Kurikulum Bertujuan Kompetensi

KURIKULUM berbasis kompetensi itu tidak ada karena tidak mungkin ada. Kurikulum sebagai alat dalam proses pembelajaran tidak dapat mempunyai basis, dasar. Yang ada ialah kurikulum yang bertujuan kompetensi, yang harus memungkinkan untuk meluluskan para pelajar yang memang kompeten. Tetapi, kompetensi itu macam apa? Untuk semua sekolah menengah kejuruan (SMK) sudah jelas. Lulusan harus kompeten dalam kejuman yang diajarkan kepada mereka. Akan tetapi, SMU menghasilkan kompetensi apa? Apalagi, SD dan SLTP? Dalam artikel ini ingin saya uraikan Kurikulum Bertujuan Kompetensi (KBK) yang berhasil membentuk seorang yang matang memasuki perguruan tinggi atau memulai bekerja.

Pada tanggal 1 Januari 2002, kita telah bangun dan melihat, semua masih sama seperti semula. Jadi, yang perlu ialah menyiapkan generasi muda menghadapi bukan suatu kejutan melainkan suatu perubahan nalar. Tidak akan ada lompatan.

Panah waktu hanya ada satu arah. Perhatian harus diarahkan kepada hari ini. Pada hari ini kita masih dapat berperan, sedangkan pada tahun 2010 dan seterusnya tinggal kenangan tentang kita atau rasa kasihan pada kita yang sudah pikun. Tambah lagi, kita menentukan kini, apakah yang harus dilaksanakan pada waktu mendatang. Maka, yang wajar ialah membentuk generasi muda sekarang ini agar mereka mampu dan sanggup mengelola dunia ini, entah selama tahun 2002 atau tahun 2100.

Kesan saya, banyak orang menaruh perhatian begitu besar pada masalah ini, karena takut akan teknologi dan industri. Padahal, ini semua hanya alat, piranti, dan sarana untuk melayani masyarakat. Teknologi itu netral. Yang berbahaya bukan teknologi, tetapi mental mereka yang takut akan teknologi atau keranjingan teknologi. Jangan lupa, ribuan ahli teknik tidak bisa mengelola sebuah negara. Hanya seorang negarawan. Apakah negarawan itu lulusan Fakultas Teknik atau Fakultas Sastra, itu tidak relevan. Ia harus seorang pemimpin yang dapat minta bantuan kepada, baik, ahli teknik maupun budayawan.

Ratusan manajer tidak bisa membangun dunia usaha. Mereka adalah teknisi. Yang bisa membangun dunia usaha ialah para entrepreneur, entah dia insinyur, entah bekas tukang mindring. Namun, karena dia entrepreneur, ia akan ”membeli top-managers” untuk usahanya.

Direktur utama industri raksasa tidak perlu seorang teknikus, tetapi seorang pemimpin yang tahu memakai teknisi itu. Pengelolaan rumah-rumah sakit yang besar tidak lagi dipegang seorang dokter, tetapi oleh seorang ekonom. Jadi, akhirnya yang penting adalah orangnya, pribadinya, kedewasaannya,- kecakapanya Sungguh-sungguh tidak penting lewat pembentukan mana.

Jelas, untuk profesi khusus dibutuhkan profesionalisme khusus. Seorang ahli informatika tidak bisa disuruh membedah orang sakit usus buntu. Namun, bukan mereka yang menentukan jalannya masyarakat, negara, atau dunia. Sekali lagi, pendidikan dan pengajaran mana pun bisa mendukung peran orang di masyarakat. Karena itu, selain untuk profesionalisme khusus, tidak penting bentuk mana pun yang dipilih.

Apabila lulusan perguruan tinggi diharapkan siap menghadapai keadaan apa pun di kemudian hari, perlu sekali memberi para calon mahasiswa pengajaran sedemikian rupa sehingga dapat memanfaatkan kesempatan belajar di perguruan tinggi seoptimal mungkin. Manusia muda harus dibentuk menjadi manusia dewasa dan terampil. Sungguhpun tidak perlu semua orang menjadi ahli, tetapi mutlak perlu semua menjadi dewasa.

Tugas mendewasakan terutama terletak pada keluarga yang ada di dalam lingkungan masyarakat tertentu. Namun, melihat keadaan nyata masyarakat masa kini, sekolah pun amat berperan pada proses pendewasaan ini. Jadi, sekolah merupakan salah satu lembaga yang mendewasakan para anak. Dengan demikian jelas, salah satu tugas sekolah menengah ialah membentuk manusia muda, hingga matang masuk perguruan tinggi. Kematangan masuk perguruan tinggi berarti, setiap lulusan SMU sanggup dan mampu memulai studi bidang tertentu di perguruan tinggi.

Jelas, hal ini tidak berarti tiap lulusan sekolah menengah harus menguasai semua pengetahuan dasar dari semua jurusan. Yang harus dibentuk bukan keterampilan mengetahui banyak hal kecil, tetapi sikap intelektual yang mencakup penguasaan cara belajar yang baik. Dengan demikian kekurangan dalam pengetahuan sesaat, parate kennis, yang dibutuhkan demi suatu disiplin tertentu, dapat diperoleh dalam jangka waktu cukup pendek.

Seorang intelektual adalah seorang yang berkat pendidikan dan pengalamannya menjadi seorang yang terbuka kepada seluruh kenyataan. Ia mampu dan sanggup bergaul dengan golongan mana pun. Bebas, hormat kepada orang berkedudukan tinggi dan tidak kurang hormat kepada orang biasa. Ia tidak merasa rendah diri terhadap orang lain, sebaliknya berani berbangga diri karena telah menjadi pribadi dewasa.

Seorang intelektual tidak pernah fanatik atau berdendam. Ia tidak akan mengejar pengukuhan diri oleh orang lain. Ia berani berpendirian, dan tidak takut mengaku salah atau keliru kalau memang demikian. Ia tidak pernah takut kehilangan gengsi atau wibawa.

Memang, citra orang intelektual ini berlaku penuh bagi mereka yang telah berhasil menyaturagakan pembentukan mereka dengan kehidupan. Jadi, pada lulusan SMU ada keterarahan menuju kematangan intelektual. Apabila lulusan SMU belum memiliki ancang-ancang, seluruh pendewasaan selama belajar di perguruan tinggi akan gagal, karena tidak mempunyai dasar berpijak. Banyak SMU tidak berhasil meletakkan dasar itu, sehingga banyak lulusan perguruan tinggi tidak mencapai kematangan intelektual.

BERUSAHA menerangkan sebab-sebab SMU gagal dalam meletakkan dasar proses pendewasaan dapat dikemukakan hanya dua kendala. Kendati perguruan tinggi menuntut kematangan masuk, ia juga menghalangi pelaksanaan tuntutan itu. Perguruan tinggi tidak lagi menuntut "kematangan umum”, tetapi keterampilan tertambat pada mata ajaran tertentu. Dengan demikian, SMU dipaksa menjadi sekolah "kejuruan”: kejuruan IPA, kejuruan IPS, dan kejuruan Bahasa. Karena itu, kurikulum SMU terpaksa diarahkan kepada pengetahuan sesaat. Pendidikan umum, general education, terdesak, dan SMU bukan sekolah umum lagi.

Kendala kedua merupakan suatu lingkaran setan. Guru-guru yang mengajar di SMU berasal dari lulusan SMU yang kurang atau tidak sungguh-sungguh dewasa. Jadi, tanpa modal dasar mereka dibentuk di IKIP, atau sekarang Fakultas pendidikan dari sebuah universitas, yang baik kurikulum maupun keadaan umumnya kurang menguntungkan pembentukan pribadi intelektual. Akibatnya, para guru lulusan IKIP sebetulnya belum siap mendidik siswa SMU, karena pembentukan seorang profesional menuntut studi minimal enam tahun. Para sarjana kita yang studinya empat tahun belum profesional. Ini berlaku untuk semua bidang studi. Mereka hanya mementingkan isi mata ajaran, bukan struktur dan kaitan dengan disiplin lain. Mata ajaran jarang diajarkan dengan latar belakang keadaan nyata kehidupan sehari-hari. Bahan harus diketahui, pemahaman kurang dituntut.

Selain itu, bahasa yang digunakan guru merupakan masalah besar.

Bahasa penuturan mereka tidak hanya kerap salah, tetapi juga miskin. Oleh karena guru sendiri kurang tahu logika bahasa, anak dibiarkan mengarang atau bertutur secara tidak logis. Bahkan, pertentangan antara bagian pertama dan kedua dalam suatu kalimat tidak dilihat.

Sistem drill masih amat disenangi para guru, maka unsur penemuan biasanya dilupakan. Fisika, misalnya, tidak diajarkan sebagai hasil pertemuan antara manusia yang ingin tahu dengan alam semesta yang beradanya justru demi manusia. Fisika biasanya diajarkan sebagai semacam matematika yang deduktif sifatnya, tanpa logika ketat matematika. Pendek kata, bukan pembentukan intelektual, tetapi penumpukan pengetahuan yang dipentingkan.

Selain itu, pengetahuan itu kurang ada rujukan pada kenyataan. Hasilnya, lulusan SMU mengetahui banyak, namun mengerti sedikit. Lulusan SMU yang belum matang dan masuk perguruan tinggi akan mengalami kesukaran menghadapi masa depan, antara lain: tidak dapat memetik buah matang dari studinya di perguruan tinggi.

Apakah kurikulum baru dapat menghasilkan lulusan- lulusan yang matang memulai studi di perguruan tinggi? Semoga

Add comment


Go to top