Hermeneutika dan Fenomenologi

Hermeneutika dan Fenomenologi

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu Bahasa

Dosen Pengampu:

Dr. H. M. Zainuddin. M.A

Oleh:

Fikriyah Mahyaddin 15741002

DOKTORPENDIDIKANBAHASAARAB

PROGRAM PASCASARJANA

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2016 M

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Hermeneutika dan fenomenologi merupakan pembahasan yang populer pada saat ini. Hermeneutika adalah disiplin yang bersangkut paut dengan motif motif dan maksud yang dengan mudah bisa diketahui melalui kata-kata secara eksplisit. Hermeneutika juga berusaha memahami apa yang dikatakan dengan kembali kepada motivasinya, atau kepada konteksnya. Dengan ini jelaslah bahwa seseorang tidak bisa meremehkan konteks jika ia ingin memperoleh kebenaran dari apa yang dikatakan, sekalipun hampir setiap kalimat bisa terdistorsi dari maksud aslinya.[1]

Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Dalam esai-esai terakhirnya, Martin Heiddeger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari pemikirannya, baik pada awal maupun muthakhirnya. Filsafat itu sendiri, kata Heiddeger bersifat atau harus bersifat hermeneutis.

Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Sebut saja para filsuf seperti Ernst Cassier, Dilthey (hermeneutika) semuanya sedikit banyak mendapat pengaruh dari fenomenologi. Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal.

Untuk itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang defenisi hermeneutika dan fenomenologi, serta peran keduanya dalam filsafat.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

  1. Apa pengertian hermeneutika?
  2. Apa pengertian fenomenologi?
  3. Apa yang dimaksud dengan filsafat hermeneutika dan fenomenologi?

  1. Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:

  1. Untuk mengetahui pengertian hermeneutika.
  2. Untuk mengetahui pengertian fenomenologi.
  3. Untuk mengetahui relasi filsafat hermeneutika dan fenomenologi.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Hermeneutika

Hermeneutika yang dalam bahasa inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Hermeneutika juga sebagai sebuah terminologi, hermeneutika juga bermuatan pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya.

Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Dalam esai-esai terakhirnya, Martin Heiddeger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari pemikirannya, baik pada awal maupun muthakhirnya. Filsafat itu sendiri, kata Heiddeger bersifat atau harus bersifat hermeneutis.

Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.

Dengan demikian, Hermeneutika merupakan mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, dan dikatakan juga bahwa hermeneutika sebagai metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya.

Istilah hermeneutika sebagai “ilmu tafsir” pertama kali muncul pada sekitar abad ke- 17 dengan dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami.[2]

Secara harfiah, hermeneutika artinya tafsir. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu social dan humaniora.

The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel (The study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel.[3]

  1. Tugas Hermeneutika

  1. Hermeneutika sebagai sebuah sistem baru muncul jauh setelah ia dipraktikkan dalam filologi dan studi kitab-kitab suci. Dalam bidang ini sebuah teks harus ditafsir karena tidak jelas dengan sendirinya.

Pertanyaan utama yang menjadi fokus metode hermeneutika adalah: bagaimana sebuah teks yang memiliki konteks historis jauh sebelumnya dapat dibaca dan dipahami pembaca dewasa ini. Pertanyaan ini muncul karena aku sebagai pembaca dan teks yang dibaca membentuk dua kutub yang berbeda: di sini ada Aku dan di sana ada yang lain. Lalu bagaimana teks tersebut dipahami?

Dalam lingkup permasalahan ini muncullah beberapa tokoh terkemuka, di antaranya Fr. Schleiermacher dan W. Dilthey. Bertolak dari pengalamannya sebagai seorang sarjana teologi, Schleiermacher melihat bahwa persoalan penting dalam proses penafsiran adalah persoalan metode. Schleiermacher mencoba mengembangkan metodologinya terhadap dua tahapan, yaitu: metode perbandingan dan analisis psikologi. Dengan perbandingan seseorang melihat persamaan dan perbedaan antara pengalamannya dan pengalaman historis orang lain. Jika yang lain itu adalah teks, maka teks tersebut harus ditafsir dengan berdasarkan bentuk gramatikalnya, disusul dengan analisis bahasa yang dipakai pengarang.

Hermeneutika romantitis dengan eksemplar Friedrich Ernst Daniel Scheleiermacher (1768-1834), seorang filosof, teolog, filolog dan tokoh sekaligus pendiri Protestantisme Liberal. Scheleiermacher merupakan filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan hermeneutika. Karena itu, ia dianggap sebagai bapak Hermeneutika modern, dan pemikirannya dalam hal makna hermeneutika berubah dari sekedar kajian teologi (teks Bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat.

  1. Analisis psikologis. Tahapan metodologi ini berbeda dengan yang pertama. Dengan metode perbandingan seseorang mencoba mengungkapkan konteks bahasa yang dipakai orang lain, dengan analisis psikologis seorang peneliti diajak untuk memasuki dunia pemikiran orang lain. Penafsiran dengan metode ini berarti mencoba menerka dan mendalami perasaan dan pikiran orang lain yang terungkap dalam teks.[4]

Filsafat hermeneutika Scheleiermacher bermula dari pertanyaan universal: bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi? Dalam hal ini ia mengajukan dua teori pemahaman hermeneutikanya. Pertama, pemahaman ketata-bahasaan (gramatical understanding) terhadap semua ekspresi. Kedua, pemahaman psikologis terhadap pengarang. Dari bentuk kedua ini Scheleiermacher lalu mengembangkan apa yang ia sebut intuitive understanding yang operasionalisasinya merupakan suatu kerja rekonstruksi.[5]

Hermeneutika yang secara tradisional dianggap hanya mengurusi pencarian makna yang sebenarnya dan pasti dari sebuah teks, kemudian terlibat dalam perseteruan epistimologis antara objektivitisme dan relativisme tadi.

  1. Kritis historisisme atas pendekatan psikologistis ini coba ditangani oleh
    W. Dilthey dengan memperluas gagasan Schleiermacher ia mengatakan bahwa objek ilmu pengetahuan sosial adalah manusia pribadi sebagai makhluk psikosomatis. Dilthey juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sejarah, dalam arti ia tidak hanya memiliki sejarah tetapi ia sendiri adalah pencipta sejarah. Jadi sejarah memang menjadi ciri hakiki manusia. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk psikosomatis yang dapat menciptakan dan menentukan dirinya dalam sejarah, melalui masa lampau dan masa sekarang yang ia masuki.
  2. Apa yang dikembangkan oleh Schleiermacher dan W. Dilthey mendapat tanggapan kritis dari Hans Georg Gadamer. Ia melihat bahwa pemahaman merupakan suatu proses holistik yang terjadi dalam suatu siklus hermeneutik antara bagian-bagian teks dan pandangan kita (dengan seluruh dimensi personal, historis, dan sosial) tentang teks tersebut secara keseluruhan.[6]

  1. Pengertian Fenomenologi

Fenomen (phenom) berarti obyek atau apa yang diamati, Fenomena (phenomena) merupakan hal-hal (fakta atau peristiwa) yang dapat diamati oleh pancaindera. Sedangkan fenomenologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari fenomen.

Fenomenologi adalah gerakan filosofis yang signifikan karena berhubungan sangat baik dengan masalah wujud dari sesuatu. Masalah fenomena telah menjadi bagian dari pertanyaan manusia dari awal filsafat. Istilah yang paling erat dengan fenomenologi adalah intensionalitas. Doktrin inti ajaran bahwa setiap tindakan yang kita lakukan dengan kesadaran, setiap pengalaman yang kita miliki, disengaja. Ini pada dasarnya adalah kesadaran dari pengalaman terhadap sesuatu atau lainnya. Semua kesadaran kita diarahkan oleh objek.

Fenomenologi merupakan istilah umum yang mencakup gerakan filosofis dan berbagai pendekatan penelitian. Gerakan fenomenologis diprakarsai oleh Husserl sebagai cara untuk berfilsafat. Kemudian disusun kembali oleh Heidegger dan keluar dari disiplin filsafat yang berfokus pada kesadaran dan esensi dari fenomena, dan mengelaborasi eksistensial dan hermeneutik. Menurut G. Van der Leeuw fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada 3 prinsip yang tercakup di dalamnya:

  1. Sesuatu itu berwujud.
  2. Sesuatu itu tampak.
  3. Karena sesuatu itu tampak, maka ia merupakan fenomena.

falsafah modern khawatir dengan menampung alam semesta sebagai explicated dalam ilmu naturalistik, namun fenomenologi telah berupaya untuk mengembalikan dunia sebagai langsung dialami. Sebagai komitmen, bahkan radikal, empiris, Husserl memulai ceritanya tentang kognisi dengan langsung, pengalaman persepsi langsung, yang baginya, seperti untuk empirisme aristotle dan modern, membentuk dasar dari semua kesadaran. Tindakan mental batuan adalah persepsi sensual, karenanya setiap studi knowlede dan kesadaran harus dimulai dengan perceptipn, meskipun jelas tidak berhenti di situ.[7]

Objektivitas para Islmalog Barat semakin bisa dirasakan pasca diterapkannya pendekatan fenomenologis dalam Qur’anic Studies. Metodologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Gustay Albrecht Husserl (1859-1938) filsuf Cekoslovakia. Fenomenologi Husserl bertujuan mencari esensi suatu fenomena dengan membiarkan fenomena itu termanifestasikan “apa adanya”, tanpa dibarengi prasangka. Dalam mencari esensi objektif suatu fenomena, Husserl mengatakan kembalilah kepada realitas itu sendiri.[8]

Aplikasi pendekatan fenomenologi dalam studi al-Qur’an telah dilakukan oleh para Islamolog Barat, antara lain Charles J, Adams, Wiliam Graham, Maurice Bucaile, dan lain-lain. Pendekatan ini dinilai sebagai metodologi yang ramah, empatik dan positif dalam studi al-Qur’an menurut keyakinan umat Islam itu sendiri. Richard Bonney pun demikian, ia berusaha memaparkan Islam secara jujur seperti yang dipahami dan diyakini oleh kaum muslimin yang cinta damai.

Studi fenomenologi mempertegas pertalian esensial antara perspektif realisme dan saintifik, dan menjangkaukan sejauh mana interpretasi sastra terjerumus ke dalam cara berfikir sains, kepentingan obyektifitas, konseptualisasi statis, ketiadaan sense historis, suka menganalisis. Teks sebuah karya sastra cenderung dinyatakan sebagai sebuah obyek. Teks dianalisis dalam pemisahan tegas dari unsur subyek, dan analisis dianggap sebagai kata lain dari interpretasi.[9]

Kesesuaian peristiwa akhir-akhir ini dengan kritisisme sosial dalam formalisme hanya meluaskan defenisi obyek itu untuk memasukkan konteks sosial itu ke dalam analisis. Secara umum, interpretasi sastra masih dilihat sebagai eksperimentasi dalam pembedahan konsep terhadap obyek sastra atau keberadaannya.

“Ilmu pengetahuan memanipulasi banyak hal dan membiarkannya hidup tegang” kata fenomenolog Perancis belakangan, Maurice Merleau Ponty. Ini, tambahnya singkat adalah apa yang telah menjadi interpretasi sastra Amerika. Kita lupa bahwa karya literatur bukan obyek yang dapat dimanipulasi oleh kita, ia merupakan suara manusia di masa lalu, suara yang bagaimanapun juga harus di bawa dalam kehidupan.

  1. Hermeneutika dan Fenomenologi

Fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman yang dihidupkan, sedang hermeneutikan berkonsentrasi pada masalah-masalah yang muncul dari interpretasi tektual. Fenomenologi dengan edmund husserl mampu mengusung menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh atau mempengaruhi filsuf-filsuf lain di abad 20, sedangkan hermenutika, dijadikan sebagai metode penelitian tidak hanya menguak makna teks tetapi juga interpretasi fenomena sosial.

Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran, sedangkan hermeneutika merupakan seni pemahaman dan penginterpretasian tentang teks-teks historis. Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan, maka hermeneutika terlibat di dalamnya.

Fenomenologi tidak berfungsi dengan baik dalam memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran sangat dibutuhkan hermeneutika. Jadi pada dasarnya hermeneutika dan fenomenologi saling melengkapi.

Hermeneutika fenomenologis dengan eksemplar Edmund Husserl (1889-1938). Berbeda dengan Hermeneut-hermeneut sebelumnya, Husserl menganggap bahwa pengetahuan dunia objektif itu bersifat tidak pasti. Menurutnya apa yang kita andaikan sebagai dunia objektif sesungguhnya adalah dunia yang sudah diwarnai dengan aparatus sensor yang tak sempurna dari tubuh manusia dan dari aktivitas-aktivitas rasional maupun abstraksi pikiran. Dengan begitu ketika tengah berupaya meraih pengetahuan yang pasti tentang “dunia objektif” sesungguhnya kita sedang memastikan “dunia persepsi kita-dunia fenomena”.

Husserl menawarkan sebuah ilmu tentang kesadaran untuk melacak keteraturan sistemik dalam persepsi dan pemahaman melalui mana kepastian terhadap pengetahuan dunia objektif menjadi niscaya. Melalui fenomenologi orang harus memiliki keberanian untuk menerima apa yang sebenarnya terlihat oleh fenomena secara tepat sebagaimana ia menghadirkan dirinya lebih dari pada menafsirkannya, dan kemudian menggambarkannya dengan penuh kejujuran. Karena berangkat dari kerangka dasar fenomenologi, maka menurut hermeneutika Husserl proses penafsiran harus kembali kepada data, bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Interpreter harus melepaskan semua pengandaian dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat objek yang mengarahkan diri kepadanya. Jadi bagi hermeneutika Husserl pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.[10]

Dengan begitu, menurut perpektif ini, proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Hermeneutika fenomenologis ini berpendapat bahwa teks merefleksikan kerangka mentalnya sendiri, dan karenanya penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsur-unsur subjektifnya atas objek.

Karena itu menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasi teks dari semua hal yang tak ada hubungannya termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.

Untuk itu, menurut Maulidin, ada tiga langkah yang harus dilakukan, yaitu:

  1. Melakukan reduksi fenomenologis yang dikerjakan dengan menempatkan dunia dalam tanda kurung.
  2. Melakukan reduksi eidetik yang dikerjakan dengan memusatkan perhatian dan pengamatan kita pada esensi sesuatu yang dicoba untuk dipahami.
  3. Melakukan rekonstruksi dengan menghubungkan hasil reduksi fenomenologis dengan hasil reduksi eidetik.

Betti, dengan mendasarkan diri sebagian kepada Husserl muda, menekankan dengan kuat dalam dirinya sendiri Ansich (dalam dirinya sendiri) objek hermeneutika. Titik awal fenomenologis Riceour memimpinnya untuk menegaskan pandangan ini, dan memikirkan ulang relasi antara fenomenologi dan hermeneutika, khususnya dalam bidang ontologis eksistensialnya.

Fenomenologi dan hermeneutika, di matanya telah dilebur oleh Heidegger ketika ia memperkenalkan istilah hermeneutika yang diambilnya dari Dilthey dalam rangka membedakan membedakan pendekatannya dari fenomenologi Husserl yang telah menjadi titik awal karir filosofinya. Heidegger tidak mengikuti Husserl untuk beranjak dari fenomenologi eidetik menuju fenomenologi transendental, melainkan tetap bertahan pada interpretasi atas fenomena dalam relasinya dengan esensi mereka. Sebagai hermeneutik, fenomenologinya berkutat dari desain menuju determinasi atas makna eksistensi, namun di titik ini lagi-lagi ia memilih mengambil bentuk sebuah ontologi yang fundamental.

Hal yang sama yang terjadi pada Riceour yang mengikuti Husserl hanya sampai periode kedua, di mana fenomenologi eidetik diganti dengan fenomenologi deskriptif terlihat dari ketertarikannya terhadap meditations Cartesia dan Ideen Husserl yang diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis. Di sini Husserl menunjukkan bahwa semua aktifitas manusia kembali lagi pada sebuah ego tansendental, yaitu cogito.[11]

Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial

Martin Heidegger, dalam menghadapi persoalan ontologis, meminjam metode fenomenologis dari gurunya Edmund Husserl, dan menggunakan studi fenomenologis terhadap cara berada keseharian manusia di dunia. Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being and Time (1927), Sebagai karya “hermeneutika Dasein”.

Hermeneutika dalam konteks ini mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau metodologi, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan modal fondasional keberadaan manusia. Dengan demikian, hermeneutika dasein Heidegger melengkapi, khususnya sejauh ia mempresentasikan ontologi pemahaman, juga dipandang sebagai hermeneutika, penelitiannya adalah hermeneutik baik isi sekaligus metode.[12]

Profesor Hans Georg Gadamer mengikuti metodologi Heidegger, mengembangkan implikasi kontribusinya Heidegger terhadap hermeneutika ke dalam karya sistematiknya tentang filsafat hermeneutika. Gadamer mengikuti perkembangan hermeneutika secara detail dari Schleiermacher melalui Dilthey dan Heidegger, yang menyediakan laporan historis pertama yang memadai tentang hermeneutika yang mencakup dan merefleksikan sudut pandang kontribusi revolusioner Heidegger.

BAB III

PENUTUP

Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.

Hermeneutika merupakan mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, dan dikatakan juga bahwa hermeneutika sebagai metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya.

Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan, maka hermeneutika terlibat di dalamnya. Fenomenologi tidak berfungsi dengan baik dalam memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran sangat dibutuhkan hermeneutika. Jadi pada dasarnya hermeneutika dan fenomenologi saling melengkapi.

Fenomenologi dengan edmund husserl mampu mengusung menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh atau mempengaruhi filsuf-filsuf lain di abad 20, sedangkan hermenutika, dijadikan sebagai metode penelitian tidak hanya menguak makna teks tetapi juga interpretasi fenomena sosial.

KAJIAN PUSTAKA

Dermot Moran & Lester E Embree, Phenomenology Critical concepts in philosophy, (Routledge : London and NewYork, 2004).

Inyiak Ridwan Muzir, hermeneutika filosofis Hans georg gadamer, (arruz-Yogyakarta, 2010).

Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intensionalisme dan Gadamerian, (Ar.ruz Yogyakarta).

Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian kuasa bahasa dalam bahasa politik Gusdur, (UIN Malang Press, 2007).

Mikhael dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, (Ledalero, 2007)

https://zainabzilullah.wordpress.com/2013/01/20/pemikiran-fenomenologi-menurut-edmund-husserl/

Jean Grondin, Sejarah hermeneutik dari plato sampai Gadamer, (Arruz- Yogyakarta, 2007)

Joseph Bleicher, Hermeneutika Kontemporer (Hermeneutika Sebagai Metode Filsafat Dan Kritik), Fajar Pustaka Yogyakarta.



[1] Jean Grondin, Sejarah hermeneutik dari plato sampai Gadamer, (Arruz- Yogyakarta, 2007), hlm 10

[2]Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika Antara Intersionalisme & Gadarisme, (Arruz Media: Yogyakarta, 2008), hlm 29.

[3] Abdurrahman al-Baghdady, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, (Gema Insani), hlmn 8

[4]Mikhael dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, (Ledalero, 2007), hlm 199.

[5]Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian kuasa bahasa dalam bahasa politik Gusdur, (UIN Malang Press, 2007), hlm 95

[6] Mikhael dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Analitis, Dinamis, dan Dialektis, (Ledalero, 2007), hlm 201

[7] Dermot Moran & Lester E Embree, Phenomenology Critical concepts in philosophy, (Routledge : London and NewYork, 2004), page 2

[8] Hlm 21

[9] Richard E Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003) hlm 6

[10]Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian kuasa bahasa dalam bahasa politik Gusdur, (UIN Malang Press, 2007), hlm 99.

[11] Joseph Bleicher, Hermeneutika Kontemporer (Hermeneutika Sebagai Metode Filsafat Dan Kritik), (Fajar Pustaka Yogyakarta), hlmn 331

[12] Richard E Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003) hlm 46

Go to top