Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegoro IV terlahir dengan nama Raden Mas Sudiro, lahir pada tanggal 1 Sapar tahun Jimakir 1736 windu Sancaya atau Masehi tanggal 3 Maret 1811, Minggu Legi jam 11 malam di dalam Hadiwijayan.
Beliau putra Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I yang nomor 7 (atau nomor 3 yang laki-laki). Dari garis keturunan ayah beliau cucu Bandara Raden Mas Tumenggung Harya Kusumadiningrat, cicit (buyut) dari Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Hadiwijaya yang gugur di Kali Abu daerah Salaman Kedu (gugur tatkala melawan Kompeni/VOC). Ibu beliau adalah puteri Mangkunegoro II, jadi beliau ini cucu Mangkunegoro II dan ia diangkat sebagai anak sendiri oleh Mangkunegoro III yang kemudian dinikahkan dengan anaknya sehingga beliau menjadi menantu Mangkunegoro III.
Ia mendapatkan pendidikan dari kakeknya Mangkunegara II, setelah berumur 10 tahun oleh kakeknya ia diserahkan kepada Sarengat alias Pangeran Rio, saudara sepupunya yang kelak menjadi Mangkunegoro III, Pangeran Rio diserahi tugas untuk mendidik Sudiro tentang membaca, menulis, berbagai cabang kesenian dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya lima tahun ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pangeran Rio.
Pada usia muda sekitar 15 tahun ia telah masuk dinas militer, dan menjadi taruna infantri legiun Mangkunegoro, tiga tahun kemudian ia diangkat menjadi Kapten, lalu ia nikah dengan puteri KPH Surya Mataram dengan sebutan baru RMH Gondokusumo. Karena kecakapan dan memiliki bobot kepemimpinan yang tinggi ia memperoleh kepercayaan dan terpilih menjadi pembantu dekat Mangkunegoro III dengan mengangkat pepatih Dalem (patih raja dalam urusan dalam) selanjutnya menjadi ajudan dalam dan terakhir menjadi komandan infantri legiun Mangkunegoro dengan pangkat Mayor. Agar lebih menjadi akrab lagi dengan Mangkunegoro III, maka ia dinikahkan pula dengan puterinya yang sulung bernama BRA Dunuk.
Karena kepribadiannya yang kuat, cita-citanya yang tinggi, wawasannya yang jauh, kewibawaan yaitu dalam kemiliteran, ketrampilannya dalam pemerintahannya, kedalaman perasaannya dalam agama dan seni budaya, ia diangkat menjadi pengganti Mangkunegara III setelah beliau wafat, ia diangkat dengan sebutan Prabu Prangwadana letnan kolonel infantri legiun Mangkunegaran pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun Jimawal 1781 atau tanggal 24 Maret 1853. Adapun gelar Mangkunegoro IV diraihnya pada hari Rabu Kliwon 27 Sura tahun Jimakir 1786, berdasarkan Surat Keputusan tanggal 16 Agustus 1857 dalam usia 47 tahun.
Mangkunegoro IV telah mencapai kematangan dalam berbagai bidang sejak sebelum menjadi raja Mangkunegaran, oleh sebab setelah ia menduduki jabatan tersebut, ia segera mengambil inisiatif dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, seni budaya dan lain-lain, sehingga ia memiliki otonomi penuh mengenai urusan ke dalam seperti halnya Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dan ia berhak mengatur pemerintahan sendiri, mengatur rakyatnya menjamin ketenteraman dan kesejahteraan mereka sebagai penguasa penuh di daerahnya. Bahkan ia merasa sebagainya raja ketiga di samping Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta sehingga pada masa pemerintahannya daerahnya bertambah luas hingga daerah Sukawati (Sragen) berkat bantuannya kepada pemerintah Inggris dalam menundukkan pemberontakan Sultan Yogyakarta.
Dalam masa pemerintahan Mangkunegoro IV diterangkan bahwa beliau mengalami kemajuan dalam segala bidang sehingga Mangkunegoro IV merupakan negarawan yang cukup terpandang. Kebesaran Mangkunegoro IV terutama sebagai seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa, dapat dilihat dalam karya-karya sastra yang dihasilkannya yakin antara lain, Tripama, Manukarsa, Nayakawara, Yogatama, Paramnita, Pralambang lara kenya, Langen swara dan lain-lain. Dari hasil-hasil karya sastra di atas, Mangkunegoro IV dipandang sebagai salah seorang sastrawan dalam masa kebangkitan kembali kesusastraan Jawa baru dalam masa Surakarta.
Versi Lain Penulis Serat Wedhatama
Tentang siapa penulis Serat Wedhatama yang asli hingga kini ada beberapa versi dan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Serat Wedhatama itu hasil karya R. Ng. Ronggowarsito. Alasan yang mempunyai pendapat ini karena wileda (ikatan) kata demi kata sedemikian indah dan praktisnya sehingga mudah dihafal, itu ciri khas pujangga Ronggowarsito.
Ada lagi yang berpendapat bahwa Wedhatama itu karya Raden Ngabehi Wiryokusumo, seorang bangsawan Mangkunegaran yang mengabdi di istana dengan Pangkat Mantri Langenprojo Mangkunegaran.
Meskipun tidak begitu seterkenal seperti pujangga Ronggowarsito, tetapi ternyata Rn. Ng. Wiryokusumo. Ini hasil karyanya digemari oleh umum pada zamannya, yaitu antara lain : Tembang Prana, Panitisastra dan lainnya lagi.
Masalah tentang siapa pengarang Wedhatama mendapat perhatian penulis Barat antara lain Dr. P.A. Rinkes yang meragukan jika seluruh penulisan Wedhatama itu dikarang Mangkunegora IV karena penulisannya telah ikut di dalamnya Pakubuwono IX, Ronggowarsito, dan Wiryokusumo sebab sastra dan gaya bahasa dalam Wedhatama sangat berbeda dengan karya-karya yang lain. Tetapi para penulis Indonesia pada umumnya dan penulis suku Jawa khususnya tidak meragukan bahwa Wedhatama adalah karya Mangkunegara IV. Hal ini terlihat dari berbagai penelitian di Indonesia khususnya di Jawa maupun dalam percakapan sehari-hari atau dalam bahasa lisan, kesemuanya mengatakan bahwa Wedhatama itu adalah karya Mangkunegara IV dengan beberapa pertimbangan yaitu :
1) Gaya bahasa dan kandungan isi Wedhatama.
2) Pencantuman nama pengarang dalam penerbitan Wedhatama mencantumkan Mangkunegara IV sebagai pengarangnya.
Berdasarkan analisis kandungan isi dan berbagai penerbitan yang penulis baca, penulis cenderung untuk berpendapat bahwa Serat Wedhatama adalah karya Mangkunegara IV, setidak-tidaknya karya yang dinisbahkan kepadanya.
Arti Serat Wedhatama
Dilihat dari arti katanya, Wedhatama berasal dari bahasa Sansekerta. Wedhatama, Menurut kamus Kawi-Indonesia karangan L. Mardiwasito, kata “wedha” berarti ilmu pengetahuan , sedang kata “tama” dari utama berarti baik.
Menurut R. Tanojo, arti kata Wedhatama berarti pepathokaning putra. Dari kata wedha berarti pepakem (pathokan) dan tama/utama: berarti anak. Pepathokaning putra berarti pedoman bagi putra putrinya.
Wedha adalah kawruh (bahasa Jawa): pengetahuan/ilmu/ajaran, sedang tama adalah utama: baik, luhur, dan sebagainya. Jadi Wedhatama adalah pengetahuan/ilmu/ajaran untuk mendapatkan/memiliki budi/jiwa yang baik/luhur bagi setiap insan.
S. de Jong mengartikan Wedhatama sebagai “ajaran kesempurnaan” merupakan sebuah syair pendek, tetapi tersohor yang mengandung petunjuk-petunjuk praktis bagaimana hendaknya orang-orang priyayi mengatur hidupnya.
R. Ng. Satyo Pranowo menyatakan bahwa Wedhatama merupakan atining tatakrama mendorong dan mendekatkan diri pada tercapainya cita-cita manunggal, yaitu tentang kebulatan sikap lahir batin berserah diri dan bersatu diri sepenuhnya dengan Penguasa Agung Yang Maha Tunggal (Tuhan YME).
Ringkasan Isi Serat Wedhatama
Mangkunegara IV sebagai pengarang Serat Wedhatama bertujuan memberi nasihat dan petunjuk kepada ahli warisnya untuk memakai dan tetap melaksanakan ilmu agama yang telah turun temurun menjadi pegangan para kerabat kerajaan, yaitu Agama ageming aji agama yang disandang para bangsawan. Nasihat ini dituangkan dalam empat bab, setiap bab memuat pola tembang pattern of a song yang sesuai dengan isi nasihat, pokok nasihat adalah petunjuk tata laku susila di dalam masyarakat dan di dalam menjalankan ibadat Islam, baik secara lahir maupun batin the observance of Islam in exotic and esoteric sense sehingga mencapai kenyataan dan pengetahuan tertinggi, ialah ma’rifat.
Bab I menggambarkan tingkah laku anak muda yang bertindak angkuh karena merasa mempunyai darah bangsawan dan mengandalkan cara ibadat Islam lahiriah saja.
Bab II memberi tata laku untuk orang muda dengan mengambil contoh Panembahan Senopati, raja pertama Mataram. Manusia harus dapat mengurangi keinginan naluri dasarnya, yaitu mengurangi makan dan tidur serta gelora nafsu lainnya. Untuk memantapkan hidup kemasyarakatannya harus menguasai tiga hal : arta – wirya –winasis : harta – kedudukan – pengetahuan.
Bab III menegaskan bahwa untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan, kita harus menjalankan tata laku susila dengan usaha pertama pandai mengendalikan nafsu angkara murka. Dalam hidup sehari-hari bersikap sila –trima – legawa : sila – menerima – serah diri.
Bab IV memerinci penerapan empat macam cara ibadat menuju kesempurnaan diri, yaitu sembah raga, kalbu, jiwa dan rasa. Wedhatama sebenarnya berisikan hasil pengamatan empiris secara cermat terhadap penghayatan hidup yang mempunyai tiga dimensi, kehidupan lahir (inner Life) dan kehidupan alam ghaib (the world of the unseen). Tata laku susila ditujukan terhadap ketiga dimensi kehidupan itu yang berpuncak pada penghayatan dan pengetahuan hakekat hidup dengan perjumpaan manusia dengan Tuhan sebagai Manunggaling Kawula – Gusti.
Sesuai dengan judulnya Wedhatama yang berarti pengetahuan yang utama, maka Wedhatama adalah sebuah kitab wulang. Penulisan Serat Wedhatama merupakan hasil dari refleksi yang dalam dari kondisi kehidupan masyarakat Surakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pada dasarnya isi Serat Wedhatama berisi tentang cara mendidik anak yang baik dan nasihat-nasihat yang mulia. Dalam hal ini Serat Wedhatama terbagi menjadi 4 pupuh yaitu : pangkur, sinom, pucung, gambuh.
1. Pupur Pangkur. Dalam Serat Wedhatama ingin mengajarkan ilmu yang sempurna, yang menjadi pedoman bagi setiap orang yakni berisi tentang sopan santun. Syarat utama untuk memperolehnya ialah dengan mawas diri. Orang yang berhasil mawas diri akan menemukan dalam dirinya ketenteraman dan keserasian sehingga dapat menguasai dunia, itulah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pupuh Sinom. Berisi tentang keberhasilan mawas diri, adegan dalam Senopati, raja Mataram yang dalam hal ini mendapat gelar wong Ngeksigondo (orang yang hambanya) seorang raja teladan, ramah dan memasyarakatkan serta secara teratur menjalankan tapa (puasa), tetapi selamanya beliau tidak pernah mengasingkan diri dari masyarakat. Beliau telah mendapatkan pengalaman mistik, misalnya di pantai selatan beliau diberi pengertian mengenai sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh manusia pada umumnya.
3. Pupuh Pucung. Berisi tentang kebijaksanaan sejati, kebijaksanaan yang sejati tidak pernah terlihat pada suatu tempat, sebagai contoh orang yang membanggakan pengetahuan dari Mesir,Belanda tetapi esensi dan sesuatu yang dicari terletak pada kepribadiannya sendiri.
4. Hakekat kebijaksanaan tersebut adalah harus selalu dilaksanakan. Kedewasaan hidup menurut Mangkunegara IV meliputi : lilo (rela) narima dan legawa atau rela batinnya sudah pasrah, tetap sabar tulus ikhlas serta tawakkal atau berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Barang siapa ingin menghayati ilmu, harus dengan jalan mengekang hawa nafsu, perasaan tawakkal berserah diri terhadap kekuasaan Tuhan.
5. Pupuh Gambuh. Yakni mengungkapkan limpahan anugerah Tuhan YME harus ditebus dengan penghayatan mutlak, didasarkan pada kesucian batin, menjauhkan diri dari watak angkara murka (sifat egois yang berlebih-lebihan), serta ketekunan melakukan sembahyang 4 macam.
Ringkasan ajaran dalam Wedhatama dapat diringkas menjadi 2 kelompok :
1. Ajaran bagi para taruna (golongan muda)
a. Dianjurkan agar mempelajari tata busana dan sopan santun, serta memahami sumber ilmu pengetahuan yang benar.
b. Hendaknya yang bersikap angkuh atau menyombongkan diri (mentang-mentang mempunyai ilmu kekebalan) karena ilmu tersebut sebenarnya tidak dapat diandalkan, jangan sekali-kali bersikap sombong, mentang-mentang ayahnya berkuasa.
c. Hendaknya dapat menilai dengan cermat segala macam ajaran sehingga akan dapat menempatkan ajaran tersebut dan memilih ilmu mana yang sekiranya sesuai dengan bakat pribadinya sendiri.
d. Sadarlah dengan apa yang dimaksud menunaikan darma, yakni selagi hidup di dunia wajib bagi setiap manusia untuk berikhtiar meraih trisarana hidup, yaitu wisya, arta, wasis (keilmuwan, harta, kepandaian).
2. Ajaran bagi golongan tua
Ilmu atau cara mendidik anak
Bagaimana caranya menentukan atau meyakinkan kebenaran suatu ilmu.
Bagaimana caranya menjalankan sembah sujud kehadirat Tuhan yang maha kuasa supaya tidak sia-sia usahanya menghadap Tuhan.
Orang yang dianggap tua adalah orang yang berilmu dan memahami ruas-rasa dan bukanlah tua karena umurnya.
Jadi Wedhatama berarti ilmu pengetahuan tentang kebaikan. Tetapi bukan hanya pengetahuan yang baik tentang lahirnya saja tetapi baik dalam artian lahir maupun batin.
E. Naskah Serat Wedhatama
Serat wedhatama berbeda dengan serat-serat piwulang lainnya, karena kedudukannya yang sangat penting sejak dahulu sampai sekarang maka tidak mengherangkan jika ia lebugh banyak diminati, di bahas dan dikaji orang dari pada serat piwulang lainnya. Permasalahan serat Wedhatama menyangkut dua hal pertama masalah naskah dan penerbitan, kedua masalah pengarangnya. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada empat macam versi Wedhatama:
1. Wedhatama sayembara, terdiri atas Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 15 bait, Gambuh 21 bait, jumlah seluruhnya 65 bait.Dalam naskah Serat Wedhatama ada dua versi yang satu berjumlah 100 bait yang terdiri dari tembang : Pangkur, Sinom, Pucung, dan Kinanthi. Tetapi ada yang hanya terdiri dari 72 bait terdiri dari Pangkur, Sinom, Pucung dan Gambuh saja. Menurut yang berkeyakinan hanya terdiri dari 72 bait mengatakan bahwa yang 18 bait itu hanya tambahan saja.
2. Wedhatama terbitan Van Der Heidi en.co 1885, di Surakarta, terdiri atas; Pupuh Pangkur 14 bait, Sinom 15 bait, Pucung 15 bait, Gambuh 20 bait jumlah seluruhnya 69 bait.
3. Wedhatama terbitan Ki Padma Susastra, Pujaarja Java Institut. S.Z. Hadi Sutjipto terdiri dari Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 18 bait, Pucung 15 bait, Gambuh 25 bait, dan jumlah seluruhnya 72 bait.
4. Wedhatama lanjutan terbitan Java Institut dan Yayasan Mengadeg, terdiri atas 5 Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 18 bait, Pucung 15 bait, Gambuh 25 bait, Gambuh (lanjutan) 18 bait, jumlah seluruhnya 100 bait.
Keempat versi Wedhatama tersebut memperlihatkan beberapa persamaan dan perbedaan tentang jumlah pupuh Wedhatama versi pertama, kedua dan ketiga memperlihatkan persamaan sedangkan versi keempat di samping empat Pupuh tersebut masih ada lagi Pupuh lanjutan dan Kinanti.
Menurut Anjar Any bahwa Serat Wedhatama yang asli adalah 72 bait dengan alasan sebagai berikut :
1. Di dalam buku yang bertuliskan huruf Jawa dari museum Mangkunegoro, setelah bait 72 itu ada tanda “titi” artinya selesai. Kemudian pada halaman sebaliknya ada keterangan “Sambungan dari Serat Wedhatama yang berdiri sebagai judul tersendiri. Dan pada akhir bait 100 ada tanda “titi” lagi.
2. Dan kebiasaan memakai kata dapat dilihat bahwa antara 72 bait didepan dan 18 bait terakhir ada tanda “titi” lagi.
3. Pada bait 1 s/d 72, apakah akan berganti tembang tentu ada kode. (mulanya wong anom sami..... akan masuk sinom, “pamucunge wring ..... akan masuk Pucung, “anggambar mring …..” akan masuk Gambuh).
Tetapi pada bait 73 dan seterusnya akan masuk Tembang kinanthi tidak ada kode seperti itu. Hanya setelah tembang itu tembang kinanthi ada petunjuk tentang Kinanthi Mangka kanthining tumuwuh.