Dr. H. Uril Bahruddin, MA
Dari berbagai sumber cerita disebutkan ada seorang laki-laki bernama Asy’aṡ. Suatu hari dia ikut teman-temannya para pedagang pergi berniaga dengan mengendarai unta. Sejak berangkat yang sibuk melayani dan mengurus persiapan perjalanan adalah temannya, sementara Asy’aṡ tidak ikut mempersiapkan. Dalam perjalanan pulang, rombongan harus bersitirahat pada sebuah tempat. Ketika semua temanya sibuk menurunkan dagangan dari atas unta kemudian mengikatnya, yang dilakukan Asy’aṡ hanya duduk-duduk dan tidur-tiduran tidak mau membantu kawan-kawannya.
Kemudian salah seorang kawannya berkata, “Wahai Asy’aṡ, coba kamu mencari kayu bakar untuk masak dan saya yang memotong daging”. Jawab Asy’aṡ, “Demi Allah, saya capek karena tadi lama sekali duduk di atas punggung unta”. Terpaksa kawannya yang harus mengumpulkan kayu bakar untuk masak.
Kemudian kawannya berkata kepada Asy’aṡ, “Kalau begitu, kamu yang menyalakan api tungku itu”. Dia menjawab, “Maaf, saya tidak tahan asap, kalau kena asap biasanya dada saya sesak”. Terpaksa kawannya lagi yang harus menyalakan tungku sendiri. Kemudian kawannya meminta lagi, “Wahai Asy’aṡ, bantu saya memotong-motong daging ini”, Asy’aṡ-pun tidak mau membantunya, dia mengatakan, “Maaf, saya takut sama pisau, khawatir nanti mengenai jari saya”.
Kemudian berkata lagi kawannya kepadanya, “Wahai Asy’aṡ, ke sinilah, masukan daging ini ke dalam panci dan rebuslah”. Kali ini jawaban Asy’aṡ, “Tidak biasa saya melihat makanan yang masih mentah, bisa-bisa nanti hilang nafsu makan saya”. Temannya juga yang melanjutkan masak hingga selesai, dan tentunya dia sangat capek karena semuanya dikerjakan sendiri. Setelah selesai, temannya berkata, “Ya sudah, sekarang tolong siapkan tempat makan, ini makasan sudah siap untuk dihidangkan”. Masih saja untuk yang kesekian kalinya Asy’aṡ menolak dan mengatakan, “Waduh, badanku lemas sekali, gak kuat berdiri”.
Untuk kali terakhir temannya memanggilnya lagi, “Wahai Asy’aṡ, ke sini kita makan, makanan sudah siap disantap”. Kali ini Asy’aṡ menjawab, “Mohon maaf, saya jadi malu sendiri, sejak tadi saya menolak terus permintaanmu. Untuk kali ini saya mau memenuhinya”.
Seringkali dalam kehidupan ini kita saksikan orang yang perilakunya mirip dengan Asy’aṡ, tidak mau bekerja tetapi hanya memikirkan manfaat untuk dirinya sendiri. Kita sebagai muslim tidak patut bersedih melihat perilaku manusia seperti itu, kita juga tidak boleh tersinggung ataupun marah. Biarkan saja mereka melakukan apa saja, kita tetap akan memberikan manfaat dan bantuan kepada mereka. Begitulah murabbi kita Muhammad saw. telah mengajarkan kepada kita.
Suatu ketika, baginda nabi Muhammad saw. sedang berada dalam sebuah majlis yang dikelilingi oleh para sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang Arab Badui dengan suara keras mengatakan, “Wahai Muhammad, bantulah aku untuk menyelesaikan permasalahanku. Aku harus membayar tebusan pembunuhan kapada seseorang”. Rasulullah-pun langsung memberi bantuan sebagian dari dana yang dibutuhkan, seraya berkata kepada Badui tersebut dengan nada bertanya, “Apakah aku sudah membantumu?”. Badui menjawab, “Belum, engkau belum membantuku”. Para sahabat-pun marah melihat perilaku Badui itu terhadap baginda nabi Muhammad saw. Namun, beliau mencegahnya untuk membalas dengan balsan yang kasar.
Diajaklah si Badui tadi ke rumah Rasulullah, berliau berkata kepadanya, “Tadi kamu datang meminta tolong, kemudian saya telah membantumu sebagian, dan setelah itu saya tanya, ternyata jawabanmu seperti itu. Ini saya tambah lagi dari uang milik kelaurgaku, apakah saya sudah membantumu?”. Badui itu menjawab, “Ya, sekarang engkau telah membantuku, terima kasih semoga Allah membalasmu dan keluargamu atas bantuan ini”.
Setelah kejadian itu, Rasulullah ingin memberi pelajaran kepada para sahabatnya. Beliau membuat perumpamaan antara beliau dan orang Badui tadi seperti orang yang mempunyai seekor unta yang lepas, kemudian orang-orang yang melihatnya mengejar unta tersebut disertai dengan suara yang justru akan membuat unta itu lari kencang. Sesungguhnya pemilik unta tersebut yang paling tahu bagaimana cara memanggil untanya, dan pemilik unta itupun melarang orang-orang dari mengejarnya, akhirnya dengan mudah dapat menghadirkan kembali untanya yang lepas itu.
Kata Rasulullah,”Seandainya saya mengikuti pendapat kalian, yaitu marah dengan Badui tersebut, maka bisa jadi dia akan murtad dari Islam dan dia nantinya akan masuk ke dalam neraka”. Demilianlah sikap kasih sayang dan lemah-lembut, ketika dipraktekkan oleh seseorang, maka akan menghiasinya. Sebaliknya jika ditinggalkan, maka akan memperburuk wajah orang yang meninggalkan itu. Al-Qur’an telah juga telah menjelaskan bahwa kebaikan itu sama sekali tidak sama dengan keburukan, apapun perilaku orang lain terhadap kita, hendaknya kita selalu membalasnya dengan yang lebih baik (QS Fussilat:34).
Semoga Allah swt. selalu membimbing kita untuk meneladani sikap kasih sayang dan lemah-lembut baginda Rasulullah saw. utamanya dalam menyampaikan kebaikan dan mengingkari kemungkaran yang pada orang lain. Wallahu a’lam.
===============
This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.