bachriadi, 1998).
Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan, telah mengantar Indonesia pada pilihan pembangunan yang berorientasi pada kekuatan modal besar. Pilihan ini yang kemudian diyakini hingga kini bahwa industri pertambangan hanya akan memiliki nilai ekonomis jika dikelola dalam skala besar dan oleh suatu investasi modal yang besar pula.
Keyakinan ini kemudian mewarnai berbagai macam kebijakan pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang pada akhirnya membawa kita kepada berbagai macam persoalan mendasar dan kompleks bagi kepentingan rakyat dan lingkungan hidup.
Kebijakan reklamasi ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan seoptimal mungkin dan setelah digunakan segera dipulihkan fungsi lahannya. Reklamasi harus dilaksanakan secepatnya sesuai dengan kemajuan tambang dan merupakan bagian dari skenario pemanfaatan lahan pasca penambangan.
Berdasarkan laporan Departemen ESDM (2006), Terdapat 186 perusahaan
pertambangan yang aktif melakukan kegiatannya (15 Kontrak Karya/KK, 25
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B, dan 146 Kuasa Pertambangan/KP). Dengan melihat banyaknya perusahaan pertambangan yang masih aktif. Penggunaan luas lahan untuk kegiatan tersebut semakin luas, untuk mengantisipasi terjadinya penurunan kualitas sumberdaya lahan, pemerintah menyusun kebijakan pengelolaan petambangan, reklamasi lahan pasca penambangan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Kebijakan reklamasi diatur dalam :
• UU No. 11/1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
• PP No. 32/1969, tentang Pelaksanaan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan.
• PP No. 75/2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969.
• KEPMENTAMBEN No. 1211.K/1995, tentang Pecegahan dan Penanggulangan
Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Pertambangan Umum.
• KEPDIRJEN PU No. 336/1996, tentang Jaminan Reklamasi.